Oleh: Agusliadi Massere*
Orang lain bisa saja berkata bahwa, “penulis terlalu percaya diri atau pun berani” meneropong dan mengulas tema “Islam” dan relasinya dengan “Indonesia”, apalagi “masa depan Indonesia”. Bagi saya penilaian seperti ini bisa saja muncul, karena keduanya, apalagi menarik garis relasinya adalah merupakan tema besar bahkan masuk kategori grand narration, jika meminjam perspektif Yasraf Amir Piliang. Selain itu karena background keilmuan saya bisa dikatakan “tidak jelas”, apalagi lagi terkait Islam dan Indonesia. Mudah-mudahan, saya bukanlah salah satu yang berkontribusi terhadap the death of expertise (matinya kepakaran).
Bagi yang mengedepankan prinsip “pembelajar” dan dibarengi dengan sikap “kesiapan untuk dikritik” itu bukan problem. Begitu pun dalam pandangan saya sendiri. Apalagi dalam meneropong kedua tema besar itu, saya tidak mengedepankan subjektivitas dan intuisi semata. Saya meminjam perspektif berbagai ilmuwan, cendekiawan, pemikir, dan penulis yang background dan otoritas keilmuannya tidak diragukan. Dalam setiap tulisan-tulisan yang saya produksi, tidak akan dimulai tarian lentik jemari ini di atas tuts laptop, ketika saya belum menemukan referensi jelas yang bisa memperkuat landasan teoritik dan (untuk) memantik kepercayaan pembaca. Ini seakan menjadi karakter saya dalam menulis.
Jika dicermati, idealnya masa depan Indonesia berada dalam genggaman, tanggung jawab, dan komitmen umat Islam yang menduduki posisi mayoritas dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Bahkan jika diandaikan Indonesia adalah kepingan yang akan dirangkai kembali membentuk sebuah mozaik, maka yang memiliki peran besar secara kuantitatif (dan tidak berlebihan jika disebutkan secara kualitatif pun), adalah umat Islam. Jika kita jujur menilai, maka akan diakui catatan sejarah itu.
Dalam tulisan ini, saya bermaksud mengungkapkan satu keyakinan, bahwa Islam mampu menjamin pencapaian masa depan Indonesia yang gemilang, cemerlang, sejahtera, damai, makmur, aman dan sentosa, termasuk berdaulat dan demokratis. Atau terkait sejumlah impian yang melekat pada Indonesia, saya singkat saja dengan menyebutnya Indonesia (yang) Berkemajuan.
Sebelum lebih jauh mengulas (sejenis) keyakinan akan kemampuan Islam membawa Indonesia pada “masa depan” yang menjadi impian secara umum, sebagaimana disebutkan di atas, maka terlebih dahulu kita harus memahami relasi secara umum antara “agama” (dalam hal ini Islam) dan “negara” (dalam konteks tulisan ini adalah Indonesia).
Adalah Azyumardi Azra (2015) meneropong relasi agama (Islam) dan negara dalam masa modern-kontemporer. Azra menegaskan, “posisi dan hubungan antara Islam dan negara setidaknya terdiri dari tiga bentuk. Pertama, pemisahan antara agama dan politik yang bahkan disertai ideologi politik sekuler yang tidak bersahabat dengan agama (religiously unfriendly-secularism).
Kedua, pemisahan yang disertai ideologi yang bersahabat dengan agama (religiously friendly ideology) seperti Indonesia…..Ketiga. penyatuan agama dengan negara seperti Arab Saudi, yang dapat juga disebut sebagai teokrasi.
Dalam pandangan saya, agar Islam mampu menjamin masa depan Indonesia yang lebih baik, yang pertama harus dipahami secara filosofis, ditegaskan, dan dikontekstualisasikan adalah kesadaran akan tiga relasi agama dan negara perspektif Azra di atas. Setelah memahami ketiganya, maka memilih satu jenis relasi yang relevan sesuai dengan konstitusi yang dikonstruksi oleh para founding fathers dan pemahaman mendalam peta sosiologis Indonesia, yang identik dengan pluralitasnya, kebinekaan atau kemajemukannya sebagai realitas, keniscayaan, dan bahkan sebagai takdir ilahi, jika meminjam cara pandang Abdul Mu’ti.
Jadi kategori kedua relasi agama dan negara yang diungkapkan oleh Azra untuk konteks Indonesia di atas, bisa dipahami bersama bahwa itu sudah tepat. Dan bagi saya tidak boleh ada di antara anak bangsa, elit negara yang mencoba untuk berupaya melakukan dan memaksakan kategori pertama atau yang ketiga dalam perspektif Azra di atas. Mengapa saya menegaskan hal ini? Karena dalam pandangan saya, ini akan mampu menjaga persatuan terutama internal umat agama Islam, selain itu dengan sesama anak bangsa.
Dibalik penegasan ini pula, saya bermaksud dan penuh harapan—meskipun bukan sesuatu yang mudah apalagi relasi di atas dalam pandangan Azra sendiri merupakan isu perenial dan bakal terus berlanjut—melahirkan pula pemahaman dan kesadaran yang tepat antara relasi “Islam”, “Indonesia”, dan “demokrasi”.
Masih ditemukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, adanya anak bangsa yang masih menganggap “demokrasi”, “Pancasila”, bahkan “pemilu” sebagai produk yang harus ditolak bahkan ada pula yang sampai mengharamkannya. Padahal Pancasila ada titik temu, titik tumpu, dan titik tuju dari semua kebinekaan yang ada. Bahkan Pancasila, dipandang pula mengandung artikulasi ajaran dan nilai-nilai Islam.
Islam sebagai agama, harus selalu ditegaskan—sebagaimana pandangan Ahmad Norma Permata (2020)—bahwa “Sebagai sebuah nilai tidak pernah semata konseptual. Melainkan Agama selalu merupakan upaya untuk mengubah kondisi”. Dalam pandangan Norma Permata, inilah “mekanisme institusionalisasi” agama.
Dalam relasi “Islam” dan “masa depan Indonesia”, saya sepakat, sangat tepat jika kita harus bersepakat dengan pandangan Sosiolog Jerman Max Weber (dalam Normat Permata, 2020). Dari Weber saya mengintepretasi ulang bahwa agama (dalam konteks ini: Islam), bukan hanya bersifat hal gaib, magis, dan eskatologis, tetapi memiliki tujuan pokok meneguhkan dan menata kehidupan manusia di dunia ini. Terkait ini, saya yakin pembaca mampu menemukan preseden historisnya, bagaimana Islam telah mengubah masyarakat jahiliyah menjadi beradab.
Ketika Yudi Latif, menegaskan Pancasila dan nilai-nilainya sulit tumbuh subuh apabila warga negaranya lebih berorientasi “the love of power” (cinta kekuasaan) ketimbang “the power of love” (kekuatan cinta), maka kesadaran dan implementasi dari apa yang dipahami oleh Normat Permata dan Weber di atas bisa menjadi jawaban. Menghadirkan agama dalam upaya transformasi sikap menuju orientasi warga negara yang mengutamakan dan mengedepankan “the power of love”.
Padahal telah kita pahami bersama, bahwa Pancasila adalah konsensus bersama para founding fathers (tanpa kecuali perwakilan yang mengatasnamakan Islam pada saat itu), yang berfungsi sebagai “meja statis” dan “leitstar dinamis”. Selain itu sebagai dasar negara, ideologi bangsa dan negara, dan falsafah hidup bangsa, berdasarkan pemahaman dari Philosophische grondslag, dan Welstanschauung.
Islam sesungguhnya punya kemampuan untuk mencapai “the power of love”. Bahkan dalam pemahaman sederhana saya, berdasarkan interpretasi dari cara pandang Ary Ginanjar Agustian, dan hasil perenungan dari beberapa literatur, “the power of love” memiliki posisi strategis dalam ajaran Islam. Hal ini bisa disejajarkan dengan istilah “cinta kasih” atau “welas asih” (dalam pandangan Muhammadiyah).
Indonesia yang identik dengan pluralitas, dan bahkan sebagai keniscayaan memerlukan spirit “the power of love”, “cinta kasih”, atau “welas asih”. Tujuannya hal ini mampu memperkuat terwujudnya sila ketiga Pancasila “Persatuan Indonesia”, dan sila lelima “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Termasuk tiga sila yang lainnya.
Sebagai dikutip oleh Zakiyuddin Baidhawy & Azaki Khoiruddin (2017) dari dr. Soetomo (Pendiri Budi Utomo), “Etos welas kasih merupakan kritik atas Darwinisme sebagai paradigma pemikiran Barat modern yang meletakkan seleksi alam atas kekuatan individual. Darwinisme tidak memberikan kekuatan kaum lemah untuk menjadi berkemajuan”.
Masa depan Indonesia akan cerah atau berkemajuan, jika mengedepakan sikap welas kasih (welas asih) perspektif dr. Soetomo, untuk melawan perspektif Darwinisme, yang terkesan semakin menggerogoti bangsa kita (baca: Indonesia) yang kaya akan sumber daya alam, dan sumber daya manusia (meskipun masih lebih dominan secara kuantitatif).
Relevan dengan hal di atas, Yudi Latif (2020) pun menegaskan “Di bawah terang cahaya kasih, manusia saling berinteraksi di bawah tuntunan “kaidah emas” (golden rule). …dalam kalimat negatif kaidah emas itu menggariskan: ‘Janganlah berbuat sesuatu kepada orang lain yang engkau sendiri tak ingin diperlakukan seperti itu’. Dan dalam kalimat positif: Cintailah sesamamu seperti negkau mencintai dirimu sendiri”.
Melalui Islam dalam cara pandang yang terbuka dan mengutamakan dialog, Indonesia mampu melahirkan kehidupan dengan anak bangsa dan elit negara yang menjadi makhluk sosial dengan kecenderungan lebah (yang bersifat groupish), bukan menjadi makhluk individu dengan kecenderungan simpanse (yang bersifat selfish). Hal ini mengutip pandangan Yudi Latif.
Selain hal di atas, Islam yang mampu menjamin masa depan Indonesia, adalah yang umatnya mengedepankan pemahaman agamanya dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Islam yang mampu dikontekstualisasikan dalam perubahan dan kemajuan zaman. Pada dasarnya Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Hal ini relevan dengan pandangan Islam Fungsional, Islam yang secar fungsional mampu memberikan solusi atas setiap problematikan kehidupan, perubahan dan perkembangan zaman.
Sebenarnya dalam kehidupan ini, selama kita tidak tertutup untuk mengakui pemikiran dan aktivsime yang lain, Muhammadiyah telah memberikan teladan yang baik, bagaimana menghadirkan Islam secara fungsional. Bagaimana KH. Ahmad Dahlan memiliki pemahaman yang progresif dan kontekstual atas sejumlah ayat Al-Qur’an untuk menjadi etos pergerakannnya.
Bagi saya, untuk konteks Indonesia, di tengah kemajuan peradaban digital, dan relasinya dengan bagaimana Islam mampu menjamin “masa depan Indonesia” dibutuhkan pemikir, cendekiawan atau pun ulama yang disebut oleh Abdullah Saeed (dalam M. Amin Abdullah) sebagai The Progressive Ijtihadists.
Sebagaimana dikutip oleh Amin Abdullah (2015), menurut Abdullah Saeed, ada enam kelompok pemikir Muslim era kontemporer, yang corak basis ontologi, epistemologi dan aksiologinya berbeda antara satu dan lainnya. Pertama, The Legalist-tradisionalist, yaitu corak keberagamaan Islam yang berpedoman pada hukum-hukum, cara berpikir sosial-keagamaan yang ditafsirkan dan dikembangkan oleh para ulama periode pra-modern.
Kedua, The Theological Puritans, yang fokus pemikirannya adalah pada dimensi etika dan doktrin Islam. Ketiga, The Political Islamist, yang pemikirannya lebih cenderung pada aspek politik Islam dengan tujuan akhir mendirikan negara Islam. Keempat, The Islamist Extremists, yang memiliki kecenderungan menggunakan kekerasan untuk melawan setiap individu dan kelompok yang dianggapnya sebagai lawan, baik Muslim ataupun non-Muslim, Kelima, The Secular Muslims, yang beranggapan bahwa agama merupakan urusan pribadi (private matter)
Yang keenam, yang dalam pandangan saya ini penting untuk konteks Indonesia dan di tengah kehidupan yang terus berubah dan semakin maju adalah, The Progressive Ijtihadists, yaitu para pemikir modern atas agama yang berupaya menafsir ulang ajaran agama agar dapat menjawab kebutuhan masyarakat modern.
Pemikir muslim yang kategori keenam, The Progressive Ijtihadists, yang mampu yang mampu menerjemahkan dan mengimplementasikan normativitas agama dalam dimensi historisitas. Jika ada yang pernah membaca etos Al-Ma’un, dan Al-Ashr, dalam pandangan saya relevan dengan apa yang dimaknai sebagai The Progressive Ijtihadists. Saya yakin, tidak keliru pula jika KHA. Dahlan dikategorisikan sebagai pemikir muslim dalam kelompok yang keenam ini.
Bagaimana QS. Al-Ma’un, Al-Ashr, Al-Imran ayat 104, dan 110 diterjemahkan secara progresif sehingga apa yang menjadi kebutuhan masyarakat modern, bahkan mampu membawa umat Islam Indonesia ke dalam gerbang “kemodernan” tidak lain adalah implementasi historisitas dari dimensi normativitas ayat-ayat tersebut.
Umat Islam Indonesia, agar mampu membawa Indonesia semakin berkemajuan harus memiliki kemampuan serupa yang telah dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan dalam memahami agama dan berorientasi pada perubahan kehidupan. Termasuk Indonesia sebagai Negara Pancasila, harus mampu mmeiliki cara pandang yang serupa dengan Muhammadiyah bahwa Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah. Bukan justru sebaliknya berupaya menggerogoti Pancasila dengan alasan tidak sesuai dengan Islam.
Yang terakhir yang harus pula kita pahami bersama dan relevan dengan apa yang menjadi substansi dan harapan dari judul tulisan ini adalah teori radiasi budaya Arnold Toynbee (sebagaimana pernah diulas cukup detail oleh Yudi Latif melalui salah satu channel youtube). Toynbee menegaskan bahwa peradaban yang bisa bertahan adalah peradaban yang dijantungnya (lapisan pertama atau terdalam) masih tersimpan visi dan nilai spiritualitas. Dan peradaban yang bisa berpengaruh bagi peradaban lain adalah yang unggul pada lapisan terluarnya (lampisan keempat) yaitu ilmu pengetahuan dan teknologi sains. Untuk diketahui lapisan kedua adalah etika, dan lapisan ketiga adalah estetika.
Untuk kepentingan bertahan, Indonesia sebagai peradaban agar bisa bertahan, Islam dan Pancasila (termasuk nilai-nilai agama lain) sudah cukup. Tetapi agar bisa berpengaruh bagi peradaban lain, tentunya Islam (tepatnya umat Islam Indonesia) harus terbuka terhadap perubahan dan kemajuan yang ada, dan mengambil peran penting di dalam pengembangan dan penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi sains. Dan untuk kepentingan terakhir ini, harus hadir kelompok muslim yang sebagaimana perspektif Abdullah Saeed, The Progressive Ijtihadists.
Tulisan ini, hanya sepercik gagasan dari keyakinan saya, bahwa sesungguhnya Islam mampu membawa Indonesia dalam kehidupan yang lebih maju. Dan saya setuju dengan Yudi Latif dalam memahami pandangan Toynbee, bahwa tidak perlu menjadikan Indonesia sebagai negara Islam agar bisa berpengaruhi bagi bangsa-bangsa lain, tetapi cukup bagaimana umat Islam Indonesia, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sains.
* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023