Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipOpiniPendidikan

Generasi Apatis, Guru Pragmatis dan Sistem Pendidikan Antirealitas

×

Generasi Apatis, Guru Pragmatis dan Sistem Pendidikan Antirealitas

Share this article
Nirwana S.Pd, M.Pd
Nirwana S.Pd, M.Pd

Oleh: Nirwana S.Pd, M.Pd *)

KHITTAH.co- Pendidikan adalah salah satu pilar utama yang menentukan keberhasilan dan keberlangsungan pembangunan suatu negara. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 menyebutkan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.

Berdasarkan pemaparan di atas, ketika kita mengorelasikan dengan realitas sekarang, maka bisa disimpulkan bahwa tujuan pendidikan nasional di negara kita masih jauh dari harapan. Kita perlu mengkaji lebih jauh ketimpangan – ketimpangan yang terjadi di dunia pendidikan kita saat ini. Untuk melihat kualitas proses ini, tentu kita melihat hasil dari proses tersebut, yaitu kualitas pelajar yang ternyata bertentangan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Kenyataanya, banyak pelajar yang kurang terkontrol perilakunya sehingga menyimpang dan berperilaku tidak seperti anak terpelajar. Kita pasti biasa melihat pelajar yang merokok di pinggir jalan dengan memakai seragam, tawuran, pergaulan bebas, berboncengan mepet, di internet berduaan dengan lawan jenis, dan masih banyak perilaku yang tidak sesuai. Atas ini, masyarakat pasti bertanya-tanya, mengapa hal itu bisa terjadi bahkan pelajar kita cenderung apatis? Apakah sekolah gagal memahamkan para pelajar bahwa merokok itu berbahaya? Apakah sekolah tempat mereka berinteraksi setiap hari gagal memahamkan mereka tentang etika dan akhlak yang baik? Ataukah sistem pendidikan yang kita terapkan masih antirealitas sehingga jauh panggang dari api?

Untuk ini, kita bisa mengambil sebuah analogi sederhana. Ketika kita ingin membuat kue maka kita akan menyiapkan alat dan bahan yang kita butuhkan, kemudian kita proses sebagaimana mestinya. Akan tetapi, pikiran kita, ketika kue yang kita buat dengan bahan dan alat dasar terbaik pada akhirnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan—misalnya kue terlalu lembek atau terlalu keras—tentu saja kita tidak bisa menyalahkan alat dan bahan yang kita gunakan, melainkan proses kitalah yang mesti dievaluasi. Dalam konteks pendidikan, mengapa negara lain dengan alat dan bahan yang sama bisa menghasilkan output pendidikan yang berkualitas? Perbandingan sederhanya—misalkan negara tetangga Malaysia, Singapura, atau Brunei—mengapa kualitas pendidikan mereka lebih tinggi dibanding negara kita, padahal kita memiliki sumber daya manusia yang sama dan sistem pendidikan yang hampir sama pula? Berkali – kali kurikulum pendidikan di negara kita diganti dengan harapan bisa memberikan hasil terbaik bagi dunia pendidikan. Penggantian kurikulum ini berangkat dari pemikiran bahwa seyogyanya, pendidikan yang baik akan menghasilkan manusia yang baik (good men). Akan tetapi, hasil dari pergantian kurikulum tersebut hanya menyisakan banyak tanya bagi masyarakat, mendatangkan kesimpangsiuran, dan menuai pro-kontra dari berbagai kalangan.

Seorang bijak pernah mengatakan, ketika kita tidak bisa mengubah sebuah keadaan maka cobalah ubah cara pandang atau paradigma kita terhadap hal tersebut. Dengan mengubah cara pandang kita ini, secara otomatis, pemahaman dan perlakuan kita akan berbeda. Perubahan ini kita mulai dari yang melakukan proses pendidikan tersebut, yakni guru, komponen yang sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan kita. Kualitas guru tentu saja sangat memengaruhi kualitas peserta didik. Pertanyaannya bagaimana realitas guru di negara kita? Guru adalah pekerjaan yang sangat mulia. Guru haruslah professional, kreatif, dan menyenangkan. Sosok guru adalah orang tua bagi muridnya, teman, dan fasilitator yang siap untuk melayani murid sesuai dengan minat dan bakatnya. Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utamanya. Dalam hal ini, seorang guru tidak hanya mentransfer ilmu, melainkan menanamkan sikap dan nilai pada diri anak didik yang sedang belajar. Ada sebuah ungkapan yang mengatakan “have a good teacher , will have good nation.” Guru memiliki kedudukan yang sangat mulia. Dari gurulah tercipta generasi emas dengan peradaban yang gemilang. Karena itu, terlalu rendah jika profesi seorang guru hanya dinilai dengan materi. Ini karna pekerjaan guru adalah pekerjaan intelektual yang tidak bisa dinilai dengan materi apa pun. Ironisnya, begitu banyak guru di negara kita yang beorientasi pragmatisme. Menjadi guru hanya untuk memenuhi kebutuhan materinya semata namun tidak memahami fungsi guru sebagai pilar utama pendidikan dan pencetak generasi gemilang.

Menurut salah seorang cendekiawan, Adian Husaini, banyak guru dan para orangtua yang terjangkiti penyakit “sekolahisme”. Sekolahisme adalah paham yang menganggap proses pendidikan atau pembelajaran hanya berlangsung di sekolah saja. Guru yang terjangkiti penyakit sekolahisme akan berhenti belajar karna mereka sudah menjadi seorang guru. Mereka menyampaikan ilmu yang berulang – ulang kepada peserta didiknya karena mereka mengganggap, yang wajib belajar adalah peserta didik. Guru hanya melakukan transfer pengetahuan namun tidak melakukan transfer nilai. Padahal, tujuan utama dari proses belajar adalah membentuk sikap dan karakter peserta didik itu sendiri. Orangtua yang terjangkiti penyakit ini juga akan menyerahkan proses pendidikan sepenuhnya kepada sekolah tempat anaknya belajar. Mereka tidak lagi mau belajar karena beranggapan bahwa mereka sudah membayar sekolah untuk mendidik anaknya dalam segala aspek. Padahal, orangtua pun memiliki andil yang penting dalam proses pendidikan anaknya. Sekolah tidak dapat menjadikan anak mereka cerdas dan berakhlak tanpa bantuan dari orangtuanya di rumah.

Berbagai hal di atas menjadikan polemik pendidikan negara kita semakin kompleks. Berbagai komponen penting di dalam pendidikan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Belum lagi lingkungan yang sudah taklagi kondusif. Gempuran teknologi yang tidak ditanggapi dengan cerdas juga menjadikan pendidikan di negara kita semakin karut-marut. Godaan teknologi yang sangat menggiurkan inimenjadikan generasi kita semakin apatis bahkan cenderung skeptis. Ditambah lagi, guru dan orang tua yang pragmatis serta sistem pendidikan yang tidak konsisten. Kita membutuhkan komitmen dan konsistensi guru dan orang tua untuk menumbuhkan kesadaran kepada peserta didik kita bahwa merekalah generasi pelanjut yang akan menentukan masa depan bangsa. Guru harus selalu memotivasi dirinya untuk terus belajar. Ini karena mereka adalah pilar penentu proses pendidikan. Guru juga harus menyadari, selain pengetahuan, mereka juga harus mengajarkan moral dan sikap dengan cara mencontohkan kepada peserta didiknya. Begitupun dengan orang tua. Merekalah yang memilki kewajiban utama untuk mendidik anak – anaknya. Sekolah hanyalah tempat persinggahan anak-anak mereka untuk berproses menjadi manusia utuh, sementara yang menentukan pribadi anaknya adalah peran orang tua. Sistem pendidikan kita juga seharusnya lebih applicable dan menjadikan proses pendidikan menjadi semakin mudah.(*)

*) Penulis adalah Staf Pengajar Pondok Pesantren Ummul Mukminin Makassar, juga Dosen Bahasa Inggris STKIP Muhammadiyah Enrekang. Penulis pernah menjabat Ketua Bidang Riset dan Teknologi DPD IMM Sulsel Periode 2013-2015. Kini, di Muhammadiyah, penulis merupakan Anggota Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel.

 

 

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL