Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Dalam kehidupan ini, saya menjumpai dan jumlahnya tidak sedikit, orang-orang yang bergerak menuju kesuksesan hanya dengan mengandalkan hal-hal yang dimaknai sebagai modal teknis semata. Lebih dari itu, jika mengandalkan modal yang lain, tidak lebih dari dimensi intelektualitas atau bisa disebut kecerdasan intelektual. Saya memaknai modal teknis, seperti barter kepentingan, menyogok, finansial dan/atau kekerabatan. Dan makna modal teknis ini, tentunya tidak terbatas seperti yang saya sebutkan saja.
Tidak sedikit pula yang menjustifikasi pencapaian kesuksesan seseorang hanya pada indikator yang saya maknai modal teknis tersebut. Dari sini, saya terkadang merasa heran—untuk tidak menyebut perasaan yang lebih dari itu—mengapa mereka (tanpa kecuali yang dipandang dan terkesan tidak diragukan ibadahnya) seakan lupa tentang kekuasaan Allah, tentang takdir yang berbasis pada kasih sayang dan kekuasaan Allah untuk orang tersebut. Dan mereka pun lupa atau minimal seakan lupa bahwa kesuksesan itu indikatornya tidak tunggal. Kesuksesan atau sukses itu adalah akumulasi dan/atau rentetan kejadian dan proses yang dilewati pada masa sebelumnya baik yang bersifat konkret maupun yang abstrak.
Mereka yang hanya mengandalkan modal teknis, atau pun lebih dari itu hanya kecerdasan intelektual, maka berdasarkan pengamatan sederhana dan mungkin masih terbatas dalam lingkup interaksi sosial, cenderung tidak memiliki kecukupan dan kesiapan mental ketika mengalami “kegagalan”. Termasuk sebelum memulai perjalanan menuju kesuksesan, seringkali sudah mengalami atau memiliki “perasaan gagal”. Perasaan ini adalah hal problematis dan menarik frekuensi yang sama untuk menghadirkan problem baru yang lain dan mempertebal “tembok” rintangan.
Belajar dari kehidupan dan termasuk melalui hasil perenungan yang berbasis pada hasil inner journey, mencapai sukses atau kesuksesan membutuhkan modal yang lebih dari sekadar dua yang telah saya sebutkan di atas. Mencapai atau menuju kesuksesan dalam pandangan saya—meskipun saya telah menemukan basis ilmiahnya setelah membaca banyak referensi—sangat dibutuhkan “energi spiritual”.
Mencapai kesuksesan—termasuk dalam porsi dan versi kesuksesan yang telah saya capai—membutuhkan energi spiritual. Meskipun untuk poin ini, dalam konteks personal diri, saya harus terlebih dahulu meng-charge keberanian untuk mengatakannya, bahwa saya bisa mencapai titik ini, berbasis pada modal utama yaitu energi spiritual. Kesimpulan ini tidak menafikan bahwa modal intelektualitas (kecerdasan intelektual) dan emosional (kecerdasan emosional) tetap dibutuhkan dan sangat penting.
Termasuk untuk menulis—sejenis refleksi ini—dengan judul di atas, saya harus pula meng-charge keberanian karena tulisan ini, dalam harapan saya, tidak bersifat teoritik semata, tetapi telah dan bahkan akan dibuktikan untuk pencapai kesuksesan-kesuksesan berikutnya. Beberapa pekan yang lalu, saya merasakan daya tarik yang kuat untuk menuliskan hal ini, meskipun belum menemukan judul yang tepat. Setelah membaca beberapa buku sebagai referensi, saya menemukan banyak pencerahan. Termasuk judul di atas, meskipun tidak persis sama, saya terinspirasi dari buku Law of Spiritual Attraction: Prinsip Sukses Beyond LOA karya Priatno H. Martokoesoemo (2008).
Tulisan ini banyak mendapatkan pencerahan dari karya Priatno tersebut, termasuk buku karya Ary Ginanjar Agustian, selain dari hasil perenungan, pendalaman banyak referensi lain, tanpa kecuali pengalaman perjalanan pribadi penulis dan orang-orang sukses lainnya. Sebelumnya, saya ingin mengatakan bahwa—jika tidak salah ingat—spiritual yang dimaknai sebagai spirit itu, dimaknai sama dengan “energi”. Meskipun demikian, judul tulisan ini tidak berarti mengandung mubazir penggunaan kata. Apalagi setelah saya menelesuri dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karya Tim Prima Pena, keduanya memiliki pengertian yang berbeda.
“Energi Spiritual Menuju Kesuksesan” menjadi semakin penting untuk dipahami, minimal sebagai upaya untuk mengendalikan nalar yang telah banyak dipengaruhi oleh era digital dan modernitas yang terkesan menggerus, mendistorsi, dan mengeliminasi dimensi spiritualitas manusia. Meskipun disadari pula, bahwa masih ada di antara manusia yang masih tetap mengedepankan dimensi spiritualitas, tetapi di antara ini pula, pemahaman terkait urgensi, signifikasi, dan implikasi besarnya hanya pada konteks ibadah vertikal semata. Seakan spiritualitas tidak bisa hadir dan memberikan manfaat dalam konteks kehidupan sosial dan empiris, termasuk dalam mencapai kesuksesan.
Saya pernah mendengar pernyataan “jangan sibukkan Allah dengan harapan-harapanmu, termasuk dalam kesembuhanmu”. Yang secara substansial bisa dipahami pula, bahwa pernyataan ini mengesankan tidak perlu berdo’a untuk sebuah harapan dan termasuk untuk kesembuhan dari penyakit. Si pembuat pernyataan maunya fokus saja pada modal teknis, seperti berobat medis untuk sembuh atau lakukan saja hal teknis untuk mencapai harapan-harapan duniawi. Bagi saya hal ini tidak tepat, bahkan diksi “jangan sibukkan Allah” itu juga tidak tepat. Dalam pandangan sederhana pun, tentunya Allah pun tidak pernah “merasa disibukkan”. Meskipun demikian saya pun tidak sedang menarik kesimpulan bahwa modal teknis, termasuk dalam berobat di sini, tidak penting. Kita tetap membutuhkan upaya yang dimaknai “berobat secara medis”.
Manusia bukan hanya makhluk fisik-biologis, manusia adalah makhluk spiritual. Sebagaimana penegasan yang dikutip Priatno dari Dr. Wayne Dyer—salah seorang penulis tentang spiritualitas yang paling dikenal luas di Amerika Serikat—bahwa “Manusia adalah makhluk spiritual”. Sejumlah literatur lain pun, kita bisa menemukan dan memahami seperti penegasan Dyer ini.
Adalah Robert Jahn dari Princeton University bersama koleganya Brenda Dunne (dalam Priatno, 2008:35), pernah, selama lebih dari 25 tahun mengembangkan sebuah riset yang canggih dan akademis untuk membuktikan satu hal. Satu hal yang dimaksud adalah “apakah niat dari pikiran manusia bisa memengaruhi hasil dari pengambilan data dari pengambilan data secara acak yang dilakukan oleh komputer”.
Adalah Priatno menegaskan bahwa “Setelah lebih dari 2,5 juta tes dilakukan, Robert dan Brenda secara saintifik telah membuktikan bahwa niat dari pikiran manusia benar-benar memengaruhi pengambilan tujuan dan hasil dari pengambilan data secara acak oleh mesin elektronik tersebut”. Jadi jika mesin elektonik saja bisa dipengaruhi oleh niat dan termasuk keadaan pikiran, atau suasana perasaan kita, apalagi yang lain, tanpa kecuali manusia atau orang lain.
Apa yang ditegaskan oleh Robert dan Brenda sebagai hasil risetnya, sebagaimana dalam Priatno, saya pribadi sering mengalami baik pada saat mengendarai kendaraan termasuk beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih aktif bekerja sebagai tenaga Maintenance and Repair Information Technology (MRIT) SMK Negeri 1 Bantaeng. Seringkali kinerja komputer eror atau sebaliknya yang rusak bisa segera menemukan solusi perbaikannya, sangat tergantung dari niat, pikiran dan suasana perasaan pada saat itu.
Apa yang dilakukan oleh Robert dan Brenda, sebenarnya dari apa yang saya pahami, itu adalah bagian daripada LOA (Law of Attraction). Dan tulisan ini berharap dimuarakan pada substansi, bagaimana pencapaian dalam kesuksesan bisa menerapkan LoSA, sesuatu yang dipandang—sebagaimana pandangan Priatno—Beyond (melampaui) LOA.
“Energi Spiritual Menuju Kesuksesan” adalah upaya yang menegaskan dan menerapkan mekanisme kerja dari LoSA. Dalam artian, bahwa pada spiritualitas pun—tanpa kecuali pada manusia sebagai makhluk spiritual sebagaimana penegasan Dyer—di dalamnya berlaku hukum tarik menarik.
Mudah-mudahan tidak keliru, meskipun mungkin lebih jauh masih sebatas hipotesis, saya sampai pada pandangan bahwa hal psikologis yang terdapat dalam diri manusia, seperti pikiran dan perasaan ketika ditarikkan garis relasi ke hal-hal yang berdimensi maknawi, transendental dan/atau ilahiah, maka itulah yang bisa dimaknai sebagai “energi spiritual” dan di dalamnya terintegrasi hukum tarik menarik. Dan inilah yang bisa dimaknai sebagai LoSA.
Dalam mencapai kesuksesan bukan hanya kecerdasan intelektual dan hal-hal teknis— seperti jika berniat ikut tes CPNS dibutuhkan kemampuan menggunakan aplikasi untuk CAT (Computer Assisted Test)—melainkan dibutuhkan pula keyakinan, kejujuran, keikhlasan, kesabaran, keberanian, dan semangat. Beberapa poin yang saya sebutkan ini, itu adalah hal-hal yang bekerja pada mekanisme psikologis dan spiritualitas dan idealnya dilandaskan pada dimensi spiritualitas.
Hal spiritualitas menjadi penting, karena setelah memaksimalkan kecerdasan intelektual dan hal teknis lainnya, seringkali manusia masih terbentur pada sesuatu yang dimaknai “keterbatasan”. Pada kondisi yang terbatas inilah, manusia perlu memaksimalkan diri untuk memasuki ruang spiritualitas. Dalam dimensi spiritualitas ini, sesungguhnya jika kita mau jujur mengakui—dan yakin saja hati yang paling dalam yang masih jernih akan mengakui—adalah sesuatu yang tak terbatas karena berada dalam kendali zat Yang Tak Terbatas, yaitu Allah. Ini pun menegaskan bahwa dengan mengedepankan dimensi spiritualitas seperti keyakinan, maka kecerdasan intelektual dan hal teknis pun bisa mencapai titik maksimal.
Saya menyimpulkan demikian, sebagaimana penjelasan hasil riset dari Robert dan Brenda di atas. Selain itu, jika pembaca pernah membaca buku Quantum Learning karya Bobby DePorter & Mike Hernacki, maka akan bisa ditarik kesimpulan bahwa hal spiritualitas itu bisa membangkitkan dan memaksimalkan kinerja otak. Saya pribadi telah sering membuktikan hal tersebut, sebagai contoh bagaimana upaya saya dalam menghapal Undang-Undang Pemilu untuk kepentingan menghadapi CAT seleksi anggota KPU Kabupaten Bantaeng.
Terkait kekuatan hal spiritualitas lain yang berawal dari mimpi dan berujung pada keyakinan, bisa ditemukan dalam literatur historitas profetik dan terabadikan dalam QS. Al-Anfal [8]: 43 “(Ingatlah) ketika Allah memperlihatkan mereka di dalam mimpimu (berjumlah) sedikit. Dan sekiranya Allah memperlihatkan mereka (berjumlah) banyak tentu kamu menjadi gentar dan tentu kamu akan berbantah-bantahan dalam urusan itu, tetapi Allah telah menyelamatkan kamu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hatimu”.
Ayat lain yang bisa menjadi penguat daripada pemahaman akan pentingnya LoSA atau sebagaimana dengan judul saya menyebutnya “energi spiritual”—sebagai sesuatu yang melampaui LOA—adalah QS. Al-Jatsiyah [45]: “Maka adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka Tuhan memasukkan mereka ke dalam rahmat-Nya (surge). Demikian itulah kemenangan yang nyata“.
Jika kita jernih dalam menilai kehidupan, maka kita pun bisa mendapati dimensi spiritualitas yang mengantarkan Indonesia untuk mencapai kemerdekaannnya, dan para pahlawan tanpa kecuali para founding fathers sangat menyadari hal tersebut. Kesadaran spiritualitasnya ini bisa kita pahami dan bahkan sering mendengarkannya sebagaimana termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “Atas berkat dan rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya…”
Setelah memaksimal ikhtiar berupa kecerdasan intelektual dan hal-hal teknis lainnya, maka yang harus dimaksimalkan adalah keyakinan akan Kekuasaan dan Kasih Sayang Allah untuk memudahkan perjuangan kita mencapai apapun bentuk cita-cita atau harapan kita. Saya seringkali menyampaikan “Apalah arti shalat yang rutin kita lakukan, jika kita masih takut akan sesuatu selain Allah dalam berjuang mencapai harapan-harapan besar”.
Saya pun menyadari, bahwa energi spiritualitas tidak serta merta akan terpancar atau berfungsi dalam mencapai kesuksesan. Energi itu bukan sesuatu yang sekali jadi, atau serta merta setelah membaca tulisan saya ini, si pembaca langsung memilikinya. Butuh proses sampai melahirkan sesuatu yang bisa dimaknai sebagai habitus. Pemahaman dan kesadaran ini, bisa semakin dipahami dengan memahami cara pandang Yuval Noah Harari mengenai proses algoritmik yang bisa pula terjadi dalam diri manusia.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.