Oleh : Haidir Fitra Siagian
KHITTAH.CO – Musibah yang melanda umat manusia secara global yakni wabah Virus Corona atau Covid-19 ternyata membawa dampak terhadap pelaksanaan ibadah. Kali ini pelaksanaan hari raya Idul Adha 10 Dzhuhijjah 1441 H kali terasa lebih berbeda. Terutama saat salat Idul Adha dan khutbahnya. Jika pada tahun lalu dilaksanakan secara bersama-sama dengan umat Islam lainnya, namun kali ini terdapat pembatasan-pembatasan.
Hal yang hampir sama juga dialami oleh warga Muslim Indonesia yang tinggal di Wollongong. Terutama dalam pelaksanaan salat Idul Adha. Beberapa hari sebelumnya, oleh panitia Masjid Omar Wollongong dan pengurus Mushalla MAWU Universitas Wollongong, telah mengumumkan bahwa akan diadakan salat Idul Adha dengan menerapkan protokol kesehatan.
Setiap masjid hanya dapat menerima jamaah yang mendaftar maksimal 35 orang dan dianjurkan agar anak-anak di bawah umum dan kaum perempuan tidak ikut serta. Kasihan juga anak-anak dan perempuan tidak bisa ikut.
Untuk mengantisipasi hal ini, sebagian warga Muslim Indonesia di Wollongong menginisiasi pelaksanaan salat Id secara berkelompok, baik di rumah masing-masing bersama keluarga maupun di halaman rumah warga. Sebagian lagi, terutama yang tinggal sendirian atau tidak membawa keluarga, bergabung di masjid atau mushalla tersebut di atas.
Kami sekeluarga bersama lima keluarga Indonesia, memilih melaksanakan salat Idul Adha di halaman rumah Pak Aji dan Pak Aditya, di kompleks College Place, Wollongong. Jumlah jamaah yang hadir adalah sesuai ketentuan pemerintah Australia, yakni hanya dua puluh orang. Masing-masing orang membawa tikar dan sajadah sendiri. Bertindak sebagai imam dan khatib adalah saya sendiri.
Setelah pelaksanaan salat Idul Adha, dilanjutkan dengan silaturahmi sesama warga Indonesia, baik yang ikut salat di halaman tersebut, maupun yang salat di tempat lain lalu datang kemudian bergabung dengan kami.
Di sini kaum ibu, sudah menyiapkan beberapa jenis makanan khas Indonesia. Mulai dari bakso, rujak, mie ayam, keripik melinjo, dan satu lagi yang tidak ketinggalan adalah sate padang. Adapula yang menyiapkan Thai tea dan goreng kacang ijo.
Semua ini disiapkan secara swadaya oleh ibu-ibu. Masing-masing ibu-ibu menyediakan dan memasak makanan di rumahnya, lalu dibawa ke lokasi. Kemudian dihidangkan secara bersamaan. Jadi tidak perlu mengumpul uang atau menyewa catering. Alhamdulillah, semua berjalan dengan baik dan lancar.
Hal lain yang perlu saya ceritakan di sini adalah bahwa ternyata pelaksanaan hari raya Idul Adha di Wollongong ini, terdiri dari dua hari. Yakni kemarin, Jum’at, 31 Juli 2020 dan pada hari ini, 01 Agustus 2020. Walaupun sebagian besar umat Islam sudah merayakan pada hari kemarin, namun sebagian lagi, baru salat Id tadi pagi.
Kami sendiri warga Muslim Indonesia melaksanakan kemarin, mengikuti pengumuman dari Dewan Ulama Australia atau ANIC. Demikian pula pengurus Mushalla MAWU UoW. Yang berbeda adalah pengurus Masjid Omar Wollongong. Sebagian kemarin dan sebagian hari ini. Jadi di masjid ini, salat Id diadakan selama dua hari.
Imam Masjid, yakni Syekh Abdurrahman dan warga Muslim terutama dari Arab Saudi, Lebanon, Afrika Utara dan Timur Tengah lainnya, melaksanakan kemarin. Sedangkan Muslim keturunan dari Afganistan, Pakistan, dan Bangladesh, baru melaksanakan hari ini.
Ternyata mereka memiliki tim yang melihat hilal atau tim rukyat yang melihat awal bulan. Dikabarkan bahwa mereka belum melihat bulan pada sepuluh hari lalu. Hal yang sama pula terjadi pada pelaksanaan awal puasa dan hari raya Idul Fitri yang lalu.
Walaupun sesama pengurus di masjid yang sama, akan tetapi dalam pelaksanaan salat Id tetap memiliki potensi yang berbeda. Namun demikian pelaksanaan salat Idul Adha di Masjid Omar, baik kemarin maupun hari ini, berlangsung dengan tertib dan lancar. Tidak ada masalah sama sekali, karena masing-masing sangat menghormati dan sangat memahami.
Tadi malam saya berada di Masjid Omar sepanjang waktu mulai Magrib dan Isya. Selesai salat Isya, Pak Imam memanggil saya. Dia bilang setelah salat sunnah, jangan langsung pulang, tunggui saya katanya.
Ternyata saya diajak ke rumahnya, di seberang jalan, tak jauh dari Masjid. Beliau memberikan saya satu kotak kue Arab. Bawalah dan makan bersama anak-istrimu kata beliau. Tidak tahu kenapa hanya saya yang dia beri. Mungkin karena saya sering disuruh membuang sampah dari kotak di belakang masjid ke samping jalan raya agar mudah diangkut petugas kebersihan.
Satu lagi hal yang ingin saya ceritakan adalah, tadi pagi ada pengumuman di grup WA Jamaah Pengajian Illawara (JPI). Barangsiapa yang ingin mendapatkan daging kurban, agar mengisi formulir secara online. Tulis nama, jumlah keluarga, alamat dan nomor telepon.
Ternyata ada warga Arab yang ingin membagi-bagikan daging kurban. Kami pun mengisi formulir tersebut. Saya juga sebarkan formulir itu kepada teman-teman warga Indonesia. Khusus kepada teman warga Indonesia yang tinggal sendirian dan sulit memasak, istri saya menawarkan untuk memasaknya.
Tadi sebelum Magrib, dua orang warga keturunan Arab masing-masing secara terpisah menelepon kami. Ingin mengantarkan daging kurban. Mereka datang pada saat yang tidak bersamaan.
Kami menunggu di depan rumah, supaya dia tak perlu naik ke lantai tiga rumah kami. Masya Allah, mereka datang membawa daging kurban dengan jumlah yang cukup banyak. Bahkan ada juga disertai dengan permen coklat untuk anak-anak.
Di sini, ada kebiasaan sebagian orang Arab atau tradisi mereka, bahwa jika berkurban itu, yang membagikan adalah orang berkurban itu sendiri. Tidak diwakilkan kepada orang lain dan tidak diserahkan kepada panitia. Namun ada juga sebagian lainnya yang menyerahkan kepada panitia kurban di berbagai tempat atau organisasi.
Karena nyonyaku menganggap daging kurban jatah kami ini cukup banyak, maka kami membagikan kepada teman-teman warga Indonesia lainnya yang tidak menerima. Ada tiga warga Indonesia yang kami berikan, masing-masing satu kantong plastik besar. Termasuk kepada teman sesame pelajar yang warga non-Muslim dari Maluku. Mereka menerima daging kurban tersebut dengan ceria dan hati senang. Wallahu’alam.
Penulis: Haidir Fitra Siagian, Ph.D. (Aktivis Muhammadiyah, sementara bermukim di Australia)