
Khittah.co, Makassar — Peringatan Hari Ibu 2025, yang diperingati pada 22 Desember 2025, kembali mengingatkan publik bahwa penghormatan kepada ibu tidak cukup diwujudkan melalui simbol dan seremoni. Di balik bunga dan ucapan terima kasih, masih ada pekerjaan besar yang harus diselesaikan negara, yakni memastikan keselamatan perempuan selama kehamilan, persalinan, dan masa nifas.
Sejumlah laporan media yang merujuk data Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa hingga semester I-2024, tercatat 4.151 kematian ibu di Indonesia. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun terjadi perbaikan dibanding tahun-tahun sebelumnya, risiko kematian ibu masih menjadi persoalan serius dalam sistem kesehatan nasional.
Sejarah Hari Ibu di Indonesia memiliki makna yang berbeda dengan peringatan serupa di banyak negara. Peringatan ini berakar pada Kongres Perempuan Indonesia I, 22–25 Desember 1928 di Yogyakarta, yang menegaskan peran perempuan dalam kehidupan sosial dan kebangsaan. Penetapan Hari Ibu kemudian ditegaskan melalui Keputusan Presiden Nomor 316 Tahun 1959. Dengan latar sejarah tersebut, isu kesehatan ibu tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab negara dalam melindungi kehidupan perempuan.
Angka Kematian Ibu
Data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Long Form SP2020 mencatat rasio kematian ibu (MMR) Indonesia sebesar 189 per 100.000 kelahiran hidup pada 2020, dengan perbedaan yang cukup tajam antarwilayah. Ketimpangan akses, kesiapan fasilitas, serta efektivitas sistem rujukan menjadi faktor yang masih membebani upaya penurunan angka kematian ibu.
Di sisi lain, cakupan persalinan di fasilitas kesehatan terus meningkat. BPS (Susenas) mencatat, pada 2024 sebanyak 92,42 persen perempuan usia 15–49 tahun melahirkan di fasilitas kesehatan. Namun, tingginya angka tersebut belum sepenuhnya menjamin keselamatan. Kualitas layanan, ketersediaan tenaga kesehatan, obat-obatan, darah, serta kecepatan rujukan masih menjadi tantangan di banyak daerah.
Menanggapi kondisi tersebut, Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Prof Dr.dr.Suryani As’ad MSc Sp.GK(K) menekankan pentingnya pendekatan mutu sebagai dasar kebijakan pemerintah dalam layanan kesehatan ibu.
“Keselamatan ibu harus dipandang sebagai hasil dari sistem yang bermutu. Pemerintah perlu memastikan kualitas layanan dari hulu ke hilir, mulai dari deteksi risiko kehamilan, proses rujukan, hingga kesiapan layanan kegawatdaruratan di fasilitas kesehatan,” ujar Prof Suryani.
Menurutnya, prinsip input–process–output yang diterapkan dalam pendidikan kedokteran semestinya menjadi kerangka kebijakan publik. Input mencakup literasi kesehatan keluarga dan deteksi dini risiko kehamilan. Proses berkaitan dengan pelayanan antenatal care (ANC), rujukan yang cepat, serta kesiapan layanan obstetri dan neonatal emergensi. Sementara output harus diukur dari keselamatan ibu dan bayi, bukan sekadar capaian administratif.
Prof Suryani menilai, regulasi seperti Permenkes Nomor 6 Tahun 2024 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Kesehatan perlu diikuti dengan penguatan implementasi di daerah. Tanpa disiplin mutu dan pengawasan yang konsisten, standar berisiko berhenti sebagai dokumen kebijakan.
Komitmen Unismuh
Terakhir, Suryani menegaskan komitmen FKIK Unismuh untuk mendukung penguatan Kesehatan Ibu. FKIK Unismuh Makassar saat ini menaungi 11 program studi, mulai dari S1 Pendidikan Dokter dan Profesi Dokter, S1 Kebidanan, D3 Kebidanan, dan Profesi Bidan, serta D3 Keperawatan dan S1 Farmasi. Selain itu, FKIK juga mengelola Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU) D3 Kebidanan di Kabupaten Wajo.
Hari Ibu 2025, dengan demikian, menjadi momentum refleksi bersama. Bagi pemerintah, peringatan ini seharusnya menjadi pengingat bahwa penghormatan kepada ibu hanya bermakna jika diwujudkan dalam sistem kesehatan yang aman, adil, dan berkelanjutan. Selama kematian ibu masih terjadi, ucapan terima kasih belum sepenuhnya tuntas.





















