Oleh : Idham Malik
Peristiwa Surabaya, tak lain adalah pertanda. Bahwa banyak di antara kita yang gelisah. Berada dalam puncak kebingungan dalam berhadapan dengan tema – tema sekular, seperti pembangunan, modernisasi, ekonomi, hak – hak manusia. Namun, lupa pada Tuhan.
Dalam keseharian kita, sibuk dengan urusan pembenahan dunia, tema – tema pembicaraan lebih banyak tentang bisnis, tentang pengalaman – pengalaman, dan tentu tentang politik. Banyak orang lupa berbicara tentang hari akhir, tentang aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Kitab Suci pun tersingkir ke rak – rak buku, yang mungkin sudah mulai ditutupi debu.
Kita mulai terikat dengan janji pertumbuhan ekonomi, kita mulai mengikrarkan janji pada pembangunan dan kesejahteraan. Tapi, janji kita pada Tuhan mulai longgar, kita mulai lupa, kapan kita betul – betul berserah diri. Ketika diberi pilihan, antara mengerjakan tugas hingga selesai dibanding ibadah, banyak diantara kita lebih memilih mengerjakan tugas dunia.
Mungkin, inilah puncak kekhawatiran para pelaku bom bunuh diri. Mereka adalah orang – orang yang merindukan makna. Mereka rela mengorbankan materi, utamanya tubuhnya untuk merebut makna. Meski, makna yang dikejar belum tentu melingkupinya juga. Surga yang diimpikan belum tentu ada. Mungkin saja surga itu hanya ada dalam pikiran beliau. Dan puncak kenikmatan adalah ketika mati menuju puncak impian makna yang dibentuknya sendiri.
Sayangnya, momentum makna berubah. Jaman ini, orang tidak begitu pusing dengan mati demi agama. Martir hanya laku di jaman Eropa pertengahan, ketika kaum selot membiarkan dirinya di hukum oleh otoritas Islam Spanyol-Granada, untuk menimbulkan efek ganda pada penganut kristen lain. Atau anak muda muslim Turki rela bahu membahu ke Yerussalem untuk berperang menghalau pasukan Salib dari Eropa, membantu Salahuddin.
Kini, martir seperti itu adalah martir yang kesepian. Tujuan multiplaying, pelipatgandaan pengaruh itu pias dihantam oleh makna – makna lain yang lebih penting. Saat ini, orang lebih peduli pada sosok – sosok hero kesejahteraan sosial, hero perbaikan lingkungan, hero anak – anak muda yang mencipta teknologi baru, yang membantu generasinya keluar dari stagnasi pengetahuan.
Namun, belum tentu juga. Martir selalu adalah inisiasi kelompok – kelompok kecil. Logikanya juga logaritma pertumbuhan. Mungkin, langkah-langkahnya memang dicemooh banyak orang, tapi, di sudut-sudut tertentu, di pojok-pojok lain, ada yang mengharumkan namanya. Mengabadikan fotonya sekeluarga, menganggapnya sebagai keluarga teladan. Tentu, jika begitu, arwahnya akan mengundang calon – calon martir yang lain.
Sejarah selalu berulang, tapi kita bisa melakukan tikungan sejarah agar sesuai dengan fiksionalitas kita. Saatnya kita yang rindu surga dunia yang damai, mulai menyebarkan kedamaian di lingkar – lingkar kecil kita. Mencari sisi – sisi baik dari agama, agar bisa berhadapan dengan saudara – saudaranya, yaitu ekonomi, teknologi, dan pengetahuan – pengetahuan baru.