Oleh: Ramlianto (Ketua Korkom IMM Unismuh)
KHITTAH. CO – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) telah memasuki usia ke-61, menandai lebih dari enam dekade perjalanan panjang dalam membangun gerakan intelektual, keislaman, dan kemasyarakatan. Sebagai organisasi kader, IMM memiliki tanggung jawab besar dalam mencetak mahasiswa yang tidak hanya kritis dan progresif, tetapi juga memiliki kedalaman ilmu, komitmen terhadap organisasi, dan keteguhan dalam menjalankan ibadah.
Dalam era digital yang serba instan, IMM harus kembali mengukuhkan peran kadernya sebagai insan akademis yang berlandaskan pada tradisi keilmuan yang kuat. Sebab, sejatinya gerakan perubahan tidak lahir dari sekadar aktivisme pragmatis, melainkan dari pemikiran yang kokoh dan berbasis pada literasi yang mendalam. Membaca buku adalah langkah awal bagi setiap kader IMM untuk menjadi intelektual yang berdaya saing dan berkontribusi bagi umat dan bangsa.
Membaca Buku: Fondasi Seorang Kader IMM
Sejarah membuktikan bahwa perubahan besar dalam peradaban selalu diawali oleh mereka yang mencintai ilmu. Rasulullah SAW menerima wahyu pertama dengan perintah iqra (Bacalah!), yang menjadi penegasan bahwa membaca adalah gerbang utama menuju kebangkitan. Begitu pula dengan IMM, kader-kadernya harus menjadikan membaca sebagai habitus intelektual yang melekat dalam keseharian.
Seorang kader IMM yang tidak membaca akan kehilangan arah dalam berpikir dan bertindak. Tanpa literasi yang baik, aktivisme hanya akan menjadi euforia sesaat yang miskin gagasan. Buku adalah jendela ilmu yang membuka wawasan, melatih berpikir kritis, serta memperkaya sudut pandang dalam memahami realitas sosial, politik, ekonomi, dan keislaman. Dengan membaca, seorang kader IMM mampu menyusun argumentasi yang tajam, mengambil keputusan yang bijak, serta menghadirkan solusi atas problematika yang dihadapi umat.
Maka, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa kader IMM yang tidak membaca, sejatinya sedang mengkhianati spirit intelektual yang menjadi ruh organisasi ini. IMM membutuhkan kader yang tidak hanya aktif berbicara, tetapi juga memiliki dasar keilmuan yang kuat dalam setiap gagasan yang disampaikan.
IMM juga bukan sekadar organisasi kemahasiswaan biasa. Ia adalah gerakan yang memiliki sistem perkaderan yang kokoh dan terstruktur. Oleh karena itu, kader IMM harus memahami pentingnya tertib organisasi sebagai bagian dari disiplin gerakan. Berorganisasi di IMM bukan sekadar aktivitas seremonial atau sekadar mencari eksistensi, tetapi sebuah bentuk pengabdian yang harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.
Kader IMM yang memahami literasi dengan baik akan lebih bijak dalam menjalankan roda organisasi. Mereka tidak akan terjebak dalam pragmatisme politik kampus yang dangkal, tetapi justru mampu membangun IMM sebagai rumah intelektual yang melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan.
IMM lahir dalam rahim perguruan tinggi, yang berarti intelektualitas adalah ruh yang tidak boleh ditinggalkan. Maka, tertib studi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari identitas seorang kader IMM. Tidak cukup hanya aktif dalam organisasi, kader IMM harus menjadi teladan dalam dunia akademik, baik dalam prestasi maupun dalam kontribusi ilmiah.
Membaca buku harus menjadi budaya yang melekat bagi setiap kader, bukan hanya sebagai sarana memperkaya diri, tetapi juga sebagai modal dalam menyusun karya ilmiah, esai, jurnal, atau bahkan buku yang dapat menjadi warisan intelektual bagi generasi mendatang. Kader IMM yang unggul dalam studi akan memiliki legitimasi yang lebih kuat dalam memperjuangkan aspirasi umat dan bangsa.
Sebagai organisasi Islam, IMM tidak hanya berorientasi pada kecerdasan intelektual dan ketajaman berpikir, tetapi juga pada keteguhan spiritual. Tertib ibadah adalah elemen yang harus dijaga oleh setiap kader, karena hanya dengan menjaga hubungan dengan Allah, seorang kader IMM dapat menjalankan perjuangannya dengan penuh keberkahan.
Membaca buku dan memperdalam ilmu harus sejalan dengan peningkatan kualitas ibadah. Islam tidak mengenal dikotomi antara ilmu dan amal; justru keduanya harus berjalan beriringan. Seorang kader IMM yang rajin membaca tetapi lalai dalam ibadah, sejatinya telah kehilangan esensi perjuangan IMM itu sendiri. Begitu pula sebaliknya, beribadah tanpa memperdalam ilmu akan melahirkan pemahaman yang sempit dan rentan terhadap fanatisme buta.
Milad ke-61: Momentum Refleksi dan Gerakan Literasi Kader IMM
Momentum Milad ke-61 ini harus menjadi ajang refleksi bagi seluruh kader IMM. Sudahkah kita menjadi kader yang mencintai ilmu? Sudahkah kita menjadikan membaca sebagai kebiasaan? Ataukah kita justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak produktif?
IMM membutuhkan kader-kader yang serius dalam membaca dan mendalami ilmu, karena hanya dengan ilmu, perjuangan akan memiliki arah yang jelas. Mari kita jadikan Milad ke-61 ini sebagai titik balik untuk meneguhkan IMM sebagai gerakan yang berbasis pada literasi, keorganisasian yang tertib, studi yang serius, dan ibadah yang istiqamah.
Selamat Milad ke-61 IMM! Mari kita lanjutkan perjuangan dengan membaca, berpikir, dan bergerak! Karena hanya kader IMM yang berilmu dan bertakwa yang mampu membawa perubahan bagi umat dan bangsa. Fastabiqul Khairat!