Oleh: Abd. Rakhim Nanda*
QS Al An’am/6: 76
اعوذ بالله من الشيطان الرجيم
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ ٱلَّيْلُ رَءَا كَوْكَبًاۖ قَالَ هَٰذَا رَبِّىۖ فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَآ أُحِبُّ ٱلْءَافِلِينَ
Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.”
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا
“Ketika malam menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang.” Mungkin ia bintang yang bersinar, karena pengkhususannya dalam penyebutan menunjukkan bahwa dia lebih daripada yang lain. Oleh karena itu, wallahu a’lam, ada yang mengatakan bahwa itu adalah bintang Venus. قَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ “(Lalu) dia berkata, ‘Inilah Tuhanku’.”
Maksudnya, dia berkata, “inilah Rabbku,” dengan nada merendah, namun menentang.
Lalu marilah kita lihat, apakah dia berhak memperoleh rububiyah? Apakah kita memiliki dalil dalam hal ini? Karena seorang yang berakal tidak layak menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan tanpa bukti dan dalil. فَلَمَّآ اَفَلَ “Tetapi tatkala bintang itu tenggelam,” maksudnya, bintang itu menghilangقَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ “dia (Ibrahim) berkata, ‘saya tidak suka kepada yang tenggelam’,” maksudnya, yang menghilang dan bersembunyi dari orang yang menyembahnya, karena yang disembah harus mengurusi kepentingan-kepentingan orang yang menyembahnya, dan harus berfungsi sebagai pengaturnya dalam segala urusannya.
Adapun yang tenggelam dalam waktu yang lama, maka bagaimana mungkin dia berhak disembah? Bukankah menjadikannya sebagai tuhan termasuk kebodohan besar dan kebatilan yang parah? ( ayat 76)
فَلَمَّا رَءَا ٱلْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَٰذَا رَبِّىۖ فَلَمَّآ أَفَلَ قَالَ لَئِن لَّمْ يَهْدِنِى رَبِّى لَأَكُونَنَّ مِنَ ٱلْقَوْمِ ٱلضَّآلِّينَ
Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (77)
فَلَمَّا رَاَ الْقَمَرَ بَازِغًا “Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit,” dan dia melihatnya lebih dan berbeda dengan cahaya bintang, قَالَ هٰذَا رَبِّيْ “dia berkata, ‘inilah Tuhanku’.”
Dengan nada merendahفَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ “Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata, ‘sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat’.”
Maka dia benar-benar membutuhkan hidayah dari Tuhannya. Dia (Ibrahim) menyadari jika Dia (Tuhan) tidak memberinya petunjuk, maka tak ada yang memberi petunjuk kepadanya. Jika Dia (Tuhan) tidak membantunya dalam menaatiNya, maka tiada penolong bagi -diri-nya (ayat 77)