Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BeritaLiterasiOpiniPendidikan

Ini Penjelasan Neurosains Mengapa Seseorang Bisa Jadi Hiperseks

×

Ini Penjelasan Neurosains Mengapa Seseorang Bisa Jadi Hiperseks

Share this article
dr. Dito Anurogo, M.Sc

Oleh: dr. Dito Anurogo, M.Sc (Dosen FK Unismuh Makassar)

Mekanisme Brain Reward pada Hiperseksualitas
Sumber gambar: https://psycofsexaddiction.weebly.com/brain-scan-results.html

KHITTAH.CO — Sebagian orang beranggapan kalau hiperseks itu melulu masalah kriminalitas. Neurosains membuktikan bahwa hiperseks terkait erat dengan abnormalitas.

Hiperseks alias hiperseksualitas memiliki nama lain perilaku seksual kompulsif, ketagihan atau kecanduan seks. Sebagian ahli ada yang menyarankan istilah ”Don Juan” atau ”satyriasis” untuk menyebut hiperseksualitas pada pria, dan ”nimfomania” sebagai sinonim dari hiperseksualitas pada perempuan.
Mengingat belum adanya kriteria diagnosis yang valid serta keterbatasan riset, sehingga hiperseksualitas tidak tercantum di dalam DSM-5 (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition).

Kinsey memerkenalkan konsep pelampiasan seksual (sexual outlet, SO) untuk menilai hiperseksualitas, dengan menghitung jumlah total orgasme dalam seminggu. Kafka (1997) mengkarakterisasi hiperseksualitas lebih dari tujuh kali SO per minggunya.
Epidemiologi

Menurut studi epidemiologi, onset usia hiperseksualitas diperkirakan 18,7 tahun pada pria yang aktif secara seksual, dengan rerata durasi 12,3 tahun. Penderita hiperseksualitas ini umumnya berkonsultasi ke dokter untuk meminta terapi rata-rata di usia 37 tahun. Pria lima kali lebih rentan mengalami hiperseksualitas dibandingkan perempuan. Prevalensi hiperseksualitas pada populasi sekitar 3-6 persen.

Komorbiditas

Dokter beserta tim medis perlu berhati-hati di dalam upaya menegakkan diagnosis hiperseksualitas, mengingat adanya penyerta atau komorbiditas, seperti; gangguan suasana hati atau mood, gangguan cemas, penyalahgunaan zat adiktif (NAPZA) dan pemakaian alkohol, gangguan kepribadian, gangguan obsesif-kompulsif.

Sebagaimana pengguna obat-obat rekreasional, maka pencandu heroin dan pengguna obat psikostimulan juga merupakan perilaku seksual berisiko tinggi. Riset menunjukkan bahwa komorbiditas antara hiperseksualitas dan penyalahgunaan zat tinggi, antara 40 persen hingga 71 persen.

Perbedaan ilustratif otak pria dan otak perempuan
Sumber: http://www.helpingmen.co.uk/2013/01/is-mens-help-seeking-behaviour-question.html

Perspektif Neurosains

Studi pencitraan [neuroimaging] menggunakan functional magnetic resonance imaging (fMRI) berhasil menunjukkan respon otak terhadap isyarat erotik visual pada heteroseksual pria, ditunjukkan dengan aktivasi beberapa daerah di otak, seperti hipotalamus, talamus, amigdala, girus singulat anterior, insula, girus fusiform, girus presentral, korteks parietal, korteks oksipital. Studi lain tentang respon otak terkait marker fisiologis dari bangkitan seksual (misal saat ereksi) menunjukkan aktivasi otak di sejumlah area, seperti hipotalamus, talamus, insula bilateral, girus singulat anterior, girus post-sentral, dan girus oksipital.

Studi aktivitas otak saat orgasme pria dan perempuan menunjukkan adanya aktivasi di jalur dopaminergik yang berasal dari tegmentum ventral menuju nukleus akumbens, serebelum dan girus singulat anterior. Khusus pada perempuan, aktivasi otak kortikal terobservasi selama orgasme.
Ada penelitian menarik yang mengungkapkan bahwa beberapa daerah di otak sama-sama teraktivasi baik saat terpapar obat maupun seks.

Daerah itu terletak di jaringan hadiah (reward network) dan sistem limbik, bernama tegmentum ventral, amigdala, nukleus akumbens, orbitofrontal, dan korteks insular. Jadi dari beberapa studi neuroimaging di atas diketahui keterlibatan berbagai area otak terkait reward processing, termasuk nukleus akumbens (umumnya striatum) dan tegmentum ventral, struktur prefrontal, struktur limbik (amigdala dan hipotalamus).

Studi lain berhasil membuktikan adanya lesi di otak yang melibatkan lobus temporal dan frontal, hipotalamus, serta septum. Secara umum dapatlah dikatakan bahwa lesi lobus frontal menghasilkan disinhibisi atau hambatan, sedangkan lesi di lobus temporal pencetus dorongan atau hasrat seksual yang lebih tinggi.

Menariknya, hiperseksualitas dan disinhibisi dilaporkan juga pada penderita demensia, yang disebabkan oleh atrofi di korteks frontal dan temporal.
Jelaslah bahwa hiperseks itu terkait erat dengan ketidaknormalan atau adanya gangguan pada otak. Para pakar di bidang neurosains telah membuktikannya melalui riset ilmiah. (*)

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply