Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Hikmah Ramadan: Modal Sosial Bangsa

×

Hikmah Ramadan: Modal Sosial Bangsa

Share this article

Oleh: Muhammad Zulfikar (Aktivis Muhammadiyah Klaten)

KHITTAH. CO – Bulan Ramadan, lebih dari sekadar periode menahan lapar dan dahaga, merupakan sebuah madrasah sosial yang kaya akan hikmah. Di dalamnya, nilai-nilai luhur seperti kesabaran, pengendalian diri, empati, dan solidaritas sosial ditempa, membentuk karakter individu dan kolektif bangsa. Nilai-nilai ini, ketika diinternalisasi, menjelma menjadi modal sosial yang kokoh, perekat bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan.

Modal sosial, yang terwujud dalam jaringan sosial yang erat, kepercayaan yang tinggi, dan norma-norma yang dijunjung bersama, menjadi fondasi penting bagi pembangunan bangsa. Ramadan, dengan berbagai aktivitas sosialnya, seperti buka puasa bersama, sedekah dan tadarus Al-Qur’an, secara nyata memperkuat modal sosial ini.

Buka puasa bersama, misalnya, bukan sekadar kegiatan makan bersama, tetapi juga ajang silaturahmi yang mempererat tali persaudaraan. Sedekah ifthar sebagai wujud penyucian materi kita yang telah dititipkan. Tadarus Al-Qur’an, selain sebagai ibadah, juga menjadi sarana untuk membangun kebersamaan dan saling mengingatkan dalam kebaikan.

Namun, bangsa Indonesia saat ini menghadapi berbagai tantangan yang menguji kohesi sosial. Kesenjangan sosial yang lebar, polarisasi masyarakat akibat perbedaan pandangan politik, dan krisis moral yang menggerogoti nilai-nilai luhur, menjadi ancaman nyata bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Di sinilah peran Ramadan menjadi sangat relevan. Nilai-nilai yang ditanamkan selama Ramadan, seperti kepedulian sosial, toleransi, dan gotong royong, menjadi modal penting untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut.

Contoh nyata bagaimana Ramadan memperkuat modal sosial adalah tradisi “Sahur on the road“. Meskipun kadang disalahartikan, kegiatan ini sebenarnya merupakan bentuk kepedulian sosial, di mana anak-anak muda berbagi makanan sahur dengan mereka yang membutuhkan. Kegiatan ini tidak hanya membantu meringankan beban mereka yang membutuhkan, tetapi juga menumbuhkan rasa empati dan solidaritas di kalangan generasi muda.

Namun, tantangan tetap ada. Misalnya, dalam beberapa kasus, tradisi buka puasa bersama telah dikomersialkan, kehilangan esensi sosialnya. Buka puasa bersama menjadi ajang pamer kekayaan dan status sosial, bukan lagi sarana untuk mempererat tali persaudaraan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga esensi Ramadan sebagai madrasah sosial, di mana nilai-nilai luhur ditanamkan dan modal sosial diperkuat.

Dalam era globalisasi dan digitalisasi, nilai-nilai modal sosial semakin penting untuk menjaga identitas dan karakter bangsa. Arus informasi yang deras dan budaya asing yang masuk dapat menggerus nilai-nilai luhur bangsa jika tidak diimbangi dengan penguatan modal sosial. Ramadan, dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dapat menjadi benteng pertahanan dan modal sosial bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan zaman.

Bulan Ramadan, dengan kekayaan tradisi dan nilai-nilai luhurnya, menawarkan berbagai hikmah yang dapat diadaptasi oleh negara dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Lebih dari sekadar ritual keagamaan, Ramadan adalah laboratorium sosial di mana nilai-nilai seperti gotong royong, kepedulian, kebersamaan, dan refleksi diri dipraktikkan secara kolektif. Negara dapat memanfaatkan momen ini untuk memperkuat kohesi sosial, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Salah satu tradisi yang dapat diadopsi adalah semangat gotong royong dan kepedulian sosial yang menguat selama Ramadan. Negara dapat memfasilitasi dan mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan-kegiatan sosial, seperti bakti sosial, pengumpulan dan penyaluran bantuan, serta program-program pemberdayaan masyarakat.

Dengan membangun jaringan-jaringan sosial yang kuat di tingkat masyarakat, negara dapat menciptakan sistem dukungan yang tangguh dan responsif terhadap kebutuhan warga. Misalnya, negara dapat bekerja sama dengan komunitas-komunitas lokal untuk menyelenggarakan program-program bantuan bagi kelompok-kelompok rentan, seperti lansia, penyandang disabilitas, dan keluarga miskin.

Tradisi silaturahmi dan kebersamaan yang dijunjung tinggi selama Ramadan juga dapat menjadi modal penting bagi negara dalam membangun persatuan dan kesatuan bangsa. Dengan mengadakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, seperti buka puasa bersama lintas agama dan budaya, negara dapat menciptakan ruang dialog dan interaksi yang konstruktif.

Kegiatan-kegiatan ini tidak hanya mempererat tali persaudaraan, tetapi juga mempromosikan toleransi dan saling pengertian di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda. Negara juga dapat memanfaatkan tradisi ini untuk memperkuat komunikasi dan dialog antara pemerintah dan masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi warga.

Tradisi sedekah ifthar yang menjadi ciri khas Ramadan juga dapat menjadi instrumen penting dalam mengurangi kesenjangan sosial. Dengan memperkuat sistem pengelolaan sedekah serta mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam program-program pemberdayaan ekonomi, negara dapat menciptakan sistem redistribusi kekayaan yang lebih adil dan merata. Negara juga dapat memanfaatkan tradisi ini untuk mempromosikan budaya filantropi dan tanggung jawab sosial di kalangan masyarakat, sehingga lebih banyak orang tergerak untuk berkontribusi dalam pembangunan bangsa.

Terakhir, tradisi introspeksi diri dan refleksi yang menjadi bagian integral dari Ramadan dapat menjadi landasan bagi negara dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik. Dengan mendorong aparatur negara untuk melakukan introspeksi diri dan meningkatkan kualitas pelayanan, negara dapat menciptakan birokrasi yang lebih profesional, transparan, dan akuntabel. Negara juga dapat membangun sistem pengawasan dan evaluasi yang ketat untuk memastikan bahwa pelayanan publik berjalan dengan baik dan sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Dengan mengadopsi dan mengadaptasi tradisi-tradisi positif Ramadan, negara dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan bangsa. Ramadan bukan hanya bulan ibadah, tetapi juga bulan transformasi sosial yang dapat menginspirasi dan memandu negara dalam mewujudkan cita-cita bangsa.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply