Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Keluar dari Zona Nyaman, Berlabuh di Impian: Jejak Perjuangan Anak Rantau

×

Keluar dari Zona Nyaman, Berlabuh di Impian: Jejak Perjuangan Anak Rantau

Share this article

Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

KHITTAH. CO – Tulisan ini merupakan kata pengantar buku yang ditulis oleh Febry Amirullah Benny dengan judul Tumbuh dari Keterbatasan, Menjadi Harapan. Sebuah buku yang menggambarkan kegigihan perjuangan seorang putra Makassar yang besar dari keterbatasan. Namun, dengan modal dan tekad yang kuat serta modal pengkaderan yang dilalui di Ikatan Pelajar Muhammadiyah, membuat dia memiliki tekad yang kuat untuk meraih impian. Febry merantau ke Jakarta untuk menuntut ilmu dengan harapan mendapat beasiswa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta.

Bagi orang Bugis-Makassar, merantau dan hidup di rantau bukanlah hal yang baru, bahkan perantauan sudah sangat familiar di kalangan Bugis-Makassar. Mereka merantau sejauh mungkin dengan sebuah harapan akan mengubah nasib mereka di perantauan, tidak sedikit dari mereka beranak-pinak di perantauan. Bahkan, anak cucunya pun, tidak sedikit yang tidak pernah melihat lagi kampung halamannya, hanya mereka tahu bahwa leluhurnya berasal dari tanah Bugis-Makassar.

Sejarawan dan akademisi Prof. Dr. Anhar Gonggong mengemukakan bahwa ada 4 (empat) faktor yang membuat orang Bugis Makassar merantau, yaitu (1) faktor situasi politik, (2) falsafah hidup yang berkaitan dengan kebebasan yang terkait dengan kediriannya sebagai individu yang harus dihargai, (3) dorongan niaga, (4) mereka berada dalam situasi kemiskinan.

Bila mencermati keempat faktor tersebut dapat dikatakan bahwa orang Bugis Makassar merantau tiada lain merupakan sebuah ikhtiar untuk mengubah nasib mereka, dari suasana yang serba tidak menentu menjadi suasana yang penuh kepastian, dari kehidupan yang serba tidak menguntungkan menuju suatu kehidupan yang lebih baik. Oleh karena itu, mereka yang hidup di perantauan memiliki semangat dan tekad yang kuat untuk mengubah nasibnya dengan usaha yang sungguh-sungguh dengan berpegang pada prinsip “Resopa Temangingngi’ Namalomo Naletei Pammase Dewata” artinya “Hanya dengan kerja keras dan ketekunan maka akan mudah mendapatkan ridho oleh Tuhan”.

Sampul buku Febry
Buku karya Febry Amirullah Benny

Selain kerja keras harus dibarengi dengan kebersamaan sebagaimana ungkapan “Akbulo sibatangpaki, na mareso tamatappuk, na nampak niak, sannang la ni pusakai. Arti ungkapan ini “Hanya dengan persatuan disertai kerja keras barulah kebahagiaan tercapai”.

Febry, meninggalkan kampung halaman yang jauh dari kota menuju ibu kota dengan bermodalkan semangat untuk mengubah nasib, bukan bekal sebongkah berlian dan bukan juga kartu ATM, tetapi modal sebagai aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) yang tentu memiliki pula berbagai keterampilan serta modal sedikit pengetahuan agama dan harapan beasiswa dari Universitas Muhammadiyah Jakarta kerjasama dengan PP IPM, termasuk doa dan restu kedua orang tuanya. Selain itu, sebagai anak Makassar yang sejak dulu terkenal sebagai perantau, bermodal semangat pantang menyerah. Prinsip kerja keras dan kebersamaan tertanam dalam dirinya.

Merantaulah, karena di dalam perantauanmu kau akan bertemu dengan keluarga baru, dan Febry betul menemukan keluarga baru walau sama-sama dari Makassar. Dia bertemu dengan Zulkarnain Dg. Janji yang sama-sama orang Gowa dan senior di IPM. Untuk sementara merasakan nikmatnya tinggal bersama di rumah dinas, namun semangat untuk terus maju dan sukses, membuat dia harus meninggalkan rumah tersebut, bukan tidak betah bukan tidak nyaman bahkan sangat nyaman. Justru dia mencoba keluar dari zona nyaman untuk mendapatkan tantangan baru hidup di rantau.

Keluar dari zona nyaman justru membuat dia semakin bijak menghadapi hidup di rantau, dia bisa bergaul dengan siapa saja dengan baik dan berterima dengan baik. Hal itu, selain pengalaman ditempah sebagai kader di IPM juga memegang prinsip sipakatau: prinsip saling memanusiakan yang dalam pergaulan dan berkomunikasi dapat menempatkan diri dengan baik dan menghargai teman pergaulan dan teman berkomunikasinya sebagai manusia yang perlu dihargai. Yang bagi orang Makassar, memiliki nilai siri dan pacce. Siri berarti harga diri sedang pacce bermakna mampu merasakan penderitaan sesama.

Ketika menghadapi kesulitan dan ada keinginan untuk mundur dan balik dari rantau, dia memiliki prinsip pura babbara sompeku, pura tangkisi gulikku, ulebbireng tellengnge natowalia. artinya “Kemudi telah kupasang, layar telah kukembangkan, lebih baik mati dari pada balik surut”. Hal ini menegaskan bahwa seseorang yang telah memilih merantau sebagai jalan hidup, harus kukuh, kokoh dan kekeh dengan pilihannya. Tidak boleh ada kata mundur apalagi batal tak jadi merantau, apa pun risikonya.

Episode demi episode dalam perjalanan rantaunya menuntut ilmu dilewati Febry dengan baik, walau penuh gelombang, berbagai onak dan duri telah dia tepis dalam perjalanannya, menjadikan dia semakin bijak menjalani kehidupan. Tekad dan kegigihan berjuang demi meraih impian membuat dia semakin yakin akan mampu meraih impian dan bila kembali dari rantau dia kembali dengan tegak dan bisa menunjukkan harga dirinya sebagai orang yang sukses di rantau.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UNIMEN

Leave a Reply