KHITTAH.CO, Kehidupan berbangsa dan bernegara di era modern seharusnya selaras dengan semakin hilangnya perang, kekerasan, dan tindakan-tindakan yang dianggap legal di era kolonialisme dulu.
Berbangsa dan bernegara di era modern kini, harus menjadi kekuatan baru yang membawa perspektif dan paradigma baru tentang dunia yang betul-betul damai, dimana tidak ada intervensi, tidak ada invasi, tidak ada agresi atas nama apapun.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, di hadapan tamu yang berasal dari beberapa instansi media negara-negara tetangga antara lain Malaysia, Singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam, Philipina, Laos, dan Myanmar, Rabu, 15 September 2022.
Ketika diminta pendapatnya tentang peran dan pandangan Muhammadiyah di kawasan ASEAN, Haedar menjelaskan bahwa semua negara di kawasan ini harus sepakat untuk mengusung perdamaian bersama.
Menurut dia, sikap atau sebuah kebijakan yang bertendensi akan menimbulkan tindak kekerasan tidak sesuai lagi di era modern saat ini nilai universal kemanusiaan.
“Kita harus punya zero tolerance karena setiap invasi, agresi, perang, itu sudah melawan modernity, melawan kemanusiaan, melawan prinsip prinsip hidup di era baru di era dimana manusia menghargai demokrasi atas hak asasi manusia,” kata Haedar.
Namun demikian, terjadinya peperangan, invasi dan agresi militer yang melibatkan negara masih saja terjadi.
Haedar pun menyadari itu, bahwa selalu ada godaan kepada negara-negara yang merasa berkuasa atau besar untuk melakukan tindakan itu. Akan tetapi, tindak kekerasan ini harus tetap diupayakan agar hilang di seluruh muka bumi.
“Bahwa jika kita menolak terorisme agama, kita menolak radikalisme agama, sama kita juga harus menolak bentuk bentuk kekerasan atas nama negara, oleh negara, dan dari bangsa dan negara lain. Dan semua dunia harus bersuara sebenarnya, jangan diam, ketika PBB sebenarnya juga tidak bisa mengambil peran yang cukup signifikan,” tutur Haedar.
Guru Besar Sosiologi ini juga menyampaikan bahwa, dunia harus adil dan proporsional dalam kejadian terorisme.
“Ketika ada satu dua peristiwa teroris semua bersuara, tetapi ketika ada kejadian kejadian besar antar negara semua diam karena kesulitan, karena mungkin relasi-relasi diplomasi yang harus dijaga, tapi kejadiannya akhirnya berapa sih perang yang terjadi oleh korban manusia akibat perang,” tegas Haedar.
Terkait dengan peran Muhammadiyah dalam menciptakan perdamaian dunia, Muhammadiyah bukan hanya menyodorkan gagasan-gagasan, tetapi sudah menjalankan aksi konkrit.
Muhammadiyah hadir dalam kasus krisis kemanusiaan global seperti di Palestina, Rohingya, Moro, dan di negara-negara lain.
Alam pikir dan aksi konkrit tersebut, imbuh Haedar, karena Muhammadiyah merupakan organisasi islam yang memilki pandangan Islam yang modern, moderat, dan progresif dalam arti Muhammadiyah memilki pandangan maju tentang nilai-nilai Islam yang inklusif (rahmatan Lil Alamin) untuk seluruh masyarakat tanpa membedakan agama, ras, golongan, dan bangsa.
“Dalam memandang dan memproyeksikan Islam, Muhammadiyah meyakini agama itu bagi hak setiap pemeluk agama menjadi tempat untuk keyakinan masing-masing. Tapi dalam hubungan-hubungan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan hubungan antar bangsa itu kami terbuka dan ingin membangun kehidupan bersama yang membawa pada kemajuan, kedamaian, kesatuan, dan hidup maju bersama seluruh bangsa seluruh negara,” imbuh dia.
Termasuk dalam memandang relasi antara laki-laki dengan perempuan, Muhammadiyah memandang keduanya memiliki kesejajaran dan porsi yang sama dalam usaha-usaha membangun peradaban.
Dalam hal ini, Muhammadiyah memiliki organisasi sayap perempuan ‘Aisyiyah yang saat ini sudah mengelola tiga universitas.