Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Indonesia adalah kode. Mewakili, sebagai muara, akumulasi, dan/atau penanda banyak hal yang ada dan menjadi bagian di dalamnya. Saya dan sahabat pembaca yang sedang membaca tulisan ini adalah bagian dari Indonesia. Sekecil dan sesederhana apa pun sikap dan perilaku saya, kita, dan kami, konsekuensi logis masa depannya akan bermuara pada masa depan Indonesia.
Dalam buku Tuhan Menyapa Kita: Menghidupkan Hati Nurani dan Akal Sehat (2020) karya Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, pada Bagian Pertama yang menandai pengklasifikasian kumpulan tulisannya tersebut, adalah “Agama sebagai instrumen kebangkitan bangsa”. Saya tidak akan mengulas lebih jauh tentang apa yang ditegaskan dalam buku Buya Syafii tersebut. Sebelumnya, saya ingin mengatakan dan menegaskan bahwa “Disposisi sikap” adalah kunci penting yang akan menentukan seperti apa masa depan Indonesia.
Penegasan ini, saya tidak sampai pada niat untuk menafikan peran agama, apa lagi sebagaimana pandangan di atas, agama sebagai instrumen kebangkitan bangsa. Bahkan, saya memandang dan sangat menyadari bahwa disposisi sikap—khususnya dalam makna yang tinggi—itu relevan dalam pengertian sederhana sekali pun dari salah satu pilar agama, yaitu iman. Minimal inilah yang bisa menjadi landasan teologis dari peran penting disposisi sikap—dalam makna tinggi.
Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang disposisi sikap, saya mengungkapkan bahwa yang menjadi dorongan besar dan kuat untuk menulis tema ini dan relevansinya dengan masa depan Indonesia karena minimal dalam sebulan terakhir, saya dan mungkin kita menemui—khususnya melalui pemberitaan lewat media sosial dan online yang terpercaya—ada banyak sikap, perilaku, dan peristiwa yang mencerminkan disposisi sikap dalam kategori “rendah”. Sekali lagi, positif atau negatif, cepat atau lambat akan bermuara pada masa depan Indonesia.
Meskipun, saya menyebut hanya “sebulan terakhir”, tetapi sahabat pembaca yang memahami substansi dari tulisan ini atau minimal setelah membaca tuntas uraian ini, akan menegaskan bahwa hal itu telah lama terjadi dan hampir setiap hari. Bahkan, dalam perhelatan dan kontestasi pemilu dan pilkada pun ditemukan dengan jelas. Namun, tulisan ini tidak sedang ingin membahas pemilu dan pilkada.
Peristiwa sebulan terakhir yang saya temukan, di antaranya adalah sikap, perilaku, dan perkataan seorang mubalig terhadap penjual es teh. Selain itu yang sedang viral dan menjadi trending topic dalam pemberitaan, khususnya di media sosial dan online adalah pemalsuan uang di kampus yang dinilai atau dimaknai sebagai pusat “peradaban Islam”.
Terutama berita, kejadian, dan kasus kedua di atas, itu sangat merusak. Bukan hanya merusak diri para pelaku. Namun, merusak banyak hal dan tentunya ini adalah cerminan dan efek lanjutan—jika menggunakan perspektif “hulu-hilir”—dari sesuatu yang belum tuntas dan harus menjadi perhatian serius untuk dijadikan pekerjaan rumah bersama.
Siapa pun yang mengakui dirinya sebagai penganut agama Islam, saya meyakini minimal memahami perspektif “iman” dalam makna yang sederhana dan lazim. Iman adalah memercayai dan meyakini sepenuh hati, diucapkan dengan lisan, dan dilakukan melalui perbuatan. Ada kesesuaian dan keselarasan dari ketiganya. Makna iman ini, itu relevan dengan apa yang disebut dengan “Disposisi sikap” dalam kategori tinggi. Dalam kearifan orang atau suku Makassar dikenal dengan “Ia kana, ia gau”. Sebaliknya, itu adalah disposisi sikap dalam kategori rendah.
Dalam percakapan sehari-hari yang menjadi kearifan orang Bugis-Makassar dan diharapkan terkristalisasi dalam dinamika dan interaksi sosial—terutama jika menyangkut hal-hal urgen dan membutuhkan komitmen—ditegaskan dan diungkapkan “Jika binatang yang dipegang adalah talinya, maka manusia yang dipegang adalah perkataannya”. Term “perkataan” di sini tidak hanya merujuk pada penanda verbal atau sesuatu yang diucapkan secara lisan, tetapi harapan sesungguhnya agar perbuatannya tidak berbeda dari perkataannya.
Ada yang menarik dari Agus Suwignyo dalam buku karyanya Dasar-Dasar Intelektualitas (2007), kaitannya dengan apa yang dimaksud dengan “Disposisi sikap”. Pertama, disposisi sikap ini menyangkut kaitan antara kesadaran tindakan dan pengetahuan yang mendasari tindakan. Kedua, Suwignyo mengutip dari Buya Syafii, “Disposisi sikap sebagai gap, jurang atau inkonsistensi antara kata dan perbuatan”.
Tidak kalah menariknya dan memiliki makna mendalam dan penting dalam kehidupan kaitannya dengan “Disposisi sikap” adalah yang dikutip oleh Suwignyo dari pedagog Paulo Freire dan Mangun Wijaya, “Pendidikan dapat menjadi suatu proses penyadaran atau pemerdekaan hanya jika para guru, dosen, dan pengelola institusi pendidikan telah mengalami penyadaran atau pemerdekaan itu lebih dahulu”.
Termasuk yang dikutip Suwignyo dari pendiri Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse. Ditegaskan “agenda-agenda perubahan sosial hanya mungkin terlaksana jika agen-agen perubahan sosial telah mengalami perubahan radikal di dalam diri mereka.
Dari uraian-uraian yang ada di atas, kita sudah menarik benang merahnya bahwa “Disposisi sikap” memiliki relevansi dan berbanding lurus dengan “Masa depan Indonesia”. Jika disposisi sikap elit negara, kaum intelektual, dan anak negerinya tinggi maka masa depan Indonesia akan semakin gemilang. Sebaliknya, jika disposisi sikapnya rendah, tidak sesuai antara apa yang ada di hati, diucapkan, dan dilakukan maka masa depan Indonesia semakin suram dan terpuruk.
Kita bisa melihat dalam diri Rasulullah Muhammad Saw, betapa tinggi disposisi sikap yang dimilikinya, termasuk dijuluki “al-amin”. Ternyata, Rasulullah pun mampu membawa Islam dalam waktu yang cukup singkat menjadi peradaban besar dunia. Para penerus kejayaan peradaban Islam pun, adalah sosok yang bisa ditemukan dalam dirinya disposisi sikap yang sangat tinggi, seperti Muhammad Al-Fatih yang berhasil menaklukkan Konstantinopel.
Kiai Dahlan mampu merumuskan, mendirikan, dan membawa Muhammadiyah, organisasi yang didirikan sebagai organisasi terbesar—bahkan untuk ukuran amal usahanya dinilai terbesar di dunia—itu karena disposisi sikap yang dimilikinya sangat tinggi. Para pahlawan dan pejuang bangsa yang berhasil membawa Indonesia sampai ke pintu gerbang kemerdekaan, karena mereka semua adalah orang-orang yang antara perkataan dan perbuatannya selaras berdasarkan kesadaran tindakan dan pengetahuan yang mendasari tindakannya.
Berbagai problem yang terjadi dalam peradaban Islam hari ini, saya meyakini karena masih banyak tanpa kecuali yang berstatus ulama dan mubalig—saya tetap tidak ingin menyebut kiai—karena disposisi sikapnya masih rendah. Mereka mengetahui banyak hal yang bisa menjadi dasar tindakannya, tetapi sering kali dan sangat terasa, mereka tidak menyadari tindakannya. Nilai-nilai Islam dan moralitas sering kali hanya sebagai pemanis bibir, permainan retorika belaka, dan tidak sedikit hanya sebagai retorika politik.
Kita pun sering menyaksikan disposisi sikap yang sangat rendah dari para elit negara, penyelenggara negara, wakil rakyat, dan aktor strategis bangsa dan negara lainnya, yang perbuatannya tidak mencerminkan antara posisinya, pengetahuannya, termasuk sumpah dan janji jabatannya (bagi yang telah mengikrarkan sumpah dan janji jabatan). Ada berapa banyak kasus korupsi yang telah kita saksikan bersama, padahal mereka semua, para pelakunya telah mengikrarkan sumpah dan janji jabatan. Mereka semua mengetahui aturan dan tidak sedikit dari para koruptor adalah pembentuk atau pembuat aturan tersebut.
Anehnya lagi, tidak sedikit di antara mereka di forum dan meja-meja rapat memberikan petuah pentingnya tentang etika publik, etika jabatan, moralitas, dan bagaimana gambaran surga-neraka. Namun, di ruang lain, mereka adalah pelaku maksiat dan/atau tidak mematuhi aturan yang ada. Mereka mengeruk, menguras, dan memeras kekayaan negara untuk kepentingan diri, keluarga, dan golongannya. Mereka mengajarkan nilai-nilai kebaikan di kampus, tetapi di balik perpustakaan yang berisi buku-buku yang bercerita tentang kearifan, moralitas, agama, dan masa depan, ternyata dijadikan tempat memalsukan uang.
Di sisi lain dan pada ruang dialektika lain, ada juga sejumlah generasi muda, pemuda, kaum intelektual yang tahu aturan dan biasanya identik dan dilekatkan atribusi mulia pada dirinya. Namun, mereka pun mencerminkan disposisi sikap yang sangat rendah. Tidak sesuai antara apa yang dipahami, idealisme dan moralitas yang diajarkan dan menjadi retorika yang memukau bagi calon-calon kader di forum-forum perkaderan dengan perbuatannya dalam realitas kehidupan.
Saya pernah bercanda, mengapa aksi-aksi demonstrasi banyak yang tidak membuahkan hasil sesuai dengan yang diteriakkan dan menjadi harapan yang disampaikan pada saat itu. Karena, di balik hati mereka justru ada banyak oknum atau segelintir pelaku aksi yang pikirannya lebih didominasi oleh kepentingan pribadinya yang bersifat material dan sesaat. Ada yang berteriak “boikot” produk negara “A” tetapi pada saat yang sama justru fasilitas, aksesoris yang dipakai dan digunakan berasal dari negara “A”. ini juga adalah contoh nyata dari disposisi sikap yang rendah.
Ada cerita menarik ketika orang tua bersama anaknya mendatangi seorang ustadz untuk meminta nasihat agar anaknya berubah dan berhenti merokok. Ketika mereka datang, sang ustadz hanya berkata “Pulanglah, tiga pekan kemudian datanglah kembali ke sini!”. Mereka pun mengikuti dan melaksanakan anjuran tersebut.
Tiga pekan kemudian, mereka kembali datang ke rumah sang ustadz. “Nak, berhenti merokok ya, karena itu akan merusak kesehatanmu, terutama otakmu!” Ini nasihat singkat sang ustadz kepada anak tersebut di hadapan kedua orang tuanya. Mendengar nasihat singkat tersebut, kedua orang tua anak tersebut sedikit protes. “Ustadz, jika hanya itu nasihatnya, mengapa tidak langsung saja disampaikan pada saat kami datang pertama, tiga pekan yang lalu tersebut?”
“Tiga pekan yang lalu, saya belum bisa memberikan nasihat karena saya juga masih sebagai perokok berat. Jadi saya harus berkomitmen terlebih dahulu untuk berhenti dan tidak merokok selama tiga pekan ini, barulah saya bisa memberikan nasihat.” Ini penegasan yang sangat penting dan memukau dari sang ustadz. Ini pun mencerminkan betapa pentingnya disposisi sikap yang tinggi.
Disposisi sikap yang tinggi yang berdampak positif, produktif, dan konstruktif bagi masa depan Indonesia, membutuhkan pemahaman dan kesadaran yang tinggi disertai dengan komitmen yang tinggi, tanpa kecuali rasa tanggung jawab besar sebagai bagian dalam kehidupan yang terpengaruh dengan hukum sosial.
Sumber gambar: hadnetwork.com
*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.