Oleh : Adam Malik*
Kondisi sosial-empirik masyarakat menciptakan jebakan terhadap perempuan. Budaya patriarki, kala perempuan berada dalam titik nadir superioritas lelaki. Simbol, kultur, dan ideologi domain memperlakukan perempuan secara tidak adil. Belum lagi patriarki bernafaskan agama yang mengungkung perangkat sistem emosional dan kebebasan berekspresi di ruang publik bagi perempuan. Budaya patriarki digunakan untuk menyebut kekuasaan laki-laki, hubungan kekuasaan yang membuat apa laki-laki mengusai perempuan dan sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui berbagai macam cara.
Jika dengan seksama dan segala kerendahan hati, masuknya, dan berkembangnya tradisi patriarki berawal dari pemahaman gender yang direduksikan. Relasi gender dipahami sama dengan relasi seks. Persepsi sembrono publik selalu mengasosiasikan bahwa kerangka berpikir sex differences (perbedaan seks) disamakan dengan gender differences (perbedaan gender) dari kekeliruan itulah sebabnya akan melahirkan perlakuan diskriminatif fisik dan non fisik terhadap perempuan.
Perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan mempunyai impelentasi di dalam kehidupan sosial-budaya. Persepsi yang seolah-olah mengendap di alam bawah sadar masyarakat ialah jika seseorang mempunyai atribut biologis. Konsepsi patriarki akan menempatkan perempuan sesuai selera berdasarkan atribut biologis.
Asumsi ini memandang sifat kelelakian dan sifat keperempuanan sebagai perbedaan yang didasarkan pada seks yang bersifat kodrati. Karena maskulin selalu dicitrakan agresif, kompetitif, rasional, memiliki fisik yang kuat, dan sebaliknya karakter perempuan dicitrakan fasik, jiwa pengasuh, penerima, emosional, dan memiliki fisik yang lemah.
Jika hal ini di pertahankan, peran subordinatif antara peran sosial dan peran biologis menjadi lebur dalam pusaran banalitas patriarki. Dalam masyarakat Islam terdapat dua kubu yang pro terhadap gender dan kontra gender. Bagi kalangan yang kontra terhadap pahaman gender dilatar belakangi oleh pahaman terhadap teks dalil yang sifatnya tekstual, mereka mendeskripsikan pelbagai persoalan perempuan berdasarkan konsepsi teks yang sifatnya masa lalu.
Salah satu studi kasus yang penulis angkat adalah perempuan yang berada dibawah kendali kelompok Taliban di Afganistan dan kelompok radikal Islam lainnya. Bagi kalangan yang pro terhadap isu-isu gender, mereka melakukannya dengan berbagai pertimbangan riset sosial terhadap kompleksitas masalah perempuan di masyarakat. Buktinya mereka banyak menemukan kasus pelecehan, kekerasan, bahkan pembunuhan yang kebanyakan korbannya adalah perempuan.
Ketika Elizabeth Blacwill (dokter perempuan pertama) menyelesaikan studinya di Geneve University pada tahun 1849, teman-temannya memboikotnya dengan dalih bahwa perempuan tidak wajar memperoleh pelajaran, bahkan ketika bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk perempuan di Philadelphia, Amerika, Ikatan Dokter setempat mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar disana. Begitu banyak tindakan diskriminatif terhadap perempuan dalam kehidupan sosial masyarakat. Sehingga, hal ini memunculkan banyak gerakan feminism dan mencuaknya gerakan kesetaraan gender.
Dalam khazanah pemikiran Islam setidaknya ada tiga tokoh yang mekakukan perombakan pemikiran Islam klasik yang bersifat patriarkhal. Mereka adalah Riffat Hassan, Fatima Mernissi, dan Asghar Ali Engineer. Penulis sengaja mencantumkan ketiga tokoh tersebut dengan berbagai alasan bahwa mereka merupakan aktivis teolog feminism yang memiliki karya tulis dan konsentrasi yang kuat dalam membongkar hasil intrepretasi teks-teks keagamaan yang patriarkhal. Tugas para aktivis adalah menyampaikan gagasan progresif mereka kepada publik. Dalam kajian penulis mereka telah meletakkan dasar-dasar dekonstruksi dan reintrepretasi terhadap interpretasi dan atau teks-teks keagamaan yang tersebar di berbagai karya tafsir dan hadits.
Gerakan Immawati sebagai bagian dari komunitas perempuan yang tentunya memiliki posisi strategis dalam mengawal perserikatan Muhammadiyah. Immawati yang domain melakukan aktivitas keagamaan, dan intelektual di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah secara internal harus melakukan kontrol terhadap dinamika kelembagaan. Keterlibatan Immawati sebagai eksekutor sangat berpengaruh lantaran wanita secara persuasiv memiliki kelembutan dan diharuskan menggunakan logika dari pada perasaan agar tercipta keharmonisan dalam ikatan.
Masalah sosial kebudayaan selalu berubah sesuai zamannya demikian pula pola perubahan terhadap pelbagai kompleksitas masalah perempuan di berbagai aspek kehidupan. Persepsi sosial yang selama ini terbangun dalam masyarakat mengenai perempuan setidaknya menjadi tugas sosial dan kebudayaan Immawati untuk meretas persepsi tersebut dan berkewajiban memberikan persfektif baru terhadap perempuan. Tak ada perbedaan peran sosial antara laki-laki dan perempuan karena keduanya mempunyai nalar yang sama. Begitulah, pandangan tokoh feminism Mary Wollstonecraft. Gerakan Immawati adalah melawan kejamnya patriarki dan varian kekerasan pada perempuan, seorang Immawati di perhadapkan pelbagai kasus eksploitasi fisik dan psikologis sesamanya. Lalu masih beranikah anda mengklaim diri sebagai Immawati dan duduk bersilah melihat pelbagai bentukan kekerasan terhadap sesamanya?. Wallahu A’lam
*Penulis adalah aktivis IMM kota Makassar