Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipDaerahOpiniPendidikan

Gagasan Progresif ; Carilah Ia di Warkop

×

Gagasan Progresif ; Carilah Ia di Warkop

Share this article
Sumber : https://m.tempo.co/read/news/2016/03/26

Oleh : Mahram Mubarak

“Hidup yang tak dipikirkan adalah hidup yang tak pantas untuk dijalani”, Sokrates

Ungkapan Sokrates ini memantik kegairahan berpikir kita bahwa kehidupan mesti direfleksikan. Reflektivitas pertama, hadir untuk mempersoalkan dari mana diriku. Kedua, sebagai penghayatan ber-sesama untuk menyoal apa yang harus aku lakukan. Ketiga, secara introspektif selalu timbul pertanyaan, apakah tetapan-tetapanku sudah merupakan kebenaran atau hanya sekedar orientasi pribadi semata.

Kompleksitas kehidupan mensyaratkan kesadaran antara batasan pikiran dan kehendak untuk melampaui. Batasan pemikiran diberi ruang ekspresif di ruang kelas. Sebaliknya, kehendak untuk melampaui diwadahi di dalam ruang sadar tak berpagar, dan ruang sadar ini hanya bisa aktif bila distimulasi dengan suasana kebebasan.

Makassar atau juga akrab disebut kota daeng, adalah kota dengan kuantifikasi jumlah warkop yang cukup tinggi. “Daeng” adalah sapaan atributif masyarakat untuk bahasa komunikasi yang setara. Bahasa kesetaraan memungkinkan lahirnya gagasan-gagasan bebas. Bahasa kesetaraan baru muncul ketika berada di dalam situasi sosial aktif-partisipatoris, dan salah satu ruang itu terbangun di warkop.

Warkop membangun suasananya sendiri. Warkop dibentuk sedemikian rupa sehingga segala penat bisa berkurang. Berbagai macam cara mengurangi kepenatan itu dialirkan lewat seruput kopi, perbincangan tanpa kurikulum, suasana santai, dan tanpa stratifikasi sosial.

Makassar juga dikenal sebagai pusat pendidikan di Sulawesi, bahkan dianggap sebagai center of knowledge untuk kawasan Indonesia Timur. Berbagai kampus menjamur di kota ini. Mulai dengan fasilitas kelas yang mahal sampai pada yang abal-abal. Mulai dengan mahasiswa yang fashionable sampai pada mahasiswa yang inteligible.

Ruang kelas adalah ruang yang paling luas dan bebas. Sebab hanya di dalam ruang kelas segala macam dogma pengetahuan (sains, agama, dan politik) dibongkar untuk dilihat background dan logic apa yang bekerja di balik argumen. Ruang kelas yang bebas dibentuk agar segala macam sekat baik itu suku, ras, dan agama lebur ke dalam bahasa akademik. Ruang kelas yang luas adalah yang mampu berdialog dengan gagasan dunia. Ruang kelas hanya memiliki satu sekat, yaitu pintu yang memisahkan antara ruang bebas dan ruang privat.

Tetapi sialnya, justru model kelas ideal tersebut kontras dengan apa yang terjadi di lapangan. Ruang kelas tak ubahnya seperti ruang privat. Privatisasi pertama datang dari kesolehan dosen, dimana ayat-ayat suci dilontarkan sebagai doktrin bukan dipahami secara kritis-metodologis. Kedua, datang dari sikap feodalistik seorang dosen, bahwa paten kebenaran ada pada argumen dosen sehingga mahasiswa enggan mendebati dosen.

Parahnya, ruang kelas hampir didominasi oleh mahasiswa yang penuh kocek. Bahwa hanya mahasiswa berduit yang mampu membeli menu kuliah dari dosen, tak ambil pusing soal pengetahuan. Ruang kelas juga berpeluang jadi panggung catwalk, sebab itu mesti diisi oleh model, namanya juga mahasiswa fashionable.

Kontras dengan itu, Makassar masih punya harapan untuk disemati sebagai center of knowledge. Harapan itu datang dari mahasiswa yang intelligible. Jangan pernah mencarinya di ruang kelas, sebab ruang kelas sudah amat “panas dan sumpek”, hampir-hampir bikin mual. Carilah ia di warkop.

Koceknya mungkin hanya cukup membayar secangkir kopi. Tetapi secangkir kopi bisa menemani gagasan-gagasan kritis dan globalnya. Tak ada ekspresi yang mengikat. Pula tak ada aturan yang ketat. Semuanya dibangun berdasarkan plastisitas moral. Ia mungkin tak absen membayar SPP semester di kampus, tapi ia tetap memilih untuk kuliah di warkop.

Kesederhanaan sebuah warkop mencerminkan sahaja sang mahasiswa. Kemewahan warkop menggambarkan kewibawaan sang mahasiswa karena gagasannya yang kritis, progresif, dan mengglobal. Barangsiapa yang tak sanggup menahan lelahnya belajar, maka ia harus menanggung pahitnya kebodohan, seru Pythagoras. Mahasiswa ini tentu tak mau menelan pil pahit kedunguan.Itulah sebabnya pikiran revolusioner dari Sokrates Isaac Newton, Pierre Bourdieu, Max Scheller dsb, bisa lahir ketika sedang menyeruput kopi di warkop.

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply