Oleh: Agusliadi Massere*
Dalam menjalani kehidupan, jika meminjam perspektif Thomas Hobbes, salah satunya diwarnai oleh apa yang disebutnya hasrat (desire). Dan bagi Hobbes, ini adalah salah satu yang dipandang paling purba, paling naluriah, dan paling manusiawi, selain kuasa (power). Namun, hasrat ini memiliki dua karakter: konstruktif dan destruktif.
Minimal hasrat dalam diri inilah, sehingga kita semua sesungguhnya tidak ingin berada dalam kondisi kehidupan yang statis. Kita ingin selalu bergerak menuju pada situasi dan kondisi kehidupan yang berbeda dengan hari ini. Bahkan, kita ingin merasakan dan mengalami kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Perubahan, apapun sifatnya, baik positif maupun negatif, relevan dengan dua karakter hasrat di atas. Hasrat konstruktif bermuara pada perubahan positif, dan hasrat destruktif terseret ke dalam lembah perubahan negatif. Minimal sampai di sini, kita sudah bisa menemukan benang merahnya bahwa “Diri”-lah sebagai poros perubahan dan kemajuan itu.
Saya yakin dan memercayainya, bahwa diri kita semua, sesungguhnya ingin mengalami kehidupan yang lebih maju, positif, produktif, konstruktif, dan memberikan kontribusi bagi yang lain. Untuk mewujudkan harapan ini, maka perubahan sebagai langkah strategis yang harus dilakukan dalam kehidupan. Namun, perubahan sebagai suatu keniscayaan dan bahkan dipandang sebagai satu-satunya yang “abadi” di dunia, tidak selamanya bermuara pada kondisi yang sesuai dengan harapan.
Mengharapkan perubahan yang lebih baik, lebih maju, lebih positif, produktif, dan konstruktif, maka sekali lagi kata kuncinya, kembali kepada diri sebagai porosnya. Sama halnya, ketika mengalami perubahan yang justru bermuara pada kehidupan yang terasa lebih buruk, maka kita harus kembali bertanya pada diri, melakukan introspeksi. Apa yang telah diperbuat, hasrat apa yang dilahirkan sehingga muaranya pada sesuatu yang tidak sesuai harapan.
Ada sejumlah dalil, pandangan, dan bahkan ada suatu aksioma yang aksentuasinya menegaskan bahwa dirilah sebagai poros perubahan dan kemajuan. Meskipun, diri yang dimaksud dalam tulisan ini, bukan hanya bersifat personal atau tunggal, tetapi bisa pula dalam kolektivitas.
Rasulullah Muhammad SAW menegaskan, segala sesuatu tergantung dari niatnya. John C. Maxwell dalam buku karyanya, Sikap 101 menyampaikan dua aksioma: pertama, sikap menentukan hasil lebih dari apapun juga; dan kedua, masa depan suatu bangsa tercermin dari sikap dan perilaku generasi mudanya. Dari Dr. Ibrahim Elfiky, Sang Maestro Motivator Muslim Dunia, dalam buku karyanya Terapi Berpikir Positif (2009), kita bisa menemukan minimal satu kesimpulan “Apa yang dirasakan dan/atau dialami hari ini, adalah hasil dari apa yang kita pikirkan sebelumnya, dan apa yang akan dirasakan dan/atau dialami pada masa yang akan datang adalah hasil dari apa yang kita pikirkan hari ini”.
Agus Suwignyo dalam buku karyanya Dasar-Dasar Intelektualitas (2007) mengutip perkataan dari Pedagog Paulo Freire, dan Mangunwijaya, “Pendidikan dapat menjadi suatu proses penyadaran atau pemerdekaan hanya jika para guru, dosen, dan pengelola institusi pendidikan telah mengalami penyadaran atau pemerdekaan itu lebih dahulu”. Selain itu Agus Suwignyo pun mengutip pandangan Herbert Marcuse—salah satu pendiri Mazhab Frankfurt—“perubahan sosial [tentu yang dimaksud di sini adalah yang positif dan konstruktif] hanya mungkin terlaksana jika agen-agen perubahan sosial telah mengalami perubahan radikal dalam diri mereka”.
Dari pandangan-pandangan yang dikutip oleh Agus Suwigyo di atas, dirinya pun menginterpretasikan ulang dengan deskripsi yang menarik dan tegas, “Tanpa para guru/dosen dan pengelola institusi pendidikan mengalami penyadaran dan pemerdekaan cara berpikir, tak usahlah berharap murid/mahasiswa akan menjadi insan merdeka”.
Dalam agama Islam, ditemukan ajaran moral yang pada substansinya secara tidak langsung menegaskan bahwa, diri sebagai poros perubahan dan kemajuan, “Didiklah anakmu dua puluh lima tahun sebelum lahir”. Dibalik ajaran moral ini, hampir semua memahami bahwa, yang dimaksud adalah mendidik diri terlebih dahulu jauh sebelum mendidik anak”.
Apa yang telah dijelaskan di atas, sangat terang benderang bahwa diri yang dimaksud sebagai poros perubahan dan kemajuan, bukanlah semata-mata diri yang dimaknai bersifat fisik-biologis, atau sesuatu yang bersifat material dan konkret. Namun, termasuk pula sesuatu yang terletak di dalam, suatu yang bersifat psikologis, bisa berupa sesuatu yang abstrak, dan sesuatu yang mampu menembus dinding teologis. Sesuatu yang mampu tercelup dalam samudra spiritual.
Fokus pada diri, dalam arti fokus memperbaiki sesuatu yang ada pada diri sendiri sebelum melakukan perubahan dan mengharapkan kemajuan, bukan berarti bahwa kita sedang mengonstruksi bangunan individualistik. Apalagi diri dalam makna kolektif pun, kita tidak sedang membenturkan dan menonjolkan superioritas pandangan antroposentrisme, dibandingkan geosentrisme dan teosentrisme.
Fokus pada diri demi perubahan dan kemajuan, sudah merupakan langkah yang tepat dan strategis. Diri adalah subjek, bahkan sosok yang diamanahi oleh Allah, penguasa alam semesta untuk mengelola bumi. Diri yang berbentuk manusia ini, telah dibekali sejumlah hardware dan software untuk menjalankan mandat kosmik dari Allah sebagai subjek perubahan di muka bumi. Bahkan Allah pun telah membekali manusia, terutama melalui Adam, “Pengetahuan tentang segala sesuatu”.
Ketika perubahan terjadi mengarah pada hal yang bersifat destruktif, atau kehidupan kita cenderung statis dalam kubangan peradaban, kemajuan tidak kunjung bisa diraih, berarti ada hal yang harus diperbaiki pada diri sendiri. Bisa saja kita lupa pada kemuliaan penciptaan diri kita, yang telah dibekali banyak hal sebagai subjek perubahan di muka bumi.
Kecenderungan hati, sikap, dan perasaan yang dimiliki harus selalu diarahkan pada sesuatu yang positif, produktif, konstruktif, dan kontributif agar mampu memengaruhi alam fisik, biologis, dan material. Dan sunnatullahnya setelah ini, dan tidak mungkin Allah dengan hak prerogatif-Nya memberikan intervensi yang berlawanan, adalah kita akan mengalami perubahan dan kemajuan yang lebih baik, positif dan konstruktif. Alurnya akan seperti ini.
Berbeda dengan sebaliknya, jika kecenderungan hati, pikiran, dan perasaan kita, arahnya pada sesuatu yang negatif dan destruktif maka bisa dipastikan sunnatullahnya pun, jika tidak mendapatkan pertolongan Allah melalui hak prerogatif-Nya, maka akan bermuara pada lembah kehidupan yang tidak stabil dan menjadi bisul peradaban.
Kecenderungan hati, pikiran dan perasaan sebagai software yang sangat dahsyat, yang berada dalam hardware yang luar biasa, jika memperhatikan teori fisika quantum bisa memberikan pengaruh yang sangat dahsyat termasuk di alam material dan realitas empirik, karena berdasarkan mekanisme kerjanya berada dalam alam yang mengandung energi vibrasi. Di alam vibrasi ini, antara yang material dan immaterial, termasuk pula antara diri kita dengan harapan, yang berbentuk material pun, semisal mobil dan kemajuan kehidupan duniawi, tidak ada batas di antara keduanya.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah. Komisioner KPU Kab. Bantaeng Periode 2018-2023