KHITTAH.CO, Makassar — Peringatan Hari Anak Sedunia, yang diperingati setiap 20 November, kembali menjadi momentum reflektif bagi para pendidik dan orang tua untuk memastikan terpenuhinya perlindungan, hak dasar, serta kesehatan mental anak. Penegasan itu disampaikan Putri Ayu Wiwik Wulandari S.Psi, M.Psi, Psikolog, Dosen Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, saat dihubungi, Kamis, 20 November 2025.
Wiwik menilai tema tahun ini, “My Day, My Rights”, mengingatkan masyarakat bahwa setiap anak berhak menentukan pengalaman sehari-hari mereka—mulai dari bermain, berpendapat, hingga belajar dalam suasana yang aman. “Tema ini mendorong orang dewasa melihat dunia dari perspektif anak: apa yang mereka rasakan, butuhkan, dan inginkan,” ujarnya.
Kekerasan Digital hingga Tekanan Akademik
Menurut Wiwik, berbagai hak anak masih menghadapi beragam tantangan. Kekerasan verbal, kekerasan digital, serta tekanan akademik yang meningkat menjadi persoalan yang kian menonjol. Ia menekankan bahwa anak berhak atas perlindungan dari segala bentuk kekerasan, didengar pendapatnya, dan memperoleh layanan kesehatan mental yang memadai.
Di saat yang sama, stres pada anak menunjukkan peningkatan signifikan. Tuntutan belajar, konflik keluarga, dan paparan informasi berlebihan membuat sebagian anak menunjukkan perubahan perilaku, seperti menjadi pendiam, mudah marah, agresif, atau mengalami gangguan tidur. “Semakin dini tanda-tanda seperti ini dikenali, semakin besar peluang anak untuk pulih,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa bentuk gangguan lain, seperti kecemasan berlebih, menurunnya motivasi belajar, hingga burnout pada usia dini, kini lebih sering muncul. Penggunaan gawai tanpa batas turut meningkatkan risiko ketergantungan digital, gangguan tidur, serta paparan konten tak sesuai usia.
Cyberbullying, lanjut Wiwik, menjadi bentuk kekerasan yang dampaknya tak kalah serius dibanding kekerasan fisik. “Kekerasan berbasis digital dapat memicu rasa malu, merusak harga diri, menimbulkan kecemasan hingga depresi, bahkan berujung pada self-harm,” tegasnya. Jejak digital, katanya, membuat dampaknya bertahan lebih lama dan menyulitkan pemulihan.
Langkah Praktis
Wiwik menyarankan tiga langkah utama, yakni komunikasi rutin orang tua–anak, pembatasan penggunaan gawai secara sehat, dan penghindaran kekerasan verbal dalam keluarga. Kolaborasi orang tua dan sekolah, terutama dalam membangun budaya anti-perundungan, disebutnya sebagai elemen penting.
Sekolah, katanya, perlu memperkuat layanan bimbingan konseling serta menyediakan program ramah anak yang mendukung perkembangan emosional, sosial, dan akademik. Perguruan tinggi seperti Unismuh Makassar dapat mengambil peran melalui penelitian, pengabdian masyarakat, dan edukasi literasi digital serta pola asuh.
Wiwik mengingatkan, Hari Anak Sedunia harus dilihat sebagai pengingat bahwa anak adalah amanah. Mereka berhak tumbuh dengan cinta, dilindungi haknya, dan diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri. “Rumah, sekolah, dan masyarakat harus menjadi lingkungan yang aman dan penuh harapan bagi masa depan anak-anak Indonesia,” ujarnya.
Sebagai langkah jangka panjang, Wiwik merekomendasikan pemeriksaan kondisi psikologis anak dan orang tua secara berkala, minimal setiap enam bulan. Evaluasi rutin membantu mengidentifikasi potensi masalah sejak dini sehingga tumbuh kembang anak dapat berlangsung optimal.
Ia juga mendorong lembaga pendidikan menguatkan kebijakan perlindungan anak serta memberi pelatihan kepada guru mengenai komunikasi empatik dan intervensi psikososial. Edukasi literasi digital dan anti-cyberbullying, menurutnya, harus menjadi bagian integral dari upaya perlindungan anak.





















