Oleh: Irwan Akib (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
KHITTAH. CO – Ibadah haji telah usai, jemaah haji mulai berdatangan kembali ke tanah air sesuai kloter dan jadwalnya masing-masing. Para keluarga tentu menyambut dengan penuh suka cita, penuh haru karena sang Hujjah dapat kembali ke tanah air dengan selamat, kembali menyatu dengan keluarga yang telah ditinggalkan beberapa waktu.
Sebagai kebiasaan di tanah air, mereka akan mendapat gelar baru haji dan hajja, namun tentu yang lebih penting lagi adalah mereka kembali sebagai haji mabrur yang jaminannya adalah surga yang implikasinya tentu dalam kehidupan keseharian mereka akan menunjukkan perilaku hidup islami.
Baru-baru ini, kloter I debarkasi Makassar telah tiba di tanah air, yang menjadi sorotan media bukan sambutan haru dari keluarga tetapi ada hal yang kontras antara apa yang mereka pakai di tanah suci khususnya saat menggunakan pakaian ihram dengan pakaian yang mereka pakai saat tiba di tanah air. Bahkan media menyorot dengan judul ”Jemaah Haji Tampil Glamor dan Penuh Perhiasan saat tiba di Makassar”.
Belum lagi pada hari-hari berikutnya ada kebiasaan mereka yang tidak rela kalau tidak dipanggil haji atau hajja. Penulisan nama di undangan akan menjadi masalah bila gelar haji dan hajja-nya tidak ditulis, dan ketika menghadiri hajatan memiliki tempat yang khusus.
Fenomena ini tentu menjadi keprihatinan tersendiri, bahkan MUI Sulsel mengimbau para jemaah untuk tidak tampil berlebihan, walau disadari bahwa pakaian yang mereka gunakan merupakan kebiasaan sebagai wujud kegembiraan dalam batas-batas yang wajar. Namun, demikian MUI berpendapat bahwa perlunya edukasi kepada para jemaah, tentu ini bagian dari tugas dakwah.
Kurangnya pemahaman masyarakat khususnya yang melaksanakan ibadah haji perlu menjadi perhatian para mubalig, penyelenggara haji, dan petugas yang mendampingi mereka. Jangan sampai, pakaian ini justru menimbulkan kebanggan tersendiri yang melambangkan status sosial yang pada akhirnya menggerus nilai-nilai dari ibadah haji itu sendiri.
Gambaran di atas tidak sekadar menampilkan diri dengan kebesaran yang menurutnya memberi penghargaan pada haji itu sendiri, namun di balik itu sesungguhnya telah menampilkan diri dengan status sosial sesuai jenis dan kemewahan pakaiannya. Mereka sepertinya tidak menghayati makna pakaian ihram yang mereka gunakan saat di tanah suci. Ihram mengajarkan keseteraan, kesejajaran tanpa membedakan status sosial, yang bila dimaknai secara mendalam mestinya kesejajaran, kesetaraan itu mestinya menjadi pola pikir dan pola laku pada setiap jamaah yang telah kembali ke tanah air.
Penampilan glamor dengan status sosial tersebut juga dapat membawa efek psikologi dari jamaah. Mereka merasa memiliki status lebih ketimbang yang lain sehingga dapat menimbulkan kesombongan pada dirinya. Apatah lagi, tidak jarang mereka ingin diperlakukan berbeda dengan yang lain ketika menghadiri suatu acara atau pesta, terlebih lagi bila masyarakat awam juga memiliki pikiran dan tindakan yang serupa, akhirnya semakin membuat sang Hujjah berbangga diri. Mereka merasa dengan status hajinya, derajatnya lebih tinggi dibanding yang lain, padahal derajat seseorang ditentukan tingkat ketakwaannya
Haji mabrur ditandai dengan berbekasnya simbol-simbol amalan yang dilaksanakan di tanah suci, sehingga makna tersebut terwujud dalam bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari (Prof. Quraish Shihab). Pakaian ihram digunakan dengan melepas pakaian biasa yang melambangkan status sosial, sedang dengan menggunakan pakaian ihram status sosial menjadi tanggal, keangkuhan sirna, namun yang muncul adalah persamaan derajat.
Pakaian ihram melambangkan sifat egaliter, kesetaraan yang konkret. Jemaah haji menggunakan pakaian ihram semuanya sama, tidak pandang raja atau rakyat kecil, kaya miskin, jenderal atau prajurit, semuanya sama. Segala atribut pangkat dan status sosial pada saat itu berguguran. Mereka semua menyembah Allah dengan perasaan khusyuk dan penuh pasrah. Kesombongan dipaksa mencair dan diharapkan sesudah pulang haji akan tetan mencair selama-lamanya.
Ibadah haji mendidik orang untuk tidak berbangga-bangga dengan asal usul keturunan, kekayaan, dan atribut dunia lainnya yang sering menyilaukan. Di hadapan Allah, semua itu tidak ada harganya kecuali disertai dengan sikap takwa (taqwa). Kualitas takwalah yang membedakan seseorang dengan yang lainnya.
Antara fenomena yang terjadi dengan makna ibadah haji sendiri tentu merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian, bisa dibayangkan berapa besar biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang jamaah haji dan berapa lama waktu menunggu untuk melaksanakan ibadah haji belum lagi pengorbanan tenaga, tetapi bila nilai-nilai ibadah haji tidak tercermin dalam kehidupan kesehariannya, maka ini merupakan kerugian yang luar biasa. Gelar haji hanya menjadi kebanggaan dan meningkatkan status sosial di masyarakat, yang justru salah satu nilai dari ibadah haji adalah nilai kesetaraan dan menghilangkan kebanggaan dengan status sosial.