KHITTAH.co, Kehidupan umat Islam, di dalamnya melekat tiga entitas penting yang mengandung “kedahsyatan”: Keistimewaan Ramadan, Kekuatan Malam, dan Cahaya Inspirasi Alquran. Hal ini terkadang kurang disadari, sehingga makna alegoris, anagogis dan dimensi esoteriknya tenggelam, seiring arunika (matahari terbit) menyapa bumi dan kehidupan.
Ramadan berbeda dengan sebelas bulan lainnya. Padanya mengandung keistimewaan. Salah satu keistimewaanya, karena dalam bulan Ramadan-lah Alquran sebagai mukjizat, diturunkan (QS. Al-Baqarah [2]: 185). Alquran sebagai firman Allah diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril.
Alquran sebagai mukjizat berbeda dengan mukjizat para nabi dan rasul sebelum Rasulullah Muhammad SAW. Mukjizat sebelumnya—jika meminjam pemahaman Udo Yamin Majdi— bersifat temporal. Selain itu berdasarkan apa yang saya pahami lebih banyak berdimensi material dan psikologis dan tidak bersifat universal untuk berlaku sepanjang masa dan semua umat dan makhluk.
Berbeda dengan mukjizat lainnya, Alquran bersifat universal, sepanjang masa untuk seluruh manusia dan bahkan makhluk lainnya. Bisa dibuktikan secara ilmiah. Inilah yang menyebabkan—sebagaimana diungkap oleh Udo Yamin—bahwa ada empat ilmuwan non muslim atas kekagumannya terhadap keagungan Alquran dan akhirnya mereka menjadi muslim—dan sampai hari ini, saya yakin ada ratusan ilmuan nonmuslim yang kagum. Maka tidak berlebihan jika Ahmad Deedat (dalam Udo Yamin, 2011) menyebutnya Mu’jizatul Mu’jizat. Luar biasa dari semua yang luar biasa.
Oleh karena itu AlQuran pun diturunkan kepada sosok manusia yang luar biasa, Rasulullah Muhammad SAW (penghulu para nabi dan rasul). Atas keistimewaan itu pula Alquran diturunkan melalui perantara, malaikat pilihan dan bahkan sebelum menjalankan tugas mulianya ini, Allah mengangkatnya terlebih dahulu sebagai sayyidul malaikat (penghulu para malaikat). Itulah malaikat Jibril.
Ketika yang diturunkan adalah sesuatu yang sangat istimewa, untuk diberikan dan diterima oleh sosok yang istimewa, dan melalui perantara atau dibawa oleh yang sangat istimewa, maka sudah dipastikan dimensi waktu yang dijadikan sebagai momentumnya adalah sesuatu yang juga dipandang istimewa. Inilah keistimewaan bulan Ramadan.
Jika saya menarik makna yang lebih luas tentang bulan Ramadan ke dalam konteks ruang-waktu hari ini, maka inilah “hari literasi” umat Islam. Hari pertama umat Islam mendapatkan cahaya inspirasi Alquran yang dalam perjalanan sejarah berikutnya, menempati wilayah kerja peradaban yang paling strategis.
Selain keistimewaan bulan Ramadan yang digambarkan di atas, di dalamnya ada siang dan malam. Mu’jizatul Mu’jizat itu ternyata, pertama kali diturunkan pada malam hari, bukan pada siang hari. Malam memiliki banyak keistimewaan. Ada banyak ayat yang mempertegas hal itu.
Keistimewaan malam, selain—oleh Allah—dipilih sebagai momentum awal diturunkannya pertama kali Alquran, ada banyak keistimewaan lainnya. Shalat tahajud yang memiliki keutamaan luar biasa, hanya diperintahkan pada malam hari (QS. Al-Isra [17]: 79). Peristiwa luar biasa yang sangat mengaungkan sampai hari ini—Isra’ Mi’raj—Allah pun memilih pada malam hari.
Lailatul Qadar, sebagai malam yang senantiasa menjadi impian dan harapan besar umat Islam, itu malam hari bukan siang. Bahkan oleh Prof. Nasaruddin Umar, dalam memaknai kata Lailah (malam) dari tiga ayat (QS, Al-Isra [17]: 1; QS. Al-Isra [17]: 79; dan QS. Adz-Dzariyat [51]: 17) sebagai isyarat bahwa malam adalah rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah SWT.
Prof. Nasaruddin, mempertegas kembali, “jarak spiritual antara hamba dan Tuhan menjadi lebih pendek di waktu malam. Dan menurutnya pula, ini mengingatkan kita bahwa hampir semua prestasi puncak spiritual terjadi di malam hari.
Jika pembaca, memahami teori gelombak otak, maka akan mendapatkan pemantik secara ilmiah bahwa malam memiliki ”the power of night” (kekuatan malam). Sekilas bisa dibaca dalam tulisan saya, kesepuluh Ramadan, dengan judul “Puasa dan Aktivasi Gelombang Otak”. Yang pada substansinya bahwa malam memudahkan ter-aktivasi-nya gelombang dahsyat yang bisa menjadi sejenis instrument untuk membangun God relation. Termasuk memudahkan mendapatkan percikan bahkan samudera inspirasi.
Selain daripada itu jika kita membaca karya Prof. Nasaruddin, Islam Fungsional: Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-Nilai Keislaman (2014), kita akan menemukan dan memahami tentang “The Power of Night”. Ada banyak makna esoterik, alegoris dan bahkan anagogis yang menunjukkan kekuatan malam, selain makna literalnya.
Malam dimaknai—secara alegoris—dengan kegelapan, kesunyian, kesepian, keheningan, kesyahduan, kerinduan, kedamaian. Dan ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan, kepasrahan (tawakkal), kedekatan (taqarrub) kepada ilahi. Saya sering kali mengatakan, untuk bermaksud memotivasi, “hanya kegelapanlah yang membuat bintang-bintang cemerlang”.
Dan secara esoterik—saya memahami dari Prof. Nasaruddin—malam pada dasarnya mengandung feminitas sedangkan siang lebih berdimensi maskulinitas. Jika memperhatikan pandangan Cina kuno, segala sesuatu di dalamnya mengandung dua hal: feminitas dan maskulinitas. Lebih luas dan dalam pandangan Cina kuno menyebut, “Yin”, dan “Yang”.
Prof Nasaruddin setelah mendalami 99 nama Allah (Al-Asma’ al-Husna) sampai pada pemahaman dan kesimpulan. Bahwa dari 99 nama Allah, lebih dominan menampilkan sifat-sifat feminin/feminine (the mother God) ketimbang maskulin/masculine (the father God). Dan 70% mengisyaratkan sifat-sifat feminin. Dari ini pula, dirinya menyimpulkan “kualitas feminine sejatinya lebih kuat daripada kekuatan masculine”. Berdasarkan apa yang saya pahami, feminine bisa dimaknai sebagai power, sedangkan masculine dimaknai sebagai force.
Di sinilah kekuatan malam. Termasuk jika kita membaca QS. Al-Muzammir [73]: 6, Allah menegaskan “Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa); dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan”. Malam lebih dominan aktivasi kecerdasan emosional dan spiritual dan siang aktivasi kecerdasan intelektual (rasionalias).
Hanya saja selama ini, masih banyak di antara kita, tidak mampu menangkap kekuatan malam, makna esoterik, alegoris dan anagogis-nya. Tidak sedikit di antara kita, umat Islam menjadikan malam, selain ibadah ritual, hanya sekedar waktu tidur. Dan bahkan ada di antara yang mengaku Islam, meskipun hanya “Islam KTP”, memanfaatkan malam sebagai waktu tepat dan terbaik untuk melakukan aksi kejahatannya.
Malam pun dideskripsikan sebagai sesuatu yang “menyeramkan”. Yang terakhir ini seringkali ditanamkan kepada anak-anak kita, “malam sebagai sesuatu yang menakutkan dan/atau harus ditakuti”. Dan tidak sedikit orang—berdasarkan pembicaraan saya dengan teman dan keluarga—takut bangun shalat tahajud, karena memiliki gambaran negatif, “timba bergoyang sendiri pada saat wudhu, dll”.
Anak-anak pun, generasi penerus kita, kurang memanfaatkan kekuatan malam untuk menyelami dan mendapatkan cahaya ilmu. Padahal sebagaimana QS. Al-Muzammil di atas sangat dahsyat ketika memanfaatkan waktu malam untuk belajar.
Berdasarkan hasil pengalaman saya sendiri, tulisan-tulisan saya—khususnya hari pertama Ramadan sampai hari ini dan tulisan-tulisan lainnya—ide dan kerangka besarnya—96% lebih—saya terinspirasi pada malam hari (antara jam 12 malam sampai subuh). Selain itu, termasuk pada sesuatu yang bisa dimaknai “kesunyian”(sebagai salah satu makna alegoris malam), dalam “toilet” pun saya seringkali mendapat ide tulisan.
Selain keistimewaan Ramadan, kekuatan malam, Al-Qur’an pun mengandung “cahaya inspirasi”. Di antaranya telah dijelaskan di atas. Al-Qur’an telah memancarkan cahaya inspirasi, bahkan jika merujuk pada preseden historis—era perjalanan awal Islam—atas kemampuannya berpegang teguh, dalam hal ini mendapatkan cahaya inspirasi dari Al-Qur’an sehingga Islam mampu menjadi peradaban besar yang disegani pada saat itu.
Dua peradaban besar lainnya, telah mampu ditaklukkan yaitu, imperium Romawi dan Persia. Udo Yamin dalam karya luar biasanya, “Quranic Quotient” (2011), menyebut: Dr. Keith L. Moore (ahli embriologi), Prof. Tajasen Tahasen (ahli farmakologi), Mr. Jacques Yves Costeau (ahli kelautan), dan Prof. Williah Brown, adalah mereka-mereka yang kagum atas Al-Qur’an, mendapatkan inspirasi dan sebagai basis utama penemuan ilmiahnya. Di antara mereka kekagumannya mengantarkan dirinya masuk Islam.
Hari ini, kiblat peradaban beralih ke peradaban Barat, dan bahkan “terkesan” peradaban Islam mengalami inferiory complex ketika berhadapan dengannya. Berarti ada yang salah, ada yang terlupakan dalam diri umat Islam.
Maka di sinilah urgensi dan implikasi utama tulisan ini dan harapan besar saya, bagaimana kita mampu “menangkap” kembali—atau melakukan sejenis proses internalisasi eksterior ala habitus Pierre Bourdieu—tiga kedahsyatan entitas tersebut di atas (keistimewaan Ramadan, kekuatan malam, dan cahaya inspirasi Al-Qur’an) selanjutnya dilakukan proses eksternalisasi interior.
Jika kita mampu menangkap ketiga kedahsyatan entitas yang melekat dalam umat Islam tersebut, maka apa yang disebut energi fusi—sebagaimana Diana Whitney & Amanda Trosten-Bloom mengilustrasikan kedahsyatan konsepsi Appreciative Inquiry-nya—akan menghasilkan energi dahsyat.
Energi fusi, adalah suatu energi positif dahsyat yang lahir dari penggabungan dua elemen bermuatan positif (dalam konteks tulisan ini, dua atau lebih sumber energi digabungkan menjadi satu). Energi fusi dikenal baik dalam ilmu alam, dan ini dipahami “fusi adalah sumber kekuatan bagi matahari dan bintang”.
Agusliadi Massere
Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Banteang. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.