Oleh : Adam Malik*
“Agama adalah kepercayaan kepada Tuhan yang hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak Ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia”
-James Martineau
Dalam definisi nabi Muhammad SAW, “agama adalah perilaku yang baik”. Atau kita mengikuti ide Paus John Paul II, ”ilmu dapat memurnikan agama dari kekeliruan dan takhayul, agama dapat membersihkan ilmu dari keberhalaan dan kemutlakan palsu”. Dengan kata lain kedua tokoh tersebut berusaha mendefinisikan agama dengan menggunakan akal sehat. Tetapi akhir-akhir ini atas nama agama, ada pula orang dengan segala keterbatasannya dalam beragama berkata “hukum penista Al-Qur’an, Ahok kafir, tolak pemimpin kafir, bunuh Ahok”. Gerakan ini dipelopori oleh beberapa kelompok gerakan Islam yang memperlihatkan emosi kemarahannya terhadap tingkah laku Ahok, yang menurut persepsi mereka tidak etis dan cenderung arogan.
Propaganda bahkan demo besar-besaran tak hanya di ibu Kota Jakarta, namun juga dilakukan di berbagai kota. Sebuah komunitas agama menampakkan kemarahan dan sikap agresifnya, sulit mendeteksi apakah wujud kemarahan tersebut memang karena memperjuangkan agama atau itu hanyalah gerakan teatrikal ketidakberesan mentalitas sikap mereka dalam beragama. Bisa jadi agama dan mereka hanyalah sekedar kendaraan elit politik tertentu.
Menurut Allport dalam bukunya The Individual and His Religion, orientasi seseorang beragama itu bermacam-macam, ada orang beragama dan bergabung dalam organisasi keagamaan tertentu, tujuannya menjadikan agama dan perkumpulan keagamaannya sebagai aktualisasi atas segala hasrat tujuannya inilah yang disebut keberagaman ekstrinsik. Lalu, keberagaman secara instrinsik (berusaha hidup berdasarkan nilai agama). Ada orang beragama namun tak berpengalaman dalam beragama. Bahkan ada yang beragama, walaupun jumlahnya merupakan mayoritas dalam kawasan tertentu tapi bermental minoritas.
Memang benar agama dan pemeluknya adalah sebuah drama. Selain sangat etnosentris, setiap definisi agama hanya menangkap sebagian dari realitas. Yah, bisa jadi reaksi marah beberapa gerakan Islam adalah hasil dari realitas mereka memahami agama. Definisi adalah batasan, dan agama sangat sulit dibatasi, agama bersifat kompleks. Dalam The Psychological Study of Religion, Leuba berhasil mengumpulkan 48 definisi agama. Hampir seabad yang lalu ia menunjukkan bahwa definisi agama dan perilaku keberagamaan selalu bersifat satu sisi, parsial, tidak mencakup semua. Leuba membagi defisi agama dalam tiga kategori yaitu, intelektualistik (menegaskan kepercayaan), voluntaristik (menekankan kemauan), dan efektivistik (menyangkut perasaan).
Gerakan marah massal beberapa kelompok Islam terhadap Ahok, jika menggunakan ketiga ketegori tersebut dimaknai sebagai bentuk penegasan kepercayaan mereka terhadap Islam, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk perilalaku yang melabeli orang atau kelompok selainnya sebagai kafir, bisa dibunuh, dan berbagai macam atribut kemarahan lainnya, sepertu menyerbarkan postingan kemarahan di sosial media, mengikuti aksi bela Islam dan sebagainya. Motivasi keislaman yang mereka bawa adalah amunisi dari kepercayaan pada agama. Lantaran kemauan apapun mereka ucapkan dan bahkan lakukan, disinilah keterlibatan perasaan.
Emosi keagamaan masyarakat adalah suatu getaran jiwa yang dapat menggerakkan seseorang melakukan suatu aktivitas-aktivitas religi. Jika orang beragama melibatkan ketajaman nalar dan intuisi, efeknya adalah kedewasaan dalam menyikapi pelbagai isu keagamaan. Agama laksana pisau yang memiliki sisi tajam pada kedua sisi-sisinya. Di satu pihak mengajak seseorang pada bentuk kehidupan yang harmonis (centripetal). Tetapi, pada saat yang bersamaan mengakibatkan ketegangan dan bahkan kekerasan diantara pengikutnya (centrifugal).
Sikap beragama membutuhkan referensi keagamaan yang memadai dalam melihat berbagai realitas keagamaan. Kekeliruan dalam mempersepsikan melihat, dan mendengar informasi melahirkan sikap keagamaan masyarakat yang gampang terprovokasi. Kadang, secara politis situasi seperti ini membuka peluang kelompok kepentingan untuk memperalat masyarakat yang minim wacana keagamaannya. Lalu haruskah marah pada Ahok?. Lalu, kemarahan itu direspon dengan demo lalu Ahok ditangkap?. Apakah kemarahan tersebut adalah tekanan mental dalam beragama yang jika tak segera diluapkan akan menjadi malapapetaka kejiwaan?.
Sikap perilaku beragama demikian secara psikologis disebut agresif dan kondisi emosionalnya disebut bermusuhan. Kita khawatir, akal budi melebur kedalam sikap marah dalam beragama. Berbagai atribut psikologis yang tampak dalam kehidupan sehari-hari, situasi emosional dan perilaku kita adalah cerminan dari struktur keberagamaan sekaligus mental kita. Oh iyah, jangan lupa rasio dalam beragama adalah hal penting. Tiap-tiap manusia ingin mencapai maqom irfan namun, perlu kecakapan dalam mengoperasikan sisi burhani, bayani lebih dahulu. Manusia harus berdialog teks, bukan manusia yang didominasi teks ataupu manusia yang memperalat teks. Sikap beragama yang otentik adalah kala persepsi, kognisi, emosi, dan perilaku keagamaan menjadikan seseorang sanggup bijaksana dan rendah hati.
*Penulis adalah peneliti di Profetik Institute