Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
ArsipLiterasiOpiniPendidikan

Habis Kebodohan Terbitlah Pengetahuan (Bag. 1)

×

Habis Kebodohan Terbitlah Pengetahuan (Bag. 1)

Share this article

Oleh : Dr. Yustin Paisal, MT

 

Dalam pandangan Umat Hindu terdapat untaian bahasa kearifan bahwa Ilmu pengetahuan melenyapkan, penghapus seluruh kebodohan, seluruh penderitaan dunia, walaupun bencana memenuhi dunia, ilmu pengetahuan menghancurkan semua, sebab ilmu pengetahuan itu, penebus dan pembersih, juga penghapus dosa sejati (I Ketut Sudantra, 2010).

Menurut Sudarta, sepanjang sejarah sains, hubungan sains dan agama mengalami pasang surut. Saat ini, beberapa ilmuwan telah memulai merajut kemitraan yang kosntruktif diantara keduanya.Sangat dirasakan perlunya suatu sintesis antara sains dan kearifan agama-agama di dunia ini untuk menjawab banyak permasalahan hidup yang kompleks.

Dalam presfektif Hindu, sains pada hakekatnya merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa – bahkan sains adalah perwujudan Tuhan itu sendiri, “yang dapat mencipta (Brahma), memelihara (Wisnu), dan memusnahkan (Siwa)” segala yang ada di jagatraya ini. Tujuan sains adalah untuk kesejahteraan umat manusia lahir dan batin, sehingga sains haruslah diabdikan dengan cara bekerja sesuai profesi masing-masing dibawah tuntunan Dharma yakni Kebenaran Abadi (I Ketut Sudantra, 2010).

Pada Alkitab perjanjian baru, dalam ajaran Kristiani, khususnya pada amsal 1 : 7 disebutkan: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan”. Ayat ini mengandung inti bagaimana ilmu pengetahuan dibangun yang pada dasarnya adalah untuk memuliakan Tuhan (Deassy J.A.H, 2005). Kemudian, penjelasan dalam presfektif umat kristiani bahwa orang beragama menghormati ilmu pngetahuan sebagai berkat dari Tuhan sekurang-kurangnya karena buahnya yang utama yakni teknologi modern, agar orang beragama menerima hasil penyelidikan ilmu pengetahuan sebagai pengertian alam yang benar. Sehingga, sains dan agama telah menikmati hubungan yang kompleks daripada sekedar konflik (Alex Lanur dalamDeassy J.A.H, 2005).

Dalam pandangan Agama Islam, banyak ayat-ayat yang menerangkan sains baik secara implisit maupun eksplisit. Menurut Mutahhari, Al-Qur’an telah setidaknya memaparkan tiga subyek yang bermanfaat untuk dipikirkan manusia dalam rangka mencari pengetahuan yang berguna bagi manusia.

Ketiga subyek itu adalah alam, sejarah dan jiwa manusia (Murtadha Mutahhari, 2007). Tentang alam diantaranya diterangkan dalam surah Yunus ayat 10 yang artinya bahwa …”Perhatikanlah olehmu wahai manusia, akan semua yang ada di langit dan di bumi ini”; tentang sejarah diterangkan dalam surah Ali Imran ayat 137 yang artinya bahwa …. “Berbagai system telah lewat sebelum kamu. Hendaklah kamu menjelajahi bumi ini dan lihatlah bagaimana akibat mereka yang mengingkari rasul-rasul; tentang jiwa manusia diantaranya dijelaskan pada surah Fushshilat ayat 33 yang artinya bahwa … “Kami akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda Kami dari yang terbentang di horizon ini dan dari jiwa mereka sendiri, sehingga tahulah mereka akan kebenaran itu.”

Mengenai ketiga pernyataan tersebut, kemudian Mutahhari memberikan apresiasi. Adapun apresiasi itu dia hubungkan dengan sejauh mana sosok saintifik terkenal yang bernama Immanuel Kant. Bahwa ketika wafatnya, dibatu nisan Immanuel Kant tertuliskan suatu bahasa kearifan yang pernah diucapkan sewaktu hidupnya, ia berkata, “Ada dua hal yang memenuhi pikiran dengan keajaiban yang senantiasa bertambah dan yang semakin sering menarik pikiran ke arahnya: langit yang bertabur bintang di atasku dan hokum moral dalam diriku.”

Bilamana menyimak bagaimana pendapat para alim ulama pada setiap agama sebagaimana diuraikan di atas, maka dapatlah disintesiskan bahwa agama memberi apresiasi yang tinggi terhadap para pemeluk agama masing-masing yang menaruh perhatian terhadap pencarian ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan perikehidupan manusia di dunia ini.Lalu bagaimana tentang adanya sejumlah peristiwa yang mengenaskan dengan terbunuhnya beberapa ilmuwan setelah mempertahankan prinsip pengetahuan yang diakuinya sebagai hal yang lebih benar dari pandangan ulama yang sangat kontekstual dalam memahami kitab suci? Ini akan dijelaskan secara tersendiri.

Pada penjelasan berikut ini, mengenai hubungan antara ilmuwan pada kasus keterkaitan sains dan agama akan dikemukakan secara garis besar disertai beberapa peristiwa yang menyertainya. Gambaran yang ditemukan kemudian adalah dapat berupa klarifikasi atas pertanyaan di atas dan beberapa fenomena yang kurang terungkap secara komprehensif selama ini.

Diantaranya adalah, bahwa, manusia di era teknologi modern sekarang ini, boleh jadi tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan sedikitpun, sekiranya keberadaan mereka, para ilmuwan terdahulu, baik ilmuwan dari timur maupun ilmuwan dari barat, belum meretas jalan bersama secara tidak langsung, hingga menemukan berbagai dasar-dasar sains dan metafisik. Demikian pula, tergambarkan dengan jelas – walaupun masih perlu beberapa klarifikasi – koneksitas keilmuan para ilmuwan antar wilayah hingga antar peradaban, sehingga Ini membuktikan bahwa sains adalah milik kemanusiaan secara universal.

Copernicus dan Heliosentrisme

Ilmuwan Nicolas Copernicus yang hidup pada tahun 1473 – 1543, misalnya, terkenal dengan teori heliosentris yang menyatakan bahwa bumi berotasi pada porosnya dan satu putaran penuh memerlukan waktu 24 jam, kemudian berevolusi mengelilingi matahari satu putaran penuh selama 364 hari, terdapat dalam bukunya dengan judul De Revolution Orbium Celestium. Namun sekitar abad ke-7, gagasan tentang heliosentris ini telah ada sebelumnya yang dikemukakan oleh para astronom India Kuno, kemudian Yunani Kuno, Arstarhus, pada abad ke-3 sebelum masehi, dan secara matematis juga telah disusun oleh Nashiruddin Tusi, Mu’ayyiduddin Urdi, Ibnu Sattir, Ibnu Battuta dan Ibnu Rusyd (Wahyu, 2010).

Kemudian, bagaimana perkembangan ilmu astronomi di Timur Tengah saat itu, dapat ditelusuri pada beberapa catatan sejarah kebudayaan Islam. Sebelum Thusi, terdapat sederetan ilmuwan muslim lainnya jauh pada beberapa abad sebelumnya. Al-Farghani (Alfarganus) berkebangsaan Uzbekistan, pada tahun 829 Masehi telah melakukan penelitian astronomi yang berjudul elemen-elemen astronomi (Kitab fi al Harakat al-samawiya wa jawami ilm al-Nujum).

Diantara temuannya adalah penentuan diameter bumi yang mencapai 6500 mil. Karya Al-Farghani ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin dengan judul The Element of Astronomy yang ditulis oleh John Seville pada tahun 1135 Masehi yang kemudian di revisi oleh Regiomontanus pada tahun 1460-an, Penulis yang lain, Jacob Golius, juga menerjemahkan karya Al-Farghani pada tahun 1669 Masehi. Karya-karya ilmuwan eropa ini tersebar hingga ditemukan oleh Copernicus sehingga menjadi salah satu buku rujukannya (Wahyu, 2010; K.A.Yuana,2010).

Dalam keterangan lain disebutkan, bahwa, Teori Averrous yang juga dikembangkan ilmuwan muslim, timur tengah, pada abad ke-12 tentang heleosentris ini kemudian menjadi rujukan utama bagi Copernicus sebagai penganut Katolik Ortodoks. Fenomena ini untuk ukuran masa-masa itu adalah hal yang langka.Entah mengapa ajaran gereja yang masih menganut pandangan lama yakni bumilah sebagai pusat tata surya tetap dipertahankan oleh gereja.

Puncaknya pada tahun 1616, dikeluarkan dekrit yang pada intinya Gereja melarang peredaran buku karya Copernicus tersebut. Empat tahun setelah itu, ilmuwan yang mengikuti pandangan Copernicus, yakni Galileo Galilei juga mendapatkan pelarangan keras untuk peredaran buku ilmiahnya tentang teori Helosentris termasuk mendapatkan hukuman tahanan rumah.Namun yang paling mengenaskan adalah, beberapa tahun sebelumnya, yakni pada tanggal 17 Februari tahun 1600, Giordano Bruno dihukum mati di Roma dengan cara dibakar oleh Kardinal Bellamine karena membela teori helosentris (K.A.Yuana,2010).

Kejadian ini adalah sejarah Hitam ulama gereja saat itu bahwa kebenaran dipaksakan sebagai milik manusia padahal Tuhanlah pemilik kebenaran sejati dalam perfektif agama. Namun dua abad kemudian, tepatnya pada tahun 1838, barulah pihak gereja menyadari kekeliruan tersebut dan kemudian menghilangkan pelarangan terhadap peredaran buku-buku helosentris dan daftarnya (K.A.Yuana,2010).

Dari sisi ini juga membuktikan bahwa bukan gereja dalam pengertian agama yang keliru namun yang mengaku sebagai penganut dari ajaran gereja itu yang tergesa-gesa melakukan pembenaran yang sarat dengan persoalan politik yang berakibat terjadinya peristiwa berdarah dan mencederai peradaban kemanusiaan termasuk pengembangan sains. Dampak yang lain adalah, pada awal abad ke 17, teori heliosentris memberikan inspirasi kepada ilmuwan berikutnya untuk intensif melakukan berbagai macam penelitian. Tetapi sejak itu, memberi goresan yang mendalam hingga melahirkan pertentangan yang sangat besar antara persepsi keagamaan di satu sisi dan pandangan sains di sisi lain.

Bersambung ke Habislah Kebodohan Terbitlah Pengetahuan (Bag. 2)………………….

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply