Oleh: Agusliade Massere*
KHITTAH.CO, – Revolusi industri 4.0 sebagai konsekuensi logis dari perkembangan teknologi digital. Jika mengikuti diskursus dan tesis Yasraf Amir Piliang, disebutnya “era pasca industri”. Era pasca industri adalah era yang menandai ditaklukkannya ruang dan waktu oleh kekuatan elektromagnetik. Era sebelumnya, era industri, ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan mekanik mesin. Dan sebelumnya lagi, era pra industri, ruang dan waktu ditaklukkan oleh kekuatan alamiah.
Ilustrasinya, era pra industri, untuk menjangkau suatu wilayah dan menempuh jarak dengan durasi waktu tertentu, menggunakan kekuatan alamiah manusia (jalan kaki) atau binatang dengan naik kuda, unta dan lain-lain. Era industri, sudah menggunakan kekuatan mekanik mesin, seperti kendaraan bermotor. Sedangkan era pasca industri, ruang dan waktu ditaklukkan dengan perangkat digital dalam genggaman yang menggunakan kekuatan elektromagnetik.
Era pasca industri meniscayakan hadirnya dunia lain, sebuah dunia baru yang dikenal sebagai dunia virtual. Awalnya dunia virtual bertujuan merepresentasikan realitas yang terjadi dalam dunia nyata. Namun seiring dan semakin berkembangnya teknologi digital, dengan perkembangan fitur yang semakin canggih—seperti fasilitas untuk media sosial—memiliki kemampuan daya pengaruh yang semakin besar dalam dimensi kehidupan dan kemanusiaan.
Berbeda dengan tujuan awalnya, sebagaimana dijelaskan di atas, justru—jika kita mau merenung dan mengakui secara jujur—kini terbalik, dunia nyata seringkali merepresentasikan apa yang terjadi di dunia virtual. Dunia virtual bukan hanya representasi dari sebuah realitas tetapi merupakan realitas itu sendiri.
Disadari bahwa setiap perubahan dan era tertentu, seringkali memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan dan kemanusiaan. Terutama memengaruhi nalar, yang menentukan cara kita meyakini, cara berpikir, bertindak, merespon, dan bahkan cara mengambil keputusan.
Kini manusia, bisa ditarik ke dalam sebuah hipotesis bahkan tesis, bahwa porsi waktunya pada saat terjaga (terbangun dari tidurnya) lebih banyak dihabiskan melalui dunia virtual daripada dunia nyata. Ini memberikan dampak lanjutan, mulai dari yang positif dan tidak sedikit dampak negatif yang ditimbulkan.
Saya senantiasa mengedepakan sikap optimis, sehingga saya tetap menemukan hal positif dari perkembangan teknologi yang ada. Tidak menolaknya atau melakukan gerakan anti teknologi sebagai refleksi dari sikap pesimisme.
Dampak positifnya, beberapa saja, kini kelas/kaum rebahan pun bisa mengendalikan bisnisnya dengan sukses hanya dengan berdiam diri di rumah. Mengendalikan manajemen perusahaan di meja makan bahkan di toilet sekalipun dengan modal perangkat digital dalam genggaman. Para politisi bisa sukses melakukan kampanye hanya dengan berdiam diri di kamar sambil membaringkan badan di spring bed empuk.
Meskipun demikian, saya optimis dan senantiasa mengedepankan paradigma—yang saya sebut—“appreciative”, tetap saja melalui tulisan ini, saya akan menguraikan beberapa dampak negatifnya. Saya ingin menginterupsi, memberikan pencerahan dengan niat memperbaiki apa yang dinilai masih kurang mengikuti kaidah dan etika agama dan moralitas, termasuk moralitas di ruang publik tanpa kecual di media sosial sebagai ruang publik dunia virtual.
Masih jelas dalam ingatan, sejenis kata mutiara yang menggambarkan ekspresi gejolak jiwa dan kerinduan, ketika orang tua kita (dulu) pada saat masih muda, “jauh di mata, dekat di hati”. Ini mengandung makna yang sangat dalam, betapa ikatan emosional dan psikologis antara mereka—atau seseorang dengan yang lainnya—sangat kuat.
Namun apa yang terjadi hari ini? Saya menemukan fenomena terbalik sebagai efek daripada dunia virtual, kemajuan dan kecanggihan teknologi. Jika dulu, “jauh di mata, dekat di hati”, kini—dan saya menyebutnya—“dekat di mata, jauh di hati”. Coba bayangkan, apa yang terjadi pada saat sedang ada acara reuni, arisan keluarga dan acara lainnya. Bukankah yang terjadi tetap lebih banyak fokus berselancar di dunia maya daripada berinteraksi langsung dengan penuh kehangatan dan melepaskan kerinduan karena baru bertemu kembali.
Ini satu contoh dampak negatif. Kemesraan dengan perangkat digital untuk menghabiskan waktu di dunia virtual telah mengikis dimensi kemanusiaan. Aspek psikologis, seperti empati semakin hari semakin terkikis (meskipun tidak untuk semuanya dan masih ada solusi di dalamnya). Yang lebih parah, seringkali pertolongan pertama pada kecelakaan, berujung pada foto selfie dan memviralkan tanpa mengedepankan pertimbangan kemanusiaan yang urgen untuk tetap dalam dimensi “proteksi”.
Dampak lain—jika meminjam perspektif Bernando J. Sujibto—dunia virtual oleh generasi millenial digunakan untuk bergerak massif, padahal di dalamnya kesadaran kritis kalah oleh luapan emosi dan hamburan opini. Bernando menyadari, “gerakan sosial virtual didominasi pengelolaan isu yang lebih memanfaatkan emosi dan opini daripada kesadaran faktual yang berpijak pada ilmu pengetahuan”.
Dunia virtual sebagai penanda era pasca industri dengan kekuatan elektromagnetik sebagai penakluk ruang dan waktu semakin dahsyat, kini mengubah dan menggeser manusia ke dalam kehidupan inersia. Kehidupan inersia menyebabkan kaidah dan etika pengelolaan informasi yang harus diawali dengan “tabayyun” dikalahkan oleh hasrat “kecepatan” atau sejenis “ekstasi kecepatan” dan “viralisme” (hasrat untuk viral dan memviralkan).
Masih kuat dalam ingatan, pada saat itu saya, kami dan (mungkin) kita semua ketika masih anak-anak/remaja dan belum akrab dengan perangkat digital dalam genggaman (gadget), setiap bulan Ramadan setelah shalat subuh ada kebiasaan jalan-jalan (sangat ramai) ke pantai, dan lain-lain. Di antara kami—atau mungkin kita—ada yang tidak mau ikut jalan-jalan, lebih memilih kembali pulang ke rumah atau tetap di Masjid dengan alasan “menghindari godaan yang bisa membatalkan puasa”. Mungkin ini sejenis fenomena “pemuda hijrah” yang dikenal saat ini.
Itu kondisi sebelum dunia virtual (dengan teknologi dan kecanggihan fiturnya) mengambil bagian dalam dimensi kehidupan dan kemanusiaan kita. Kini di rumah, di masjid bahkan di kamar pun godaan itu siap mencengkeram siapa saja. Bahkan dengan wujud beraneka ragam, dan telah “beranak pinak” dari jenis godaan yang menghantui kami dan kita pada saat anak-anak/remaja.
Menjelang berbuka puasa pun, betapa banyak godaan terutama godaan menu masakan dan minuman yang lewat melalui perangkat digital kita. Mungkin kita, mengelak dan membantah “Alhamdulillah saya tidak tergoda”, tetapi ingat tesis tentang kedahsyatan teori televisi, iklan dan citra. Semua itu akan melengkapi big data dalam diri, alam bawah sadar akan melakukan proses algoritmik dan tanpa disadari ini yang menggerakkan diri kita untuk “pesan online” dan lain-lain.
Ada lagi dampak negatif lainnya, dan ini bisa dipandang lebih berbahaya dari apa yang telah saya uraikan di atas, karena efeknya bukan hanya secara personal tetapi kolektif. Perkembangan teknologi digital yang bermuara pada era pasca industri, atau lahirnya dunia virtual dan massifnya media sosial telah melahirkan sebuah keadaan yang dikenal dengan sebutan “post truth”.
Bernando menjelaskan “Post truth menandai era saat kita memproduksi pemahaman dan pengetahuan bercampur baur dengan keinginan (desire) dan feelings yang melampaui fakta-fakta objektif yang semestinya menjadi dasar atas tindakan kesadaran pada makna”.
Nezar Patria—editor in chief harian Jakarta Post—(dalam Bernando), menyebut “post truth sebagai kondisi ketika informasi bohong atau palsu (hoax) dipakai untuk menyalakan bara emosi dan sentimen publik.
Di dunia virtual dan era post truth kebohongan terus diproduksi dan direproduksi. Dan di dalamnya berlaku teori citra, bahwa “kebohongan sekalipun, jika terus menerus dipublikasikan akan menjadi sebuah kebenaran”. Dari hal inilah, sehingga pada bagian atas saya menarik kesimpulan, fungsi awal dunia virtual kini terbalik. Jika sebelumnya merepresentasikan realitas dunia nyata, kini justru dunia nyata yang memrepresentasikan realitas yang terjadi di dunia maya.
Maksud saya, awalnya hanya berita hoax di media sosial atau dunia virtual, tetapi terus diviralkan akhirnya menjadi fenomena faktual dalam dunia nyata. Contoh, ketika bangsa ini pada masa awal dilanda pandemi Covid-19, ada fenomena “saat itu, orang-orang pada saat tengah malam beramai-ramai mencari dan/atau membeli telur—karena diyakini bisa mencegah virus Corona”.
Dari bebereapa hal di atas sehingga saya menilai adanya urgensi dan signifikansi ayat-ayat pencerahan Ramadan untuk dihadirkan, menginterupsi keadaan sebelum manusia (para netizen) terseret jauh ke dalam kubangan peradaban. Mengiterupsi atau menyadarkan, bukan berarti untuk melakukan gerakan “anti” teknologi dan dunia virtual. Saya hanya ingin memberikan sepercik pencerahan agar lebih memilih manfaat atau dampak positifnya daripada terjebak dalam rimba godaan/efek negatifnya.
Ayat-ayat pencerahan Ramadan yang saya maksud memiliki urgensi dan signifikansi terhadap dunia virtual dan post truth adalah: secara tekstual-literal dan langsung merujuk pada QS. Al-Baqarah [2]: 183, 185, 186, 187 dan 189 dan terutama ayat 185 dan 186. Dan secara substansial merujuk pada makna esoterik, fungsi dan manfaat dari puasa serta Al-Qur’an secara keseluruhan, yang penanda awalnya diturunkan dalam bulan Ramadan, lengkap dengan kandungan fungsionalnya untuk menjadi petunjuk, penjelasan dan pembeda antara kebenaran dan kebatilan.
Puasa mengajarkan kejujuran, dan bulan Ramadan dengan diturunkannya surat pertama Al-Qur’an secara tidak langsung mengandung makna esensial untuk memahami dan berorientasi kebenaran. Kejujuran dan kebenaran adalah modal utama untuk mengcounter dampak nyata post truth.
Ramadan mengajarkan kepedulian dan empati, memperkuat rasa kemanusiaan sehingga ini bisa berfungsi untuk mencegah pengikisan dimensi kemanusiaan dan psikologis akibat intensitas kita bermesraan dengan perangkat digital.
Di dalam Al-Qur’an ayat-ayat pencerahan dari Allah, mengajarkan tentang “tabayyun”, (QS. Al-Hujurat [49]: 6) diharapkan dengan pemahaman dan kesadaran ini, bisa menjadi etika di dunia virtual dalam menerima informasi.
Spirit “iqra”—di dalamnya terdapat pula “qalam”—yang menandai awal diturunkannya Al-Qur’an pada bulan Ramadan, idealnya menjadi spirit untuk memahami setiap informasi. Iqra bukan hanya membacan secara tekstual, tetapi memahami, menelaah dan menelitinya, sehingga lahir pemahaman yang dalam sebelum menentukan/memutuskan jenis tindakan sebagai tindak lanjut dari informasi di media sosial.
Begitu pun spirit menulis bisa menjadi media dakwah bagi para netizen di dunia virtual apalagi di tengah kondisi post truth. Karena sesungguhnya ruang ini pula lah yang berkontribusi “matinya kepakaran”. Dari hal ini pula, saya berniat, semoga tulisan-tulisan saya melalui media online, menjadi instrumen dakwah yang tidak kalah lebih penting dengan dakwah para da’i melalui mimbar masjid. Apalagi hari ini manusia lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia virtual. Ini adalah harapan besar.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023