
Makassar – Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Selatan (Sulsel) mengungkapkan sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang industri ekstraktif alias tambang mineral (nikel) melakukan ekspansi besar-besaran di sekeliling Danau Towuti, Luwu Timur. Industri nikel itu adalah PT Paramos Rezeki Indah, PT Virgo Puspita Lestari, PT Era Marpadot, PT Maduma Asih Pratama, PT Sanroy Mitra Bersaudara, dan PT Mitra Berkarya Sejati.
Ekspansi itu mengancam hutan hujan dan berpotensi mencemari Danau Towuti yang dikenal sebagai ekosistem purba yang telah bertahan selama ribuan tahun.
Meski ekspansi itu menggunakan dalih pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, dampak negatif terhadap kawasan hutan hujan di sekeliling Danau Towuti tak terhindarkan. Selain pencemaran berupa limbah sulfur tambang, juga berdampak buruk terhadap keanekaragaman hayati di wilayah itu.
Demikianlah pokok pembahasan yang bergulir saat Diseminasi Tulisan bertajuk “Kejahatan Perusahaan Tambang Nikel di Sulawesi Selatan: Temuan Praktek Monopoli Konsesi Tambang Nikel di Ekosistem Hutan Hujan dan Danau Towuti” yang diselenggarakan oleh WALHI Sulsel di Nol Tiga Coffe, Makassar, Ahad, 9 Maret 2025.
Kegiatan itu melibatkan penulis terkait dari internal WALHI Sulsel (Zulfaningsih dan Arfandi Anas), Akademisi dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, dan sejumlah perwakilan lembaga kemahasiswaan. Sementara itu, Pemimpin Redaksi Fakta Ekologi WALHI Sulsel, Fadila Abdullah memandu jalannya diskusi.
Industri Ekstraktif Perparah Krisis Tutupan Hutan Sulsel
WALHI memaparkan data pada tahun 2023 bahwa tutupan hutan di Sulsel telah mengalami penyusutan drastis menjadi sekitar 1.359.039 hektar. Artinya, tutupan hutan di Sulsel hanya tersisa sebanyak 29,70 persen dari total luas wilayah.

Penurunan ini berdampak pada kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS). Sebagaimana diketahui, sebanyak 139 DAS di Sulsel, hanya 38 diantaranya yang masih memiliki tutupan hutan diatas 30 persen, sisanya masuk kategori kritis.
Saat ini, ekosistem hutan hujan dan DAS di sekitar Danau Towuti juga diambang kehancuran akibat ekspansi tambang nikel.
WALHI Duga Ada Praktek Monopoli Usaha Pertambangan Nikel Oleh 6 Perusahaan di Sekitar Danau Towuti
Fendi, sapaan akrab Arfandi Anas, memaparkan adanya dugaan praktek monopoli usaha dan persaingan tidak sehat pertambangan nikel di sekitar Danau Towuti oleh enam perusahaan yang telah disebutkan di awal.
Padahal, berdasarkan aturan yang berlaku, monopoli dan persaingan tidak sehat oleh pelaku usaha yang lebih dari satu dapat merugikan kepentingan umum.
Sebagai contoh, Liu Edi Amas dan Arif Kurniawan melalui PT Virgo Puspita Lestari dan PT Sanroya Mitra Bersaudara yang mengelola konsesi pertambangan di sekitar Danau Towuti masing-masing seluas 2,698 hektar dan 6.378. SK Perusahaan ini berlaku sejak 2023 dan akan berakhir pada 2031.
Artiya, perusahaan itu bakal beroperasi selama sembilan tahun lamanya di Luwu Timur. Kedua orang ini Liu Edi Amas dan Arif Kurniawan merangkap jabatan di kedua perusahaan dengan menjabat komisaris di kedua perusahaan tersebut. Perbuatan tersebut dilarang oleh pasal 26 UU 5/1999 tentang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
“Suyitno dan Edi Suprianto.diduga menguasai saham secara dominan yakni 66% di PT Era Marpadot dengan luas konsesi nikel 4.301,50 dan 50% di PT Maduma Asih Pratama dengan luas konsesi 7,069 Ha, hal ini dilarang oleh pasal 27 UU 5/1999 tentang monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
Hal itu, kata Fendi, secara sengaja melanggar Pasal UU 5/1999 tentang Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sementara pada Pasal 1 Angka 2 disebutkan bahwa pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu pelaku usaha atau lebih dapat mengakibatkan dikuasainya produksi atau pemasaran atas barang dan tertentu.
Masalahnya, jika persaingan usaha yang tidak sehat itu terjadi, kepentingan umum berpotensi mengalami kerugian signifikan.
Melawan Hegemoni Perusahaan Tambang
Satu hal yang tak dipungkiri, kata Fendi, pihak perusahaan akan menghegemoni masyarakat agar menerima kehadiran mereka. Selain dalih pertumbuhan ekonomi, para pengusaha tambang juga kerap menghibur masyarakat dengan janji membuka lapangan kerja bagi masyarakat.
“Sebenarnya membandingkan WALHI dengan perusahaan tentu sangat jauh. Tapi selama ini, WALHI telah mengeluarkan banyak kajian dan informasi hasil riset di berbagai platform. Termasuk kita punya platform Fakta Ekologi. Saluran ini kami fungsikan sebagai sarana menyebarkan informasi tandingan yang dikeluarkan oleh pihak perusahaan tambang,” kata Fendi saat menjawab pertanyaan audiens tentang masifnya pemberitaan positif industri tambang.
Selain itu, Fendi juga menyebut WALHI Sulsel membuka diri terhadap kelompok-kelompok yang ingin berdiskusi tentang dampak buruk kehadiran tambang, khususnya di Sulsel.
Senada dengan Fendi, Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, Muhammad Al Amin juga tak menampik masifnya pencitraan perusahaan tambang di berbagai media.
“Yang kita lawan adalah perusahaan, uangnya unlimited. Tapi kami (WALHI Sulsel) punya keinginan yang kuat untuk mengkampanyekan bahwa di Republik kita ini, ada masalah lingkungan yang harus kita pecahkan sama-sama,” tutur Amin, sapaan akrabnya.
Salah satu alasannya karena perusahaan tambang acapkali menerobos tanah warga, kawasan adat, hingga membabat hutan saat mengeksplorasi wilayah tertentu.
Karena itu, Amin meminta agar masyarakat Sulsel menyadari pentingnya solidaritas dalam mengontrol perusahaan tambang.
“Jadi ini ajakan untuk kita semua. Kami pasti akan tetap kerjakan dengan keterbatasan yang kami punya. Tapi bagaimana dengan teman-teman di Luwu Timur, apa yang harus mereka lakukan. Nah Diseminasi ini kita lakukan untuk memberikan informasi bahwa ada pelaku tambang yang itu-itu saja sedang mengancam kondisi lingkungan di sana,” tandas Amin.