Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
Tulisan ini adalah materi yang disampaikan/dibawakan oleh penulis pada Semarak Hijriah PDM Pare-Pare, 17 Muharram 1447 H/12 Juli 2025 M
KHITTAH. CO – Sehari sebelum tanggal 1 Muharram 1447 H, tepatnya 29 Dzulhiijah 1446 H/25 Juni 2025 M, bertempat di Aula Masjid Walidah Dahlan Kampus Universitas Aisyiyah (UNISA) Yogyakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah me-launching Kalender Global Hijriah Tunggal (KGHT) yang mulai berlaku 1 Muharram 1447 H. KGHT ini bukan datang tiba-tiba, butuh waktu yang cukup lama membahas masalah ini.
Ketua Majlis Tarjih dan Tajdid PPM (Dr. Hamim Ilyas) mengatakan bahwa peluncuran KGHT merupakan hasil kajina mendalam yang telah lama diputuskan pada Munas Tarjih ke -32 Februari 2024. Keputusan ini mengadopsi hasil Muktamar Turki 2016 yang dianggap memenuhi syariat Islam dan berbasis ilmiah.
KGHT sendiri berlandaskan pada tiga prinsip utama yaitu (1) keseragaman hari dan tanggal di seluruh dunia untuk memulai bulan baru; (2) Penggunaan Hisab sebagai metode penetuan waktu yang memungkinkna peramalan jadwal penanggalan jauh ke depan dan (3) Kesatuan maltak yaitu anggapan bahwa seluruh permukaan bumi merupakan satu zona waktu untuk kalender Islam
Momen hijrah Nabi, dijadikan awal penanggalan Islam tentu bukan hal yang tiba-tiba dan tentu memiliki dasar walau banyak peristiwa lain yang terkait dengan kehadiran Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Bila dicermati peristiwa ketika nabi berada di Makkah menjalankan misi dakwanya, tidak sedikit tantangan yang harus dihadapinya khususnya dari kaum Quraisy, bahkan Nabi Muhammad menjadi sasaran utama untuk dihabisi nyawanya oleh elite Quraisy.
Buya Syafii mengatakan bahwa Nabi menjadi sasaran pembunuhan karena kehadiran Nabi Muhammad membawa gerakan egalitarian yang mengancam tatanan sosial masyarakat Makkah yang dapat merubuhkan oligarki Quraisy. Nabi berjuang agar keadilan tegak dengan kukuh dalam masyarakat komersial Makkah dan sekitarnya.
Ajaran Tauhid yang dibawa nabi langsung menyasar struktur piramida sosial yang sangat timpang. Lebih lanjut buya Syafii mengatakan bahwa jika semata mengajak mereka untuk percaya kepada Allah sebagai pencipta langit dan bumi, perlawanan sengit kaum Quraisy tidak akan meledak. Hal ini didasarkan pada Al-Quran surah al-Zumar ayat 38
“Dan jika engkau menanyai mereka tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, sungguh mereka akan menajwab: ‘Allah yang menciptakannya”.
Hijrah dalam makna esensial adalah hadirnya suatu tatanan kehidupan yang penuh keadaban, dan meninggalkan pola kehidupan jahiliah yang timpang. Hadirnya suatu tatanan kehidupan dalam struktur masyarakat yang tercerahkan. Bangunan peradaban yang tercerahkan berangkat dari ajaran tauhid, yang tidak sekadar pengakuan akan keesaan Allah sebagai pencipta tetapi tauhid harus terimplementasi dalam kehidupan keseharian. Buya Syafii mengatakan bahwa percaya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta tanpa bersinggungan langsung dengan perbaikan nasib manusia di muka bumi berupa tegaknya keadilan yang menyeluruh untuk semua anggota masyarakat bukan Islam Qur’ani dan bukan pula Islam kenabian.
Untuk itu Kiai Dahlan dalam memaknai ajaran tauhid, tidak sebatas pengakuan keesaan Allah, tetapi pengakuan itu harus mampu terimplementasi dalam kehidupan keseharian, menghadirkan kepedulian kepada sesama. Kalimat syahadat harus hadir menjadi tindakan nyata sebagai amal saleh dan aksi sosial.
Amal saleh yang membebaskan manusia dari penyakit fisik dan mental, bebas dari segala macam ketakutan, bebas dari kemisikinan, ketertindasan, dan kebodohan. Dalam konteks ini, ketika Kiai Dahlan mengajarkan muridnya surah Al Maun sampai 3 bulan dan surah Al ‘Asr bahkan sampai 7 bulan. Hal itu dilakukan oleh Kiai Dahlan agar dalam memahami isi Al Quran bukan sebatas menghafal tetapi sampai pada mengamalkan isinya secara konkret.
Al-Quran tidak hanya menyangkut kognitif tetapi sebagai pedoman dalam aksi sosial, sehingga para muridnya mencari anak yatim dan orang miskin untuk disantuni dan mendapat perhatian khusus. Hal ini kemudian melahirkan amal konkret berupa berdirinya rumah sakit dan panti asuhan. Teologi Al-Maun menghadirkan spirit keadilan, pemerataan, dan pemuliaan terhadap orang-orang terpinggirkan. Sedang teologi Al-‘Asr menghadirkan pentingnya landasan spritual, amal saleh dan tanggungjawab sosial dengan penuh kedisiplinan.
Bila mencermati penolakan kaum Quraisy terhadap kehadiran dakwah Nabi Muhammad, sehingga Nabi melakukan hijrah dapat kita pahami bahwa sesungguhnya hijrah itu bukan sekadar berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi hijrah memberi ruang perubahan dari alam kegelapan, ketertinggalan, dan ketidakadilan menuju suatu kehidupan yang mencerahkan, kehidupan yang berkeadilan, serta menghadirkan kesejajaran sesama manusia.
Prof Haedar mengemukan bahwa agama yang mencerahkan ini dalam konteks keumatan menawarkan jalan transformasi (strategi perubahan yang progresif) menuju terwujudnya umat terbaik atau khaira ummah (QS. Ali Imran: 110). Khaira ummah memiliki watak sebagai ummatan wasathan dan syuhada ‘ala al-nas (QS. Al-Baqarah: 143). Inilah idealisasi masyarakat yang diidam-idamkan dalam konstruksi teologi Islam yang mencerahkan peradaban. Peradaban khaira ummah dan ummatan wasathan itulah produk dari hijrah dan kehadiran risalah Islam yang menebar rahmat bagi semesta alam.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa rancang bangun kemajuan Islam produk hijrah harus menuju peradaban Islam yang utama dengan membumikan idealisasi khaira ummah dan ummatan wasathan ke dalam usaha-usaha membangun peradaban berkemajuan bagi umat Islam dan bangsa di mana Islam itu hadir. Dengan demikian, umat Islam saat ini dalam memaknai hijrah niscaya mendalam, luas, dan komprehensif menuju perubahan ke arah terwujudnya peradaban Islam yang bercorak “Al-Madinah Al-Munawwarah” yang terintegrasi dengan kehidupan bangsa dan kehidupan global di mana umat Islam berada.
Bukan menyederhanakan hijrah pada hal-hal yang artifisial, verbal, dan simbolik seperti cara berpakaian dan penggunaan istilah-istilah Arab sehari-sehari sebagaimana sering ditafsirkan secara dangkal akhir-akhir ini. Di situlah fungsi hijrah yang strategis dan berdaya jangkau luas dalam mewujudkan Islam sebagai manifestasi risalah rahmatan lil-‘alamin menuju terwujudnya peradaban berkemajuan yang mencerahkan umat manusia dan kehidupan semesta di tengah persaingan dengan peradaban bangsa-bangsa lain di muka bumi sepanjang zaman!