Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
BeritaLiterasiMuhammadiyah

Inilah Alasan Muhammadiyah-NU Pantas Raih Nobel Perdamaian

×

Inilah Alasan Muhammadiyah-NU Pantas Raih Nobel Perdamaian

Share this article

KHITTAH.CO, YOGYAKARTA — Dalam beberepa kesempatan pemaparan diskusi ketua Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM, Najib Azca bilang bahwa PSKP konsiten mengurutkan Muhammadiyah dan NU bukan sebaliknya. “agar tidak geger, kita pusing awalnya cari alasan urutan lalu ketemulah alasan abjad.”, ujarnya dalam seminar internasional kemarin.

Dalam banyak penulisan jurnalis di media selama ini sangat stabil dan normal NU-Muhammadiyah walaupun itu semakin banyak dipertanyakan alasan pengurutannya. Muhammadiyah selaian huruf mendahului M, tanggal lahir Muhammadiyah juga lebih tua yaitu tahun 1912 dan NU tahun 1926.

Sudah beberapa pekan ini hangat didiskusikan peristiwa penting masyarakat Islam yaitu dinominasikannya Muhammadiyah dan NU oleh Universitas Gadjah Mada dan nominator lainnya seperti CSIS dan Ramos Horta untuk mendukung agenda penting ini. Najib Azca, ketua peneliti proyek inspiratif dari Indonesia untuk dunia yaitu narasi kontrubusi dwi tinggal organisasi islam terbesar di dunia ini bagi upaya bina-damai untuk kehidupan dunia.

Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP UGM) berencana mengajukan Nahdlatul Ulama atau NU dan Muhammadiyah sebagai kandidat penerima penghargaan Nobel perdamaian. Kedua organisasi itu dianggap menawarkan wajah lain dari Islam yang selama ini dikenal dunia.

Kepala PSKP UGM Najib Azca mengatakan Islam saat ini identik dengan diskursus mengenai kekerasan, terorisme, hingga ekstremisme. Stereotip itu terutama muncul dari wilayah Timur Tengah yang selama ini dianggap sebagai kiblat Islam. “Indonesia punya smiling islam karena adanya Muhammadiyah dan NU”, tambahnya.

Kedua organisasi Islam itu juga bekerja sama melawan gerakan Islam transnasional, seperti salafi-wahabi, HTI, Ikhwanul Muslimin (IM) dan lainnya. Mereka membendung gerakan itu dengan mengeluarkan suatu putusan atau fatwa. Mereka melarang penggunaan amal usaha dan fasilitas Muhammadiyah oleh partai politik terutama oleh PKS dan penolakan NU atas gerakan Islam transnasional yang dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.

Najib mengatakan, Muhammadiyah dan NU juga memainkan peran penting dalam membangun basis bagi budaya politik damai dan demokratis. Upaya tersebut dilakukan melalui berbagai program dan amal usaha yang dilakukan di berbagai bidang, termasuk pendidikan, dakwah, sosial dan ekonomi. Senada dengan itu, kata Prof Azymardi Azra, “Muhamamdiyah dan NU sangat layak menerima apresiasi Nobel karena peran nyata yang telah diupayakan selama ini.”

“Dari sisi perdamaian, apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan NU tersebut bisa dilihat sebagai ikhtiar membangun ‘perdamaian positif’ yang berarti menghilangkan aneka bentuk kekerasan struktural dan kultural yang ada di masyarakat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial,” ujar Najib sesuai dilansir Pustakamu.id.

Di dunia internasional, Muhammadiyah dan NU turut ambil andil dalam menjaga perdamaian. Muhammadiyah fokus pada program filantropi dan bantuan kemanusiaan. Mereka mendirikan rumah sakit dan sekolah di Rakhine State, Myanmar, dan Palestina, serta menyediakan ratusan beasiswa penuh untuk komunitas Mindanao di Filipina dan Pattani di Thailand Selatan. Muhammadiyah juga memberikan pemberdayaan ekonomi serta pendidikan di kalangan Bangsa Moro Filipina.

Seminar Internasional “Islam Indonesia di Pentas Global : Inspirasi Damai Nusantara Berkemajuan Untuk Dunia” yang diselenggarakan hari ini Jumat, 25 Januari 2019 di Balai Senat UGM merupakan apresiasi autentik dari civitas akademika dan pemerhati perdamaian.

Sebelumnya, telah dilaunching buku karya peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian yang berjudul Dua Menyemai damai: Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan NU dalam perdamaian dan demokrasi. Tentu saja sangat menarik buku ini karena dua alasan.

Pertama, Buku ini mengajarkan urutan dwi tunggal, Muhammadiyah dan NU bukan sebaliknya karena sesuai urutan alfabet. Demikian ungkap tim penulis buku karena banyak sekali di media yang menulis dengan urutan NU dan Muhammadiyah atau NU-Muhammadiyah. Berdasarkan tanggal lahir juga Muhammadiyah lebih tua, jadi ini masuk akal sekali, ujar David Efendi, salah satu narasumber dalam penelitian Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian ini.

Seminar Internasional ini menghadirkan banyak tokoh untuk memberikan pidato Kunci seperti Buya Syafii Maarif, Gus Yahya Staquf, Azumardi Azra, Mark Woorward dan terlebih endorsment dari Dr Ramos Horta, Mantan Presiden Timor Leste yang juga mendapatkan Nobel Perdamaian.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply