Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Kegagalan Lembaga Pendidikan Membangun Akhlak

×

Kegagalan Lembaga Pendidikan Membangun Akhlak

Share this article

Oleh : Prof Imam Suprayogo

Pada suatu saat di hadapan para mahasiswa pascasarjana, saya melemparkan pandangan bahwa lembaga pendidikan sebenarnya telah gagal di dalam membangun akhlak, karakter, dan atau budi pekerti. Akhlak yang saya maksudkan adalah perilaku yang timbul dari dalam diri manusia secara spontan, dan bukan atas dasar peraturan, adanya hadiah, atau peran seseorang sebagai pejabat atau menduduki posisi tertentu di tengah masyarakat.

Saya menunjukkan hasil pengamatan sederhana, bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang, ternyata bukan semakin tinggi akhlak atau karakternya, tetapi sebaliknya justru semakin rendah. Banyak penyimpangan moral yang dilakukan oleh seseorang yang berpendidikan semakin tinggi. Saya mengajukan indikator sebagai orang yang berakhlak atau berkarakter, misalnya kejujuran. Selanjutnya, saya menanyakan kepada para mahasiswa tersebut, siapa sebenarnya orang yang paling jujur ketika dilihat dari jenjang pendidikannya.

Pertanyaan sederhana tersebut dijawab, bahwa ternyata mereka yang paling jujur adalah justru lulusan PAUD. Anehnya lagi bahwa, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang ternyata semakin berani melakukan perbuatan tidak jujur. Maka, tidak ada jaminan, seseorang yang berpendidikan puncak, yaitu lulus S3 atau Doktor, pasti mampu berbuat jujur.  Melihat kesan selintas itu, lembaga pendidikan masih gagal di dalam membangun akhlak, karakter atau budi pekerti.  Sekalipun semua orang berharap, lembaga pendidikan berhasil membangun karakter dan akhlak mulia,  hal itu sebenarnya telah dilakukannya, akan tetapi hasilnya belum  terlalu kelihatan.

Masih merupakan bagian dari  karakter dan akhlak mulia, indikator lainnya  tampak di dalam membangun kesetiakawanan. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin menjauhkan dari komunitasnya. Orang yang berpendidikan semakin tinggi juga  semakin selektif di dalam memasuki komunitas masyarakat pada umumnya. Mereka mencari kelompok tertentu yang dipandang setara. Bahkan hal demikian itu juga dalam memberikan bantuan kepada orang lain. Sekedar memberi bantuan pun juga bersifat selektif dan kalkulatif, yakni memilih yang mendatangkan keuntungan, prestise, atau nama baik bagi dirinya. Membantu orang yang tidak mendatangkan keuntungan bagi dirinya, dan apalagi dirasa mengganggu nama baiknya,  tidak dilakukan.

Padahal pendidikan seharusnya menghasilkan orang yang semakin dekat dengan siapapun tanpa melihat latar belakangnya. Orang yang terdidik oleh lembaga pendidikan seharusnya mampu berkomuniasi dan bahkan sanggup memberi manfaat dari apa yang ada padanya. Namun pada kenyataannya, seseorang yang berpendidikan semakin tinggi justru cenderung semakin menjauh dari masyarakatnya. Sebagai contoh sederhana, orang yang berpendidikan tinggi tidak selalu akrab dan bersedia bekerja bersama-sama dengan masyarakat lingkungannya.  Sebaliknya, semakin rendah pendidikan seseorang semakin dekat dengan sesama. Padahal kedekatan dan keakraban itu seharusnya dihasilkan dari lembaga pendidikan.

Masih banyak contoh lain yang tampak serupa sebagai indikator seseorang disebut berkarakter  atau berakhlaq mulia. Bahkan, pendidikan seseorang semakin tinggi juga menjadikan semakin boros dan  juga bakhil. Apalagi, terkait dengan rasa syukur, kesabaran, keikhlasan, dan seterusnya akan semakin berkurang. Memang, orang yang berpendidikan  semakin tinggi, ilmunya semakin luas, dan yang bersangkutan  memiliki kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang diperlukan oleh orang banyak. Akan tetapi, setinggi apapun ilmu yang dimiliki, tanpa dibarengi dengan karakter dan atau akhlak mulia, justru akan merugikan, baik terhadap dirinya sendiri, maupun  orang lain.

Ilmu selalu dipandang  bagaikan pisau. Alat pemotong itu akan bermanfaat manakala dipegang oleh orang yang berakhlak mulia dan berkarakter.  Akan tetapi sebaliknya, jika pisau itu dipegang oleh orang yang tidak berakhlak mulia justru akan membayakan lingkungannya. Pisau yang dipegangnya bisa digunakan untuk meraih keuntungan dirinya sendiri sekalipun membahayakan orang lain di sekitarnya. Akhlak mulia dan ilmu harus berjalan seiring. Namun rupanya dari kesan selintas, lembaga pendidikan baru berhasil menjadikan seseorang pintar, tetapi belum dipastikan  berhasil di dalam membangun akhlak mulia dan atau karakternya. Wallahu a’lam.

*Penulis; Peraih Penghargaan MURI Konsistensi menulis selama 3 tahun tanpa jeda; Pernah Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Malang; dan pernah sebagai Rektor UIN Maliki Malang.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply