Catatan menjelang MUSYDA XIX DPD IMM Sulawesi Selatan di Sinjai
Oleh : Abdul Jabbar A. )*
Dalam narasi gerakan mahasiswa, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah telah mengisi ruang sejarah tersebut dengan corak yang khas, sebagai gerakan mahasiswa Islam yang berwatak tajdid-progresif. Namun, arah gerak perubahan tersebut, sepertinya masih berkutat pada watak gerakan yang belum mampu mentrasnformasi nilai-nilai yang fundamental yang bersumber dari penafsiran nilai-nilai Islam yang kritis-liberatif.
Sejatinya, nilai sejarah pergerakan mahasiswa dikonstruksi berdasarkan pilar linkage-nya dengan ruang sejarah yang dilaluinya. Sehingga, ia lahir sebagai kreator bagi sebuah rekayasa peradaban dan tidak hanya mampu menorehkan sejarah tanpa orientasi (sekadar reaktif). Dalam hal ini, seharusnya ia mampu menjadi identitas yang bersinergi sekaligus menjadi pewarna bagi entitas lain dalam raung sejarah tersebut. Dalam konstruksi peradaban tersebut, setidaknya kita memiliki sebuah postulat pemahaman mengenai arah peradaban yang dicita-citakan.
Sebagai salah satu rujukan monumental, Rasulullah Saw. telah mewariskan sebuah konstruksi peradaban yang berbasis nilai Islam. Hal ini digambarkan oleh Robert N. Bellah dalam Beyond Belief, bahwa konstruksi peradaban yang dibangun oleh Rasulullah dalam model masyarakat madani di Madinah al-Munawwarah, merupakan model peradaban yang secara nilai dan praksis telah memanifestasikan nilai-nilai keadilan, toleransi, terbuka, dan menjunjung tinggi nilai-nilai humanis. Hanya saja, konstruksi peradaban ini begitu maju melampaui batas sejarah, sehingga pasca Rasulullah, tidak tersedia sebuah modal sejarah yang mampu menopang arah rekayasa peradaban tersebut.
Sisi lain, juga terdapat beberapa gambaran alternatif mengenai konstruksi peradaban. Konsep civil society, merupakan sebuah model masyarakat yang berdaulat, dengan kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya. Peradaban (civilization) menurut Raymond Williams adalah suatu kondisi sosial-masyarakat organik, yang berbeda dengan model masyarakat yang mekanik (Samuel P. Huntington, The Clash Of Civilization, 1996). Peradaban ini, memiliki konsentrasi pada : Pertama, eksistensi tunggal dan plural yang menyatu dan saling menyapa dalam bingkai harmoni. Kedua, Kultur, yang selalu menorehkan spirit kemanusiaan yang terimplementasi dalam kebudayaan yang terbuka dan penuh toleransi. Gambaran ini sejalan dengan konsep Masyarakat Madani yang dipopulerkan oleh mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia DR. Anwar Ibrahim.
Gambaran arah konstruksi peradaban tersebut, umumnya mengandung nilai-nilai yang ideal, serta meniscayakan suatu perubahan yang terus menerus secara progresif (transformasi). Hanya saja, dalam rekaman sejarah model-model perubahan itu, selalau menampakan wajah yang pro-establishment, kontra- establishment, konstruksi dan dekonstruksi. Huntington, memaparkan model-model perubahan dalam transisi demokrasi menuju demokrasi di Amerika Latin dalam model transplacement, replacement, dan transformation. (The Waves Of Democratization, 1997). Atau dalam kajian ilmu sosial perubahan itu memiliki paradigma: evolusi, revolusi dan transformasi.
Kontowijoyo, dalam tesis monumentalnya, mengurai teori Tiga Tahap Augus Comte dalam tahapan kesadaran keagamaan umat Islam, yaitu Mitos, Ideologi, dan Ilmu. Elaborasi gagasan ini sangat tepat dalam menggambarkan terhadap model perubahan masyarakat Islam, terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Gagasan ini hendaknya merefleksi umat Islam dalam menangkap pesan sejarah perubahan, sehingga kita tidak hanya mampu mengisi sejarah, namun mampu memainkan dan membuat sejarah dengan penuh kesadaran. Fase ini, merupakan kunci utama dalam tahapan konstruksi peradaban Islam, yang menurut Kontowijoyo sebagai Peradaban Profetik, dimana agama telah menyatu dalam kehidupan manusia.
Dalam gagasan perubahan ini, yang menjadi kunci utama adalah lahirnya aktor, sebagai agent perubahan. Salah satu aktor penting dalam sejarah perubahan adalah generasi muda sebagai tulang punggung perubahan. Mahasiswa sebagai bagian dari generasi muda tersebut, hendaknya tidak kehilangan spirit perubahan dalam memandang sejarah yang dialektis-historis. IMM sebagai organisasi mahasiswa Islam, memiliki tanggung jawab sosial yang besar dalam memainkan arah rekayasa perubahan, menuju bangunanan peradaban progresif. Diusianya yang menjelang ke-52 tahun, IMM memiliki tanggungjawab sejarah yang besar dalam melahirkan aktor-aktor kritis-progresif, ditengah keterpurukan bangsa Indonesia yang mengalami krisis multi-dimensional. Lahirnya kader-kader progresif tersebut, merupakan keniscayaan dalam membangun peradaban baru bagi bangsa Indonesia, sebab bukan hanya akan menghadapai tantangan dari luar, berupa neo-liberalisme yang merupakan bagian dari neo-imferialisme, tetapi juga para penguasa yang dhalim, yang tidak berpihak pada rakyat kecil. Michael Porter (Ekonom AS) mengatakan bahwa bangkitnya suatu bangsa membutuhkan modal sosial, berupa kesadaran masyarakat dalam membangun bangsanya.
Membangun kesadaran masyarakat, khususnya dalam konteks ke-Indonesiaan bukanlah sebuah pekerjaan mudah. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat dengan penyakit amnesia politik, warga bangsa ini sangat mudah melupakan peristiwa masa lalu ataupun dosa masa lalu sehingga kesalahan dalam memilih pemimpin ataupun untuk menciptakan sebuah tata sosial kehidupan yang beradab tidak terwujud hingga saat ini. Maka peranan organisasi sosial yang berbasis kaum intelektual seperti IMM sangatlah penting untuk mengkonstruk masa depan umat dan bangsa tercinta. Upaya membangun kesadaran ini haruslah dikonstruk secara cerdas dan kreatif lewat berbagai model pendekatan dengan melakukan maksimalisasi potensi mahasiswa. Pendekatan dengan memanfaatkan instrumen budaya seperti teater, wayang, tarian, dongeng, dan sebagainya yang sangat dekat dengan kehidupan sebagian warga bangsa Indonesia. Pendekatan ilmiah lewat tulisan, diskusi, seminar, dan lain-lain cukup harus semakin digiatkan untuk membangun keasadaran masyarakat (community awareness). (*)
* ) Ketua DPD IMM Sulawesi Selatan Bidang Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat