Oleh: Fahrul Dason (Ketua PW IPM Sulsel, Bidang PIP)
KHITTAH. CO – Farid Gaban, seorang jurnalis dan ekspeditor Ekspedisi Indonesia Baru, dalam wawancaranya telah memberi kita refleksi kritis terhadap reformasi: “Sebagai bangsa, kita sebenarnya telah menyia-nyiakan momentum besar awal reformasi untuk memperbaiki berbagai hal.” Kalimat ini bukan sekadar kritik, melainkan tamparan bagi kita yang hidup dalam bayang-bayang harapan yang tak kunjung terwujud.
Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak Reformasi 1998. Tetapi, bayangan tentang Indonesia Raya, sebagaimana dibayangkan para pendiri bangsa—masih terasa asing dalam kehidupan sehari-hari rakyat. Mulai dari periode Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, hingga Proklamasi 1945—semuanya mengusung cita-cita luhur tentang keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan.
Cita-cita inilah yang seharusnya menjadi kompas arah kita saat ini setelah Orde Baru runtuh 1998. Namun kenyataannya, cita itu lebih sering hidup sebagai slogan ketimbang menjadi kenyataan.
Kita terlalu meromantisasi euforia Reformasi 1998 sebagai kemenangan rakyat atas kediktatoran. Sayangnya, pasca reformasi aktor-aktor yang terlibat masih bertahan dan bahkan menguat dalam kancah perpolitikan Indonesia.
Misal saja, kita membayangkan telah menang dan berhasil menjatuhkan rezim Orde Baru tahun 1998: kita mengira demokrasi telah tercapai hanya karena ada pemilu dan pergantian presiden. Padahal, kita hanya berpura-pura percaya bahwa perubahan telah terjadi, agar kita tidak perlu menghadapi kenyataan bahwa struktur lama masih bercokol di tempat yang sama.
Fenomena ini disebut sebagai fantasi ideologi, yang dipopulerkan oleh seorang filsuf kontemporer bernama Slavoj Zizek dari Slovenia, bahwa: kita sering terjebak dalam kontradiksi—kita hidup dalam ilusi perubahan, padahal sistemnya belum sungguh-sungguh berubah demi menghindari kenyataan pahit.
Bayangkan saja praktik-praktik korupsi tetap menjalar, kolusi kian mapan, nepotisme makin menjadi-jadi, dan hukum masih berpihak pada kekuasaan. Sedangkan itulah tuntutan Reformasi 1998.Tidak hanya itu, kita mengkritik kekuasaan, tapi dalam waktu bersamaan membiarkan wajah-wajah lama tampil dalam panggung yang baru.
Mei: Memori dan Perlawanan
Setiap bulan Mei, kita kembali mengingat Hari Buruh dan Reformasi 1998—dua peristiwa yang menjadi simbol letupan kemarahan rakyat dan harapan atas perubahan. Ia menjadi momentum pengingat kita tentang nasib sebuah bangsa.
Di bulan yang sama, rakyat turun ke jalan untuk mengingat perjuangan, dan luka sejarah: memperingati Hari Buruh, Kerusuhan Mei 1998, dan Tragedi Trisakti yang juga menjadi pemicu lengsernya Soeharto. Tapi, dua dekade lebih berselang, muncul pertanyaan: Ke Mana Republik? Benarkah kita (Indonesia) telah keluar dari otoritarianisme?
Nyatanya, Indonesia dengan mengatasnamakan republik demokratis justru bergerak menuju otoritarianisme kompetitif. Dalam esainya Negara sebagai Senjata Politik, Sukidi pemikir kebhinekaan itu (Kompas, 22 Mei 2025) mengutip Steven Levitsky dan Lucan A Way yang menerangkan gejala penyalahgunaan negara sebagai senjata politik bagi pemerintahan otoriter yang kompetitif.
Di mana negara seperti Amerika dan Indonesia melalui trias politica: Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, disalahgunakan menjadi senjata politik. Eksekutif memainkan peran untuk melakukan politisasi demi kesenangan dan kepentingan pribadi, sekaligus memobilisasi kekuatan politik melalui berbagai kebijakan populisnya.
Lain sisi, legislatif bertugas mengamankan koalisi besar agar membungkam kebebasan wakil rakyat untuk berbicara kritis di parlemen. Dan, mayoritas memilih untuk tunduk pada kehendak penguasa yang secara ketat mengontrol kebebasan berbicara.
Sedangkan yudikatif, melalui institusi hukum bertugas untuk tujuan anti demokrasi—seperti melindungi sekutu politik, mengadili para kompetitor, dan menyandera mereka yang berada di dalam maupun di luar kekuasaan.
Melalui ini setidaknya Sukidi dengan berbagai literaturnya telah memberi kita gambaran bagaimana Indonesia sebetulnya telah menuju otoritarianisme kompetitif. Semua lembaga negara dijadikan sebagai senjata yang perlahan-lahan membunuh demokrasi.
Apa yang ditakutkan tentu sejarah yang terulang kembali seperti rezim Orde Baru. Alih-alih berwajah demokratis secara prosedural, tapi praktek politik dan pengambilan keputusan tidak lagi melihat partisipasi rakyat. Ini justru akan membunuh karakter bangsa yang sejak awal dibayangkan berbasis dialog demokratis.
Maka, sama halnya yang Farid Gaban sebut, bahwa Indonesia menjadi rusak seperti sekarang ini bukan karena kita terlalu demokratis. Sebaliknya, kita menjadi buruk seperti sekarang karena kurang demokratis.
Sadarlah kaum muda, tunggu apa lagi ingat pesan Pramoedya Ananta Toer: “Kita baru setengah merdeka. Kita baru setengah manusia.” Pesan ini tanda bahwa tugas nasional kita bukan sekadar mengenang reformasi, melainkan membangkitkan kembali demokrasi, menolak kompromi dengan ketidakadilan, dan berani menggugat kenyataan yang terlalu lama kita anggap sebagai takdir.