(Refleksi Sederhana Mengantar Pergantian Tahun)
Oleh : Muh. Asratillah Senge
Ada dua kelompok peristiwa yang cukup menarik perhatian kita di tahun 2018 dan sedikit banyaknya akan mendominasi memori kita akan tahun 2018, yakni peristiwa politik dan peristiwa kebencanaan. Atau supaya terdengar lebih dramatis, ada dua gelombang besar yang menghantam bangsa kita di tahun 2018, yakni gelombang politik dan gelombang bencana alam.
Perihal gelombang politik, kita bisa membuka lembaran waktu mulai bulan Februari saat ketua BEM UI Zaadit Taqwa memberikan kartu kuning kepada presiden Joko Widodo pada Dies Natalis UI ke 68. Pada Bulan yang sama nomor urut Partai Politik ditetapkan. Bulan Maret publik heboh akan pidato Prabowo yang menyebutkan bahwa Indonesia akan bubar pada tahun 2030. Bulan Juni kita disuguhkan dengan gelaran pilkada serentak di 171 Kabupaten Kota dan 7 provinsi, dan yang cukup menghebohkan kotak kosong menang di Makassar. Lanjut Bulan Agustus Jokowi menetapkan Ma’ruf Amin yang sudah berumur cukup tua sebagai pendampingnya di plpres 2019, bulan Oktober kita disuguhkan dengan hoax Ratna Surampet. Dan diakhir tahun kita disuguhkan dengan pertarungan cercaan “tampang boyolali”, “politisi sontoloyo” dan “politisi genderuwo”.
Gaduh memang, mencerdaskan belum tentu. Publik tidak hanya disuguhkan dengan keributan politik, tapi tepatnya keributan politik yang susul menyusul. Dan seringkali, yang memicu keributan hanyalah perihal sepele. Seperti yang dikatakan oleh B. Hari Juliawan dalam Konflik Politik Baru (2018) bahwa tahun politik telah berjalan lebih setengah permainan, frekuensi kegaduhan melonjak tajam, tiada hari berlalu tanpa polemik politik entah karena puisi, baju kaos, lagu, bagi-bagi sembako, dugaan korupsi atau kebijakan-kebijakan politik. Ada yang berujung laporan polisi dan berlanjut ke meja pengadilan.
Demokrasi memang membuka pintu bagi datangnya kegaduhan, karena dalam demokrasi saling mengkritik, saling mendebat dan saling menegasi adalah hal yang lumrah, selama masih tetap berada dijalur yang konstitusional. Tapi yang jadi soal sorotan mata publik, sorotan mata warga negara (citizen), sorotan mata warga dunia maya (netizen), tidak tertuju pada logic of game demokrasi, tidak tertuju pada etos demokrasi yang memungkinkan kritik-mengkritik tersebut, tapi lebih tertuju pada kegaduhannya. Saya juga tidak mengetahui pasti apa yang menjadi sebab akan hal itu, apakah karena media mainstream lebih menonjolkan sisi visibilitas (tingkat ketertarikan untuk ditonton) peristiwa politik ketimbang sisi edukasinya ?, ataukah elit politik kita menganggap edukasi politik bukanlah langkah efisien untuk mendudukkan diri di kursi kekuasaan ? sehingga elit politik mengambil jalan by pass untuk mendongkrak elektabilitas diri atau kandidatnya, dengan lebih mengaduk-aduk emosionalitas publik ?.
Merujuk data Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia tahun 2018, harian kompas edisi februari 2018 menyebutkan bahwa penanganganan konten negatif internet di tahun 2017 meningkat 900 persen dibanding tahun 2016, dan sebagian besar konten negatif tersebut adalah pornografi dan sentimen SARA. Media baru dalam hal ini internet terkhusus media sosial, menjadi tantangan tersendiri bagi konsolidasi demokrasi kita, mengapa demikian ? karena demokrasi yang terkonsolidasi mempersyaratkan publik yang dewasa, mempersyaratkan warga negara yang mampu mengoptimalkan akal budi nya. Tapi saat ini menjelang pemilu 2019, kurang lebih 20 tahun pasca reformasi, kita justru menggunakan kembali retorika yang sering dijadikan oleh rezim Orde Baru untuk memberangus gerakan masyarakat sipil, yakni isu sentimen primordial SARA. Jika di masa Orba, isu sara relatif tersentripetalisasi di rezim Soeharto, kini isu SARA relatif tersentrifugalisasi ke elit-elit politik yang beragam, mulai dari pusat hingga daerah, mulai dari ruang publik offline maupun online.
Lalu rakyat kebanyakan terseret dalam kegaduhan tersebut, mereka asik berdebat, berdiskusi, saling menyindir, membela jagoannya. Bahan yang mereka gunakan untuk terlibat dalam kegaduhan adalah informasi yang mereka dapat sepotong-sepotong, terkadang sumbernya tak jelas ataupun anonim. Bagi mereka informasi yang valid tidaklah penting, tapi informasi yang memperovokasi dan mendukung jagoan politiknya itulah yang terpenting. Yah terlalu dini kalau mengatakan ini anarki, tapi ini sedikit banyaknya membenarkan perkataan Thomas Hobbes bahwa manusia adalah homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya) atau perkataan Hobbes yang lain bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua). Walaupun begitu sedikit banyaknya kita masih bersyukur, karena kita seringkali menerkam sesama dengan menggunakan kata-kata, kitapun memerangi sesama dengan menggunakan kata-kata.
Lalu yang cukup khas di tahun 2018, gelombang politik juga bersamaan dengan gelombang bencana alam. Gempa bumi di NTB, ,menyusul korban tsunami dan gempa di Sulawesi Tengah dan yang teranyar adalah tsunami akibat longsoran sisi gunung berapi di Selat Sunda. Walaupun saya berlatar belakang akademik sebagai seorang geolog, tapi yang menarik disimak adalah soal tafsir terhadap peristiwa bencana tersebut. Bukan tafsir sintifiknya, tetapi soal tafsir teologi-politik terhadap bencana. Alih-alih memberikan ke publik soal sebab-sebab geologis dari bencana, dan ideal mitigasi yang seharusnya dilakukan, sebagian besar malah menawarkan semacam eskapisme teologis, bahwa bencana tersebut adalah perlambang murka Tuhan. Bagi saya ini adalah kedunguan luar biasa, karena kita akan menambah beban pada sang korban, selain mereka telah menderita karena kehilangan harta bahkan nyawa, merekapun menderita dikarenakan moralitiy labelling, yang meremukkan ketahanan mental mereka. Dan yang lucunya morality labelling tersebut dieksploitasi demi kepentingan politik tertentu, dan ini adalah sesuatu yang sangat keterlaluan, ini justru memperkuat perkataan Thomas Hobbes di atas, walaupu retorika yang kita gunakan adalah retorika keagamaan.
Lalu apakah di tahun baru ini kita harus pesimis, dan menyadari diri bahwa kita semua ini adalah “siluman serigala” ?. Sebelum kita mengambil kesimpulan ada baiknya kita menyimak perkataan Aristoteles di bukunya yang berjudul Politics yang sudah klasik ini, ”………’tuturan’ adalah, sesuatu yang berbeda dari ‘suara’ yang juga dimiliki oleh binatang lain dan dipakai untuk mengekspresikan rasa sakit dan rasa senang…..’tutur kata’ di lain pihak dipakai untuk mengindikasikan apa yang berguna dan apa yang berbahaya, dan juga apa yang adil dan apa yang tidak adil…”. Jangan sampai kata-kata yang kita ketikkan di gadget, labelling yang kita tujukan kepada yang berbeda dari kita secara semena-mena, hoax yang kita share kemana-mana, kegaduhan dan keributan yang kita ciptakan, hanyalah “suara” bukan “tuturan”, karena lebih didorong oleh “rasa sakit hati” dan “kesenangan” tak berdasar ?(ekstasi komunikasi menurut Yasraf Amir Pilliang). Jika betul begitu, maka kita sebenarnya tak pernah bertutur kata sebagaimana manusia menurut Aristotelian, tetapi lebih pada “suara” atau “aungan” serigala.
Karena “Perbedaan yang jelas antara manusia dan binatang adalah bahwa manusia sendiri punya persepsi baik dan jahat, adil dan tidak adil” kata Aristoteles.