KHITTAH.co, Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah sangat dikenal sebagai “man of action” mungkin terjemahan bebasnya, manusia amal. Idiom yang dikenal luas bahkan menjadi spirit kader Muhammadiyah adalah “sedikit bicara, banyak bekerja”.
Man of action maupun idiom “sedikit bicara, banyak bekerja” jika dilekatkan pada Kyai Dahlan, pimpinan dan kader-kader Muhammadiyah sebagai identitas, bukanlah hal keliru. Ini menemukan ruang dan obyek konfirmatifnya dari perkembangan pesat amal usaha Muhammadiyah. Amal usaha yang dimilikinya, sehingga Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi masyarakat (keagamaan) terkaya di dunia.
Husni Muadz (penulis buku trilogi yang substansi teorinya mengaksentuasikan pada teori sistem) membagi practical knowledge (pengetahuan kehidupan) menjadi dua dimensi: teoritis dan praksis. Bagi M. Husni berdasarkan risetnya—dan yang saya pahami—khawatir dan menemukan kelemahan manusia pada dimensi praksis.
Apa yang dikhawatirkan dan ditemukan sebagai kelemahan oleh M. Husni (2017) dalam practical knowledge “minimnya dimensi praksis”, justru berdasarkan penilaian saya dalam tubuh Muhammadiyah menjadi salah satu identitas kuat yang memberikan implikasi dan kontribusi besar dalam kemajuan kehidupan sosial. Bahkan apa yang ditemukan oleh M. Husni bahwa dimensi praksis tersebut, jika pun ada, itu bersifat individual, justru di Muhammadiyah, itu pun bersifat kolektif.
Puluhan ribu lembaga pendidikan dari tingkatan sekolah dasar sampai tingkat menengah, ribuan masjid, ratusan panti asuhan, rumah sakit dan klinik, serta 176 Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) adalah merupakan wujud nyata dimensi praksis dari practical knowledge yang dilakukan secara kolektif atau berjamaah. Semuanya terbangun dari kumpulan recehan dari dompet pimpinan dan kader-kadernya. Dan ini adalah warisan nyata DNA Kyai Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah.
Jika M. Husni sebagaimana dalam buku ketiga dari buku triloginya, “Sekolah Perjumpaan: Normalisasi Menuju Relasi Sosial yang Terbuka, Toleran Saling Berterima pada Masyarakat yang Hoterogen” menemukan dan membuat “tesis” bahwa: Pertama, “dalam realita, perhatian lebih banyak diberikan pada dimensi kognitif dari practical knowledge”. kognitif di sini disamakan dengan dimensi teoritis.
Kedua, “pembelajaran atau praktek dimensi ini, agaknya, belum terancang secara sungguh-sungguh dan bahkan diserahkan menjadi tanggung jawab individu masing-masing, bukannya terstruktur dan terinstitusi seperti pada pembelajaran dimensi kognitif”. Tesis kedua dari M. Husni ini, tentunya harus memberikan pengecualian terhadap apa yang ada dalam tubuh persyarikatan Muhammadiyah, karena justru yang kedua ini sangat kuat dirancang dan termanifestasi secara kolektif, terstruktur dan terinstitusi.
Perhatian secara tersturktur dan bahkan terinstitusi terhadap dimensi praksis dari practical knowledge sangat kuat dalam tubuh Muhammadiyah. Teologi Al-Ma’un yang menjadi etos pelembagaan amal usahanya, menempatkan kepedulian (kesalehan) sosial, sebagai sesuatu yang dipandang berdimensi praksis itu, menjadi ukuran atau barometer atas kesalehan individual (ibadah vertikal).
Meskipun demikian, saya secara pribadi sebagai sosok yang lahir dari rahim ideologis Muhammadiyah, telah lama bergumul dan bergelut dalam dinamika pemikiran dan aktivisme ortom (organisasi otonom)-nya, tergerak untuk memberikan “interupsi”. Interupsi salah satu istilah dari metode persidangan untuk “menyela pembicaraan dan memberikan pandangan”, materi perkaderan awal dan pertama yang kami peroleh 20 tahun yang lalu, menjelang detik-detik kelahiran kami dari rahim ideologisnya, tepatnya di Ikatan Remaja Muhammadiya (IRM).
Interupsi saya, ingin menegaskan bahwa Kyai Dahlan itu, bukan hanya man of action. Jika kita membaca buku karya Ahmad Nur Fuad “Dari Reformis hingga Transformatif: Dialektika Intelektual Keagamaan Muhammadiyah” (2015). Buku ini berasal dari disertasinya, “Kontinuitas dan Diskontinuitas Pemikiran Keagamaan Muhammadiyah (1923-2008): Tinjauan Sejarah Intelektual”. Dari buku ini—salah satunya—saya mendapatkan landasan filosofis bahwa betul Kyai Dahlan bukan hanya man of action.
Sebelum saya lebih jauh mengulas tentang tesis bahwa Kyai Dahlan bukan hanya man of action, terlebih dahulu ingin menjelaskan alasan yang mendasari kenapa memberikan interupsi. Pertama,—mungkin saja ini bersifat subjektivitas—saya menemukan fenomena orientasi berlebihan dan sedikit kekeliruan terhadap makna man of action dan “sedikit bicara, banyak bekerja”. Kedua, saya pernah mendapatkan kesimpulan bahwa “bercakap-cakap” di forum majelis ilmu tidak terlalu penting, yang paling utama di Muhammadiyah adalah amal.
Ketiga, saya menemukan—sependek radius pengamatan saya— masih banyak kader Muhammadiyah kurang bergairah untuk serius menekuni kajian-kajian komprehensif disiplin ilmu tertentu, apatah lagi multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin. Keempat, masih sangat minim gairah literasi, meskipun saya tidak sedang bermaksud menggeneralisir untuk Muhammadiyah skala nasional, tetapi lebih pada skala regional dan terutama lokal.
Kelima, alasan pertama sampai keempat lahir karena ada yang menjadikan man of action dan idiom “sedikit bicara, banyak bekerja” sebagai alasan, bahwa kader Muhammadiyah yang utama adalah aksi dan amal. Keenam, saya menemukan segelintir kader—mungkin tanpa dia sadari—justru terjebak pada pandangan yang kontradiktif daripada ideologi Muhammadiyah atau sikap dan perilakunya kurang atau tidak mencerminkan paradigma Islam Berkemajuan.
Dan ketujuh. konteks kehidupan hari ini, era digital dan/atau virtual, porsi hidup terutama oleh generasi millenial lebih banyak menghabiskan waktunya melalui media sosial baru (facebook dan sejenisnya). Dan di sini, ternyata lebih banyak memproduksi dan mereproduksi narasi, diksi dan berita hoax dan bahkan terakhir riset Microsoft menempatkan Indonesia pada posisi “netizen paling tidak sopan di media sosial”.
Terkait alasan ketujuh ini, Muhammadiyah melalui rumusan resmi Muktamar ke-47 di Makassar, merumuskan apa yang disebutnya dengan dakwah komunitas yang salah satu segmennya adalah “dunia virtual”, dakwah melalui dunia virtual. Muhammadiyah memiliki tanggung jawab moril, konstitusional dan institusional terhadap akhlak dan moralitas netizen tetapi masih kurang maksimal, bahkan masih ada atau mungkin banyak yang kurang peduli dan tidak memikirkan hal tersebut.
Minimal tujuh alasan di atas, yang membuat saya untuk memberikan interupsi melalui tulisan yang mengandung perspektif sederhana ini. Kyai Dahlan pada dasarnya telah tuntas, telah matang bahkan telah selesai dalam dimensi teoritis, kognitif, konseptual, pandangan dunia, paradigma sebelum dirinya fokus dan akhirnya disematkan padanya sebagai man of action.
Ideologi, pemikiran dan pandangan keagamaan Muhammadiyah khususnya tentang “Islam Berkemajuan” secara geneologis merupakan pemikiran Kyai Dahlan. Meskipun Kyai Dahlan tidak terlalu produktif dalam tulis menulis, tidak meninggalkan warisan tekstual dari tangannya sendiri yang memuat pemikiran keagamaannya, tetapi pemikirannya banyak ditulis oleh murid-muridnya di antaranya H.M. Soedja dan K.R.H. Hadjid.
Dari berbagai referensi yang ditemukan oleh Ahmad Nur Fuad (2015), Kyai Dahlan sebelum ke Mekkah (1890) dirinya banyak mempelajari pengetahuan keagamaan, seperti tafsir dan bahasa Arab. Setelah tahun 1890, Kyai Dahlan (1903) kembali mengunjungi Makkah mendalami ilmu pengetahuan agama seperti ilmu fiqh di bawah bimbingan K. Mahfuz Termas, K. Muhtaram Banyumas, Shaykh Saleh Bafadal dan Shaykh Sa’id Jamani.
Belajar ilmu falak di bawah K. Ash’ari Bawean, ilmu qira’ah dengan Shaykh Ali al-Misri. Belajar Tasawuf dengan mempelajari pemikiran al-Ghazali. Dan bahkan Kyai Dahlan mengakses pemikiran modernis Timur Tengah dan akhirnya mendapatkan inspirasi dari kandungan intelektual dalam literatur yang dibacanya. Di antaranya adalah karya Muhammad Abduh, Muhammad Rashid Rida, Jamal al-Din al-Afghani, Muhammad Farid Wajdi. Dan masih banyak lagi, yang saya merasa tidak cukup ruang di sini untuk menuliskan semuanya.
Ahmad Nur Fuad bahkan menegaskan, dari daftar literatur yang telah diakses itu tampak geneologi intelektual keagamaan Kyai Dahlan dapat dilacak sampai ke para pemikir yang dikataegorikan oleh Fazlur Rahman sebagai modernis awal. Minimal hal di atas telah memantik kesadaran kita, bahwa betul Kyai Dahlan bukan hanya man of action.
Ketika Quraish Shihab (2013) memberikan penafsiran progresif dari wahyu pertama tentang pengulangan perintah membaca yang pada substansinya dipahami bahwa makna pengulangan bukan hanya menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya dilakukan sampai mencapai batas maksimal kemampuan. Ini juga untuk mengisyaratkan bahwa mengulang-ulang bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca itu-itu saja.
Jauh sebelum Quraish Shihab lahir tahun 1944 dan memahami serta merumuskan penafsiran progresif yang mengandung pesan signifikan tentang pengulangan perintah membaca tersebut, Kyai Dahlan telah mempraktekkan hal tersebut. Kyai Dahlan kepada muridnya mengajarkan surat Al-Ma’un selama 3 bulan dan surat Al-Ashr selama 7 atau 8 bulan.
Akhirnya muridnya bosan dan sempat ada yang protes. Lalu apa yang terjadi, kedua hal tersebut menimbulkan efek psikologis, sosial, dan berbagai dimensi kehidupan lainnya yang sangat dahsyat karena mampu menemukan makna progresif dari bacaan yang diulang-ulang itu.
Jika Kyai Dahlan, hanya man of action dan “banyak bekerja” yang dimaknai secara sempit, kaku dan keliru hari ini, maka bisa dipastikan Muhammadiyah tidak akan pernah besar dan mampu bertahan untuk tetap eksis di abad keduanya ini. Jadi Muhammadiyah dan kader-kadernya harus mampu menyeimbangkan bahkan harus terlebih dahulu mengedepankan dan memperhatikan dimensi teoritik, kognitif, keilmuan, paradigma, ideologi dan teologis atau tuntas secara konseptual sebelum memfokuskan diri untuk “banyak bekerja” agar bisa juga menjadi man of action.
Berangkat dari frasa “banyak bekerja” saja, itu sudah harus menguatkan pentingnya pemahaman atau ilmu di dalamnya. Karena kerja dan secara hierarkis itu ada tiga: kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas. Jika spirit man of action dipahami secara kaku, maka yang terjadi hanya kerja keras. Kerja cerdas dan kerja ikhlas hanya mampu diwujudkan jika kita tuntas secara konseptual, filosofis, ideologis dan teologis.
Prof. Hilman Latief pernah menegaskan: Pertama, Gagasanlah yang menjadi realitas yang sebenarnya bila ita menggunakan cara berpikir yang bersifat ‘neo-platonistik’; Kedua, sebuah organisasi hanya dapat menjadi besar bila diiringi oleh etos dan dijiwai oleh gagasan yang besar. Saya tambahkan adalah gagasan yang berkemajuan, cara pandang dan pemahaman yang progresif, seperti Kyai Dahlan menafsirkan Al-Ma’un dan Al-Ashr sebagai etos pelembagaan amal usaha dan pemikirannya.
Ketiga, Tidak sedikit amal usaha Muhammadiyah maupun lembaga-lembaga milik organisasi lain yang mengalami kemandekan dan bahkan kemunduran, karena etos dan gagasan para penggeraknya sudah ‘habis’ dan tenggelam dalam rutinitas praktis dan taktis namun kadang tidak substantif. Bagi saya pencapaian pada dimensi substantif bisa dipahami jika matang secara teoritik
Dan keempat, dari Prof. Hilman, ketidak mampuan merevitalisasi etos kerja dan melakukan pencarian gagasan baru, serta inovasi untuk mengimbangi perkembangan zaman, menjadi penyebab utama sebuah kemunduran organsiasi, apa pun latar belakang ideologinya.
Yang keempat dari Prof. Hilman ini, saya menyadari bahwa intinya adalah pemahaman, ilmu pengetahuan, pandangan yang matang pada dimensi yang dinilai teoritis, kognitif dan konseptual tersebut. Jika kita menyadari dan meminjam cara pandang dari luar—saya mendapatkan inspirasi pemahaman dari Prof. Zakiyuddin & Azaki—kemenangan kapitalisme liberal sebagaimana yang menjadi tesis Francis Fukuyama, disemangati oleh etos dan etika protestan.
Max Weber menyebut tiga hal: aspek psikologis, laku asketisme dan calling/panggilan/beruf dalam etos kaum puritan Protestan yang mendorong lahirnyaa kapitalisme. Kita pasti menyadari ini bukan dimensi praksis tetapi masuk kategoris dimensi teoritis, konseptual, pemahaman atau ilmu pengetahuan. Meskipun selanjutnya bermuara pula pada dimensi praksis, sehingga kapitalisme mencapai kejayaannya.
Prof. Ahmad Najib Burhani, “…bila kita selalu terjebak pada tataran praktis dan tidak mau berada pada tataran diskursi atau wacana, maka alih-alih kita bisa menciptakan dunia yang semarak, alam yang indah, manusia yang penuh inovasi dan kreasi, justru sebaliknya kita terjebak pada paham pembangunanisme, yang mengukur segala hal dengan materi”.
Dari semua ini, saya merasa “terpanggil” untuk memberikan interupsi, meskipun tulisan ini fokus dalam tubuh Muhammadiyah, namun saya yakin kader organisasi lain pun atau anak bangsa (Indonesia) perlu menyadari jangan sampai juga terjebak pada “man of action” dan “banyak bekerja”. Kita harus menyeimbangkan dua dimensi dari practical knowledge: teoritis dan praksis. Namun terlebih dahulu harus matang secara teoritis atau konseptual.
Agusliadi Massere
Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Banteang Periode 2018-2023