Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Berita

Hukuman Mati dan Matinya Keadilan

×

Hukuman Mati dan Matinya Keadilan

Share this article
Hukuman Mati dan Matinya Keadilan

KHITTAH.CO, Indonesia adalah salah satu negara dengan pemasok rempah-rempah terbesar di dunia, Tercatat nilai ekspor rempah rempah dari indonesia mencapai US$ 1,02 miliar atau sekitar Rp 14,59 triliun.

Tidak heran, jika Yok Koeswoyo dalam lagu berjudul kolam susu yang ia rilis mengatakan “tongkat, kayu dan batu bisa menjadi tanaman”. Lagu ini mendapatkan posisi ke 31 dalam daftar 150 lagu terbaik versi majalah Rolling Stone Indonesia.

Namun, selain menjadi negara dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, Indonesia juga menjadi negara yang terbilang tegas terhadap pelaku kejahatan-kejahatan berat.

Indonesia menjadi salah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan-kejahatan berat.

Menurut data yang terhimpun oleh Amnesty Internasional, setidaknya ada 114 vonis hukuman mati baru yang dijatuhkan di Indonesia pada 2021.

Ini tidak jauh berbeda dengan 117 hukuman mati yang dijatuhkan pada tahun 2020, malah menjadi jumlah vonis mati tertinggi kedua dalam lima tahun terakhir.

Di antara jumlah vonis mati tersebut, sebanyak 94 atau 82% dijatuhkan untuk kejahatan narkotika, 14 untuk pembunuhan, dan 6 untuk terosrisme.

Bahkan, jumlah vonis hukuman mati yang dijatuhkan di Indonesia pada tahun 2021 juga menjadi salah satu yang terbanyak di Asia Pasifik.

Padahal, di saat yang sama, semakin banyak negara tetangga yang telah mengambil langkah untuk menghapus hukuman mati.

Efektivitas hukuman mati pun masih dipertanyakan. Hal tersebut, karena sampai saat ini, belum ada bukti konkret yang menjelaskan menurunnya angka kejahatan akibat penerapan hukum mati. Bukankah ini diberlakukan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan?

Menurut penuturan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), pada Februari 2022, prevalensi pengguna narkotika di Indonesia pada tahun 2021 justru mengalami peningkatan.

Dari 2019, pengguna narkotika naik menjadi 3,66 juta dari 3,41 juta. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi menimbulkan efek jera setidaknya untuk kasus narkotika menjadi tidak jelas.

Selain efektivitas, hukuman mati juga bertentangan dengan falsafah pemidanaan yang pada intinya melakukan reedukasi, resosialisasi, dan rehabilitasi.

Ketika hukuman mati dijatuhkan, tidak akan ada reedukasi, resosialisasi dan rehabilitasi. Bukankah telah tertuang dalam Pasal 28 A bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan kehidupanya.

Maka jelas bahwa hukuman mati telah melanggar hak untuk hidup yang diatur dalam UU yang juga diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Declaration of Human Right (DUHAM).

Dalam DUHAM, terdapat hak untuk hidup yang dijamin oleh konstitusi, maka ketika hukuman mati diterapkan, itu akan bertentangan dengan konstitusi.

Seorang terpidana mati pun dibiarkan terombang-ambing dalam ketidakjelasan waktu eksekusi. Apakah kita bisa membayangkan hidup di bawah bayang-bayang akan di eksekusi mati tapi tidak tahu kapan hukuman itu akan dilaksanakan?

Kebanyakan orang dieksekusi mati setelah berpuluh-puluh tahun mendekap dalam penjara. Apakah adil ketika dia telah menunjukkan perubahan sikap selama dalam kurungan namun masih saja dieksekusi mati?

Seharusnya masa kurungan yang terpidana bisa dijadikan sebagai tolok ukur, apakah orang itu menunjukkan itikad baik untuk berubah atau tidak.

Misal, terpidana mati diberi waktu sepuluh tahun untuk berubah menjadi baik dan menyesali perbuatannya.

Jika dalam kurun waktu itu ia bisa menunjukkan itikad baik, maka hukuman mati harus yang dijatuhkan pada orang tersebut harus dihapuskan atau diganti menjadi kurungan penjara seumur hidup.

Ini karena sesungguhnya kejahatan merupakan produk dari kemiskinan, keputusasaan, dan kejiwaan yang tidak stabil.

Jadi, segala bentuk kejahatan akan tetap ada dan hukuman mati tidak akan menimbulkan efek jera untuk tidak melakukanya.

Ini karena mereka ingin keluar dari jurang kemiskinan dan keputusasaan. Sehingga, sangatlah tidak adil, etika kejahatan yang dilakukan karena keadaan terdesak atau semacamnya, lantas dijatuhi hukuman berat tanpa mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong ia melakukan kejahatan.

Ditulis oleh:

Ilham Saputra

Ketua Bidang Tablig dan Ke-Islaman PC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Gowa

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply