Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Figur Publik, Sensitivitas dan Tanggungjawab Sosial

×

Figur Publik, Sensitivitas dan Tanggungjawab Sosial

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Ada hal filosofis dan empiris yang melatari sehingga saya tertarik dan bertekad untuk menyelesaikan tulisan ini. Selain itu, banyak sosok yang dipandang sebagai “figur publik” yang bisa dinilai tidak memiliki sensitivitas dan terkesan lupa bahwa dirinya punya “tanggungjawab sosial”.

Sebelum lebih jauh menjelaskan sesuai dengan judul di atas, terlebih dahulu sebaiknya, kita memahami pengertian masing-masing, terkait yang akan dibahas. Figur publik, yang seringkali pula ditulis publik figur yang berasal dari bahasa Inggris “public figure” adalah sosok atau tokoh yang dikenal secara luas dan baik di tengah-tengah masyarakat, ruang publik. Bisa pula menggambarkan seseorang yang menjadi cerminan bagi masyarakat. Saya lebih memilih penulisan “figur publik” daripada “publik figur”, setelah terinspirasi dari penjelasan Uu Suhardi (nama facebook: Uksu Suhardi, mantan editor senior Tempo).

Sensitivitas yang berarti sensitif dan mengandung makna “peka” atau “cepat menerima rangsangan”. Dalam Kamus Ilmiah Populer karya Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Barry (1994), “Sensitivitas” diartikan “Perasaan yang peka atau yang lekas timbul”. Tanggungjawab sosial, saya memaknainya kewajiban terhadap kehidupan sosial, dan termasuk kesiapan atau fungsi menerima pembebanan atas akibat dari sikap dan/atau tindakan sendiri dan/atau pihak lain.

Sebelum mengurai lebih mendalam, saya ingin menambahkan bahwa figur publik yang dimaksud, bisa juga berarti para sosok elit, pejabat negara, tokoh masyarakat, tokoh agama, para pimpinan lembaga negara, pimpinan ormas, pimpinan parpol, para aktivis, dan sosok icon atau patron organisasi kepemudaan, seperti ketua OKP . Bahkan untuk era sekarang, makna figur publik bisa diperluas lagi dan termasuk bisa berarti bagi para influencer yang memiliki banyak followers dan aktris yang memiliki banyak fans (penggemar).

Tidak sedikit permasalahan bahkan perdebatan panas yang terjadi di tingkatan akar rumput, masyarakat dan berujung pada konflik horizontal, itu berawal dari sikap, tindakan, bahkan pernyataan dari sosok yang dimaknai sebagai figur publik. Tanpa kecuali lifestyle tertentu semakin marak dilakukan karena adanya sosok figur publik yang pertama kali melakukannya. Jika hal tersebut positif, patut dipertahankan. Yang menjadi problem jika hal itu negatif, dan memiliki dampak lanjutan dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Dalam perspektif ilmu memetika berdasarakan pemahaman saya, sikap, perilaku, dan pernyataan figur publik, baik yang bernilai positif maupun negatif, seringkali cepat menyebar, bahkan bertransformasi, diterima, dan diikuti oleh yang lain, terutama oleh sosok si pengagumnya, pengikut cara pandang atau ideologinya. Tanpa kecuali “status-status” para influencer akan diikuti, diyakini, dishare oleh para followers-nya. Jadi dalam hal ini terkesan mengandung mekanisme “dogmatik”, “doktrinasi” bahkan “taklid buta”.

Relevansi dari pandangan sederhana di atas, saya, dan bisa jadi pembaca pun memiliki harapan yang sama, agar para sosok yang pada dirinya melekat atribusi “figur publik” untuk memiliki “sensitivitas” dan sekaligus rasa “tanggungjawab sosial” yang tinggi. Bahkan kepada ketua organisasi saja, seperti “Ketua IPM dan/atau Pemuda Muhammadiyah Bantaeng”, terkadang saya menegur, baik langsung maupun tidak langsung, agar untuk persoalan “status/postingan facebook”-nya saja, untuk tidak/jangan sekadar memposting tanpa memperhatikan secara mendalam makna, nilai, tujuan, dan pengaruhnya. Mereka, minimal para ketua organisasi itu akan menjadi icon, patron atau pun bisa dimaknai sebagai figur publik bagi pihak eksternal atau minimal menjadi cerminan dalam konteks internal organisasinya sendiri.

Saya pun seringkali menegaskan kepada mereka, bahwa menjadi pimpinan organisasi itu, akan berbeda sebelum menjadi pimpinan, tanpa kecuali bagi penyelenggara/pejabat negara akan dan harus sudah berbeda sebelum menjadi, meskipun tidak dimaknai dalam istilah popular “Jaim” (jaga image), tetapi terpatri kesadaran bahwa minimal sebagian dalam dirinya sudah mencerminkan institusi yang dipimpinnya. Apalagi dalam kehidupan masyarakat, kita sering menemukan fenomena yang tidak memisahkan antara perspektif personal dan kelembagaan, termasuk identitas individual dan institusional.

Figur publik, meskipun tidak mudah, harus berupaya maksimal untuk memiliki “sensitivitas” dan rasa “tanggungjawab sosial” yang tinggi. Cara pandang ini, bagian daripada tanggungjawab moral dan kesadaran untuk orientasi regenerasi yang memiliki karakter positif pada masa kini, dan terutama masa yang akan datang.

Kemampuan memiliki “sensitivitas” memang tidak mudah, bukan urusan yang semudah membalikkan telapak tangan. Meskipun dirasakan seperti itu, namun bukan pula berarti mustahil untuk bisa memilikinya. Dalam pemahaman dan perenungan saya, kemampuan yang dimaknai “sensitivitas” bisa kita miliki ketika kita memiliki “kecerdasan intelektual” yang mumpuni, “kecerdasan emosional”, “kecerdasan spiritual” dan termasuk “kesadaran kritis” yang dibiasakan.

Kecerdasan intelektual sangat dibutuhkan agar bisa memiliki “sensitivitas” karena hanya dengan kecerdasan intelektual seseorang akan memiliki kemampuan berpikir kritis, berpikir filosofis dan berpikir ideologis. Kemampuan berpikir kritis menjadi penting karena hanya dengan itu seseorang figur publik akan memiki kemampuan menarik relasi struktural dan/atau hierarkis untuk memahami apakah sikap, tindakan, perilaku dan pernyataannya memiliki efek bagi yang lain.

Kemampuan berpikir filosofis pun dibutuhkan karena dibalik kemampuan ini, mengnadung kemampuan untuk memahami minimal relasi kemanusiaan, dimensi psikologis, sehingga seseorang yang dipandang sebagai icon, patron, tokoh, figur, akan memiliki pengaruh baik langsung maupun tidak langsung bagi orang lain. Begitupun kemampuan berpikir ideologis menjadi penting, karena di dalamnya akan mengandung kemampuan untuk membaca, memahamai, dan menginterpretasi, serta mengetahui sebuah representasi dari realitas yang ada.

Seorang figur publik agar bisa memiliki “ssensitivitas” yang dalam, dibutuhkan pula kecerdasan emosional, karena kecerdasan ini sarat dengan relasi humanitas dan psikologis, agar bisa turut merasakan apa yang dirasakan seseorang, apalagi jika hal itu, pemicu utamanya dari diri (diri sebagai figur publik). Begitu pun kecerdasan spiritual harus dimiliki oleh seorang figur publik–namun bukan berarti bahwa yang bukan figur publik, tidak perlu memilikinya–minimal bertujuan untuk menemukan setiap makna dan mendasarkan setiap sikap, perilaku, tindakan dan pernyataannya pada sesuatu yang bernilai transenden, ilahiah, dan esoterik. Hal ini, otomatis akan berada dalam bingkai sensitivitas dengan nilai positif.

Seorang figur publik, selain harus memiliki “sensitivitas”, harus pula memiliki rasa “tanggungjawab sosial” yang tinggi. Dalam kesadaran ilahiah dan pemahaman ilmu “sistem sosial”, manusia bahkan setiap diri diberikan atau memiliki “kehendak bebas”, sejenis the power of choice. Namun yang harus disadari bahwa setiap pilihan itu mengandung konsekuensi dan manusia pun tanpa kecuali setiap diri, tidak memiliki kebebasan untuk memilih jenis konsekuensi dan termasuk kepada siapa dampaknya ditujukan.

Dalam ilmu “sistem sosial”–salah satunya yang saya pahami dengan baik dari M. Husni Muadz–setiap perbuatan manusia atau seseorang tidak bisa ditentukan kepada siapa dampaknya. Bahkan bisa jadi, perbuatan personal menimbulkan dampak sosial atau kolektif. Apalagi seorang figur publik, bisa dipastikan sedikit atau banyak pasti memiliki followers, fans dan dalam relasinya dengan orang lain, seringkali terdapat mekanismi “dogmatik”, “dokrinasi” atau mungkin dengan istilah lain “taklid buta”.

Uraian di atas, mungkin saja atau bisa dipastikan belum komprehensif membahas terkait tema “figur publik” hubungannya dengan “sensitivitas” dan “tanggungjawab sosial”-nya. Bahkan berdasarkan harapan saya saja, belum sampai. Namun, tidak mengurangi semangat ini, saya berharap, semoga pembaca bisa menangkap substansi yang menjadi harapan dari tulisan ini. Dan bukan hanya “ditangkap”, tetapi bisa termanifestasi dalam kehidupan, sehingga memiliki “sensitivitas” dan rasa “tanggungjawab sosial” yang tinggi.

Seorang figur publik, sebaiknya jangan asal bicara, perlu memikirkan dan mempetimbangkan secara matang setiap kata yang dilontarkan. Hal itu bukan hanya untuk menjaga bahwa kata yang terlontar adalah cerminan dirinya, tetapi berpontesi akan diikuti, diyakini dan bahkan kembali direproduksi oleh orang lain. Dan selanjutnya memiliki konsekuensi luas yang berdampak pada kehidupan sosial yang lebih luas daripada sekadar dampak personal.

Seorang figur publik, dalam harapan saya, dan mungkin pembaca pun memiliki harapan yang sama, agar setiap sikap, perilaku, tindakan, dan pernyataan yang lahir dari dirinya, senantiasa mengandung hal-hal yang bersifat motivasi, inspirasi, sesuatu yang menggugah lebih dari sekadar menggugat.

Seorang figur publik, sebaiknya harus komitmen dan konsisten menjadikan dirinya sebagai mercusuar peradaban, panutan, patron dalam kehidupan sehari-hari. Bukan justru sebaliknya menjadi pemantik problem sosial.

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply