Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Filsafat Misoginis

×

Filsafat Misoginis

Share this article

(Serpihan Refleksi Hasil Bacaan Buku Gadis Arivia Filsafat Berperspektif Feminis)

Oleh : Siti Indah Khanazahrah*

Secara umum buku Filsafat Berperspektif Feminis berusaha mengeksplorasi pemikiran para filsuf besar dari zaman Yunani hingga kontemporer. Dari sejumlah filsuf yang diteliti, pemikiran mereka yang mendominasi adalah peminggiran perempuan dan hampir tidak memberikan ruang bagi pemikiran feminis. Dalam penelitiannya, Gadis Arivia menggunakan metode dekonstruksi untuk menganalisis pola pikir maskulin yang mendominasi dan berusaha di-definitif-kan sebagai bentuk epistemologi ideal.

Gadis Arivia mengawali tulisannya dalam bukunya itu dengan mempertanyakan kembali validitas filsafat sebagai pengetahuan ‘induk’ yang memuat realitas, keadilan dan kebijaksanaan. Juga filsafat yang dianggap pemegang peranan paling esensial dalam semua ilmu pengetahuan, dengan cirinya yang kritis, radikal, dan universal. Tetapi sebagaimana dituliskan Gadis Arivia selanjutnya, asumsi di atas membutuhkan verifikasi berupa pertanyaan; “Apa benar filsafat telah memberikan pandangan mendalam dan menyeluruh bagi persoalan-persoalan kehidupan maupun akademis ?” Inilah dasar kecurigaan terhadap dominasi corak berpikir tertentu, karena fakta justru menampilkan situasi yang dikotomis.

Gadis Arivia dalam menelusuri sejarah dan perkembangan filsafat terutama di Barat memang lebih banyak mendapati fakta-fakta filsafat yang misoginis. Seperti misalnya filsafat kerap menyuarakan keganjilan hubungannya dengan feminisme, bahkan filsafat sengaja dikonstruk untuk tidak ramah perempuan. Pun dijumpai dari sederet filsuf perempuan yang dikenal hanya dari nama mereka sedangkan karya-karya mereka tidak dikenal. Sekali lagi suatu keganjilan, jika para filsuf laki-laki dikenal beserta karya-karyanya, sedangkan filsuf perempuan sendiri hanya dikenal namanya dan tidak karyanya. Mungkin memang benar kata Michele le Doeuff, “bahwa yang terjadi adalah peminggiran terhadap filsuf-filsuf perempuan dan hal ini bukan sesuatu yang baru karena memang telah terjadi dalam waktu yang lama”. Doeuff menunjang pandangannya dengan menelusuri asumsi-asumsi misoginis pada salah satu pernyataan Aristoteles “Antara laki-laki dan perempuan, yang terdahulu secara alamiah superior dan pemimpin sedangkan yang satu inferior dan objek” sedangkan Descartes dalam sejumlah karyanya secara tidak langsung membatasi rasionalitas hanya milik lelaki.

Fakta selanjutnya di abad pertengahan dan modern dijumpai St. Agustinus yang memandang perempuan sebatas pada fungsi reproduksi dan sifat pelayanan terhadap suami semata. Demikian juga Thomas Aquinas memandang perempuan sebagai ciptaan yang cacat sebagaimana pandangan Aristoteles. Di abad modern, pandangan misoginis tidaklah lenyap seperti dituliskan Gadis Arivia, “kondisi perempuan Inggris kala itu mengalami kehidupan yang sulit dan keras. Contoh kehidupan Ratu Elizabeth dengan penguasa kala itu Raja James I yang sangat membenci perempuan. Pembunuhan dan pembakaran perempuan yang dituduh ‘nenek sihir’ yang dipelopori pendeta“. Hukuman lain dan lebih brutal dijatuhkan pada perempuan atas pelanggaran terhadap suaminya, dan ini sebagaimana ditegaskan “tradisi ini mengembangkan pemikiran bahwa perempuan menyimpan bibit-bibit ‘keburukan’ sehingga harus terus menerus diawasi dan ditertibkan oleh anggota keluarganya yang laki-laki atau suaminya jika sudah menikah”. Pada saat yang sama lahirlah pandangan pragmatis di masyarakat (laki-laki) bahwa kehidupan ideal bagi laki-laki adalah kesendirian (tanpa menikah), sedangkan perempuan semakin terkubur dengan klaim-klaim tidak berdasar atasnya.

Ini menjadi ruang kritik, menanyakan secara filosofis alasan mendasar peminggiran filsuf perempuan. Apakah karena perbedaan corak berpikir atau perempuan yang dipandang lemah dalam hal ini (berpikir)? Apakah karena cara pandang yang dikotomis (membedakan secara diametral antara laki-laki dan perempuan) atau justru faktor lain seperti ego dan kecemburuan? Pertanyaan lain, kapan peminggiran dan kebencian oleh lelaki terhadap perempuan dimulai? Apakah ada semacam kesalahan berpikir, atau mungkin konteks yang membentuk cara pandang masyarakat yang misoginis itu? Ini menjadi alasan lain gugatan terhadap ‘validitas’ filsafat atas dominasi misoginis filsuf laki-laki yang konon mengidentitaskan diri mereka sebagai rasional dan pemilik kebijaksanaan.

Demikian gugatan filosofis fakta misoginis yang membudaya sekian lama dan kini belum juga menemukan titik terangnya. Hari ini misalnya dijumpai penolakan bahwa misoginis masih tumbuh mencekoki pola kehidupan masyarakat. Mereka membantah lantaran emansipasi perempuan telah lama digaungkan dan sistem pemerintahan juga telah memberi ruang kebebasan pada perempuan. Demikian juga agama (Islam terutama) kehadirannya salah satunya membebaskan sepenuhnya perempuan dari ketertindasan yang dialami. Tetapi perlu diamati bahwa sejauh mana emansipasi, ruang kebebasan dan agama mempengaruhi tradisi misoginis yang purba itu. Oleh salah satu pemikir mengatakan “hampir mustahil bebas dari patriarki, mengingat sifatnya yang bahkan bertumpu sejak dari epistemologi“. Sedangkan berbicara epistemologi sama halnya berbicara pandangan dunia, yaitu seperti ditegaskan Karen J. Warren, seorang ekofeminis “pada mulanya masyarakat kita dibentuk oleh nilai, kepercayaan, pendidikan, tingkah laku, yang memakai kerangka kerja patriarki, dimana ada justifikasi hubungan dominasi dan subordinasi, penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki“. Dalam hal ini sistem pengetahuan kita yang patriarki, lahir dan berkembang turun-temurun dari dominasi pikiran laki-laki, menjadi tantangan terbesar kalangan perempuan bangkit menyuarakan kesetaraan.

Secara global, Robert Jackson dan Georg Sorensen dalam penelitiannya belakangan menunjukkan fakta tradisi misoginis masih mendominasi, diantaranya; 1). Perempuan hanya memiliki 1% properti dunia. 2). Perempuan hanya 5% yang menjadi kepala negara dan menteri dalam kabinet. 3). Perempuan menghabiskan sekitar 60% dari seluruh jam kerja. 4). Hanya memperoleh gaji 10% dari seluruh pendapatan. 5). Mewakili 60% dari keseluruhan buta huruf. 6). Mewakili 80% dari seluruh pengungsi yang disertai anak-anak mereka. Penelitian ini tentu saja saling mengafirmasi fakta-fakta ketidakadilan gender dalam bab teori-gerakan feminisme buku Gadis Arivia yang juga secara gamblang dipaparkan seperti perdagangan perempuan internasional, dan sebagainya. Akan tetapi keseluruhan fakta itu tetap saja tidak cukup membantah asumsi patriarki sudah punah, sebab kacamata yang digunakan menilai adalah patriarki tanpa sadar. Maka benarlah ungkapan pemikir tadi tentang patriarki yang memenjara sejak dalam sistem epistemologi. Fakta lain misoginis yang lebih dekat dalam keseharian misalnya eksploitasi tubuh perempuan, eksploitasi media atau dikemas dalam dunia fashion dan sejenisnya. Demikian juga dalam panggung politik praktis, perempuan tidak lebih berfungsi sebagai objek dan laki-laki sebagai subjek. Misalnya kuota perempuan dalam menduduki kursi parlemen diberikan 30% namun fakta dilapangan tidak demikian. Hal ini karena tidak ada upaya serius dari pimpinan partai memenangkan perempuan sebab logika politik yang berkembang memang lebih terbuka bagi laki-laki. Disisi lain di panggung politik menjadi arena paling nyaman melanggengkan eksploitasi seksual pada perempuan dan ironisnya mereka (perempuan) tidak sadar atas apa yang dialami karena tuntutan ekonomi ataupun keterjebakan budaya hedonisme.

Lantas apa yang harus dilakukan untuk keluar dari dunia misoginis ini. Kata seorang feminis bahwa “masalah perempuan merupakan filsafat pembebasan dan pembebasan filsafat itu sendiri“. Tampaknya masalah ini kompleks, masalah bersama yang membutuhkan kerja sama laki-laki dan perempuan memikirkan solusinya saat ini. Tidak bisa lagi menyalahkan laki-laki sepenuhnya atau perempuan sepenuhnya sebab tumbuh-kembang patriarki yang dikategori dominasi laki-laki bukan tidak mungkin perempuan punya andil di dalamnya. Asumsi seperti perempuan gagal menjadi subjek atau pelaku sejarah pengetahuan bisa saja menjadi salah satu alasannya. Oleh Simone de Beauvoir turut menegaskan bahwa yang menjadi sumber ketertindasan perempuan adalah subjektifitasnya yang selalu memandang dirinya objek. Tetapi asumsi ini memerlukan analisis sistemik sejarah sebab menyangkut perguliran masa kehidupan manusia. Patriarki periode klasik tentu saja berbeda dengan periode setelahnya sampai periode hari ini. Periode klasik yaitu kesetaraan penuh menuju peralihan matriarki ke patriarki, memiliki tingkat dominasi atau peminggiran perempuan yang berbeda dengan periode pertengahan atau modern misalnya. Akses pengetahuan misalnya yang tidak ada di periode pertengahan lebih terbuka ruangnya hari ini dan sebagainya.

Ada satu hal yang menjadi pertanyaan mendasar yaitu apa penyebab peminggiran perempuan. Apakah karena laki-laki tidak mampu mengkontekstualisasi perempuan sehingga putus asa lantas mengambil jalan praktis peminggiran atau hal lain.
Laki-laki kemudian mengkonstruk realitas seperti ide purba Aristoteles dan dilanggengkan sampai kini yaitu sperma dari laki-laki dirumuskan sebagai jiwa atau bentuk dan darah haid dari perempuan diklaim material (fisik) yang suatu waktu akan hancur. Defenisi tentang manusia pun dikonstruk menjadi binatang rasional dimana rasionalitas hanya diidentifikasi milik laki-laki dan perempuan adalah binatang karena tidak rasional. Hal lain yang mendasar yang juga dikonstruk adalah bahasa. Kata ganti Tuhan misalnya dalam bahasa Inggeris ‘he’ adalah laki-laki dan bukan ‘she’ perempuan. Demikian juga kebanyakan doktrin teologis dimonopoli laki-laki. Ini berbeda dengan Freud yang berterus terang mengakui ketidakmampuannya menafsir perempuan dalam statemennya “puluhan tahun saya mempelajari perempuan tetapi saya tidak tahu perempuan“.

Apa yang dilakukan Gadis Arivia dalam bukunya yang menyodorkan proyek dekonstruksi filsafat berciri feminis menjadi langkah signifikan memulai menyuarakan kesetaraan, atau menyuarakan kebebasan yang berkeadilan menurut Julia Kristeva. Kristeva menyebut “manusia yang bebas adalah mereka yang bisa bergerak secara bebas antara yang feminim dengan maskulin, yang chaos dengan order, atau revolusi dengan status quo“. Perempuan harus melakukan revisi ulang tentang epistemologi yang ada. Rasionalitas beserta rangkaian tafsirnya yang diklaim ciri mutlak filsafat perlu ditelusuri kembali sebab hasil konstruksi laki-laki. Menguji ulang filsafat yang dikategori menganut teori patriarki, menguji ulang filsafat yang diklaim kebenaran mutlak karena filsafat secara hakikat akan selalu berubah-ubah. Demikian juga tafsiran atau penggambaran manusia harus diidentifikasi ulang karena sarat pola-pola patriarki.

Filsafat berciri feminis menekankan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam seluruh aspeknya seperti kemanusiaan dan hak-hak universal. Juga secara hakikat keduanya memiliki kodrat yang kedudukannya filosofis. Ini sejalan dengan perspektif spiritual (terutama Islam) yang memandang laki-laki dan perempuan meskipun diberi peranan yang berbeda-beda oleh alam, peranan keduanya saling melengkapi dan bukannya saling bersaing. Dalam jiwa manusia, baik laki-laki maupun perempuan mutlak setara dalam hubungan mereka dengan Pencipta mereka. Relasi spiritual tidak berlaku di dalamnya jenis kelamin. Dan sebagai manusia ‘ideal’, baik laki-laki maupun perempuan penting menggali kebajikan-kebajikan yang sama dan menjalankan ibadah praktis-spiritual yang sama, dan di hadapan Tuhan, mereka mengemban tanggung jawab yang sama terhadap tindakan-tindakan mereka.

*) Penulis adalah koordinator Rumah Kajian Filsafat (RKF) Makassar

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply