Oleh: Dr. Nasaruddin Idris Jauhar, M.Ed.
Penjara adalah simbol kehinaan. Tempat diasingkannya orang-orang hina yang tidak layak lagi mendapat tempat di tengah masyarakat. Tapi penjara juga adalah sarana paling instan untuk mengubah orang baik menjadi terhina.
Inilah kira-kira yang ada dalam benak Zulaikha, istri seorang petinggi kerajaan Mesir saat itu, ketika menjerumuskan Nabi Yusuf ke dalam penjara. Ia perempuan terpandang dan baik, tapi melakukan sesuatu yang begitu hina: menjebak Yusuf yang merupakan anak angkatnya untuk berselingkuh.
Yusuf menolaknya mentah-mentah, meskipun sebagai anak angkat ia banyak berhutang budi padanya. Zulaikha murka dan merasa terhina. Ia kemudian merekayasa yang terjadi sehingga Yusuf menjadi tertuduh dan karenanya harus dipenjara sebagai orang yang hina.
Tetapi apa yang terjadi? Penjara ternyata tidak membuat Yusuf terhina. Justru dari balik jeruji penjara Yusuf menegaskan bahwa dirinya orang baik, mulia dan tidak bersalah. Selama di penjara, ia menuai pengakuan atas pengakuan dari berbagai kalangan atas keluhuran budi dan kemuliaan pribadinya.
Pengakuan pertama datang dari dua pemuda yang dipenjara bersamanya. Ketika meminta Yusuf menatap mereka, mereka memujinya “Innaa naraaka minal muhsiniin.”Sungguh kami melihatmu termasuk orang-orang yang baik” (Yusuf: 36).
Pengakuan kedua datang dari salah satu dari kedua pemuda tersebut setelah bebas menjadi pelayan raja. Ketika meminta Yusuf melihat mimpi rajanya, pemuda ini memanggilnya “Yuusufu ayyuhas shiddiiq.” Wahai Yusuf orang yang selalu berkata benar. (Yusuf: 46).
Pengakuan ketiga datang dari perempuan-perempuan yang sebelumnya pernah mengiris jari mereka karena terkesima oleh ketampanan Yusuf. Saat ditanya oleh Raja tentang Yusuf, mereka menjawab, ” Haasya lillaah. Ma alimna ‘alayhi min suu .” Maha suci Allah, kami tak pernah tahu hal buruk tentang Yusuf.” (Yusuf:51).
Pengakuan keempat datang Zulaikha sendiri. Di hadapan raja dan disaksikan oleh perempuan-perempuan tadi, ia mengakui bahwa keberadaan yang sebenarnya merayu Yusuf. Ia kemudian, dengan bahasa penegasan berlapis, menyatakan ” Wa Innahu laminas shaadiqiin .” Dan sesungguhnya dia benar-benar orang yang jujur.” (Yusuf: 51).
Puncaknya, pengakuan atas Yusuf datang dari raja Mesir saat itu. Ketika mimpi uniknya mampu ditakwil oleh Yusuf dan tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya, raja kemudian membebaskannya dari penjara dan mengangkatnya sebagai orang dekatnya dan bekata padanya, “Innakal yauma ladaina makiinun amiin.” Mulai hari ini Anda adalah orang mulia dan terpercaya di antara kami.” (Yusuf:54)
Lihatlah, bagaimana semua kalangan memberi pengakuan atas kemuliaan dan keagungan pribadi Yusuf. Mulai dari narapidana sampai sekelas raja. Bahkan, pengakuan atas kemuliaan Yusuf datang dari Zulaikha sendiri, perempuan yang menjerumuskannya ke dalam penjara agar ia terhina dan terkucilkan.
Lalu, apa pelajaran di balik ini semua?
Kemuliaan sepenuhnya ada di tangan Allah. Walaupun semesta bersekutu ingin melenyapkan dan merendahkan seseorang, ia akan tetap eksis dan mulia kalau Allah menghendaki kemuliaan baginya.
Mulia dalam pandangan Allah adalah kemulian sejati. Tak ada artinya mulia dalam pandangan manusia, kalau dalam pandangan Allah justru hina. Kemuliaan bukan soal apa kedudukan seseorang di mata manusia, tapi apa kedudukannya dalam pandangan Allah.
Menuruti ajakan Zulaikha, perempuan berkuasa, ternama dan terpandang waktu itu, tentu menjanjikan kedudukan dan kemewahan buat Yusuf. Tetapi ia pantang tergiur dan tertipu oleh itu semua. Baginya, bersanding dengan Zulaikha, apa pun jaminan kedudukan yang ia dapatkan, adalah bersekutu dengan kemaksiatan. Dan itu adalah kehinaan tak terkira di mata Allah.
Ia lebih memilih menjadi narapidana, sebuah kedudukan dan atribut yang hina dalam pandangan umumnya manusia. Tapi, dengan petunjuk Tuhannya, Yusuf tidak sedikit pun merasa terhina. Ia justru merasa terselamatkan, karena dengan menjadi narapidana ia terbebas dari jebakan Zulaikha dan kejaran cinta dan nafsu butanya. Pola pikirnya inilah yang menghantarkan Yusuf menjadi hamban-Nya yang mulia, kendati beratribut narapidana.
Kemuliaan juga bukan soal di mana seseorang berada. Tempat yang dianggap mulia di mata manusia bisa jadi hina dalam pandangan Allah. Sebaliknya, tempat yang dianggap hina oleh manusia bisa jadi adalah pintu kemuliaan di hadapan Allah.
Karena paham kemuliaan sejati, Yusuf memilih keluar dari istana Zulaikha dan masuk ke dalam penjara. Baginya, bilik-bilik pengap penjara adalah istana mewah, karena menyelamatkannya dari kekejian yang dimurkai Allah. Sebaliknya, kemewahan istana Zulaikha baginya adalah penjara sadis yang akan terus membelenggu dia dalam kemaksiatan abadi.
Kemuliaan di mata Allah adalah kemulian sejati yang harus dikejar, bukan kemulian semu ukuran manusia. Seseorang tak perlu risau atas hinaan manusia kalau ia yakin dirinya terjaga dalam pandangan Alllah. Nabi Yusuf tak terusik oleh upaya apa pun dari orang-orang yang ingin ia terhina. Bahkan rekayasa hukuman penjara tanpa batas waktu disertai tuduhan keji yang tak pernah ia lakukan diterimanya dengan lapang dada. Baginya, tak ada penghinaan yang perlu dirisaukan selama Allah bersamanya.
Dunia menentukan dan menentukan spesifik tentang kemuliaan, yang berubah dari zaman ke zaman, yang antara satu budaya dan budaya lain. , kekayaan dan kekuasaan sering kali diidentikan dengan kemuliaan. Manusia kemudian berlomba untuk mendapatkannya, walaupun dengan cara yang tidak diperkenankan Allah Sang Pemilik kemuliaan sejati.
Dunia memang menipu. Yang hina dianggap mulia, yang mulia dianggap hina. Maka, tak ada yang lebih bijak dari mereka yang berusaha memahami rambu-rambu kemuliaan dalam pandangan Allah, kemudian memohon petunjuk-Nya agar tertuntun menuju kemulian tersebut dan teralihkan dari hinanya dunia. Wallahu A’lam.
* Penulis dan Dosen Bahasa Arab di UIN Surabaya