Oleh: Muhammad Chirzin*
Diskusi hangat dan seru tentang tema tersebut dalam catatan ini bermula dari unggahan Prof. Lias Hasibuan di WAG PROFESOR PTKIN Ahad, 24 Oktboer 2021, 10:03.
Pernyataan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas yang menyebut Kementerian Agama sebagai “hadiah khusus” dari Pemerintah Republik Indonesia untuk Nahdhatul Ulama (NU), menuai polemik.
Dalam pernyataannya saat webinar memperingati Hari Santri yang diselenggarakan PBNU, Rabu (20/10), Yaqut mengatakan, “Kemenag itu hadiah negara untuk NU bukan untuk umat Islam secara umum, tetapi spesifik untuk NU. Jadi wajar jika NU memanfaatkan peluang yang ada di Kemenag,” ujar Yaqut, sebagaimana dikutip dari situs berita kumparan.com (23/10/2021)
Yaqut juga menjelaskan, lahirnya Kemenag dilatarbelakangi oleh penghapusan Piagam Jakarta, yang berisi, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Usulan ini, menurut Yaqut, berasal dari NU, sehingga lahirlah Kemenag. (Kumparan.com, 23/10)
Awalnya, kata Yaqut, ada yang tidak setuju Kemenang hadir untuk melindungi semua agama, melainkan Kementerian Agama Islam, karena Kemenag adalah hadiah negara untuk umat Islam.
Pernyataan Yaqut mendapat respon keras dari tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Muhammadiyah, Anwar Abbas. Dia mengatakan apa yang diucapkan Yaqut itu sebagai ananiyah hizbiyyah (egoisme kelompok) yang bisa menyinggung kelompok lain di luar NU.
Tetapi, kata Anwar Abbas, “ada bagusnya kehadiran dari pernyataan ini. Karena dengan adanya pernyataan tersebut menjadi terang benderanglah bagi kita semua warga bangsa, mengapa para pejabat di Kemenag dan juga para pegawainya dari atas sampai ke bawah, serta juga rektor UIN dan IAIN di seluruh Indonesia, nyaris semuanya dipegang dan diisi oleh orang-orang NU.”
Anwar Abbas juga mengingat pernyataan Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siradj, yang menyatakan urusan agama harus dipegang oleh orang NU. “Cara berpikir dan cara pandang seperti ini, kalau kita kaitkan dengan masalah kebangsaan dan pengelolaan negara, tentu jelas sangat naif dan tidak mencerminkan akal sehat,” katanya.
**
Lalu, benarkah Kemenag hadiah khusus dari negara untuk NU?
Dalam buku “Utang Republik pada Islam” yang baru dirilis oleh Lukman Hakiem, seorang mantan jurnalis, mantan anggota DPR, tokoh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan tokoh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dijelaskan kronologi berdirinya Kementerian Agama RI.
Lukman Hakiem menulis, dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945, dua hari setelah proklamasi kemerdekaan RI dibacakan, telah terjadi perdebatan tentang perlu tidaknya Kementerian Agama.
Panitia kecil PPKI yang terdiri dari; Otto Iskandar Dinata, Achmad Subardjo , Sajoeti, Iwa Kusumasumantri, Wiranatakusuma, Amir, Hamidhan, Ratulangi, dan I Ketut Pudja, mengusulkan dibentuknya tiga belas kementerian, di antaranya “Kementerian Urusan Agama.”
Usul pembentukan Kementerian Urusan Agama ditolak oleh Mr. Johannes Latuharhary. Menurutnya, jika kementerian itu dibentuk, masing-masing agama akan tersinggung jika menterinya bukan dari mereka. Latuharhary mengusulkan urusan agama dimasukan dalam Kementerian Pendidikan.
Selain Latuharhary, penolakan juga disuarakan oleh Iwa K Sumantri dan Ki Hajar Dewantara. Tokoh terakhir yang merupakan pendiri organisasi Taman Siswa, meminta urusan agama dimasukkan ke dalam Kementerian Dalam Negeri. Ketika pemungutan suara, pengusung Kementerian Agama kalah dan akhirnya usul itu dihapus dan diganti dengan Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Keputusan ini tentu menimbulkan tanda tanya. Sebab, sejak zaman Belanda sampai Jepang sudah ada lembaga khusus yang mengatur soal urusan agama. Mengapa setelah merdeka justru tidak ada?
Atas dasar itu, tiga orang tokoh Partai Masyumi dari Banyumas, Jawa Tengah; KH Abudarduri, H.Moh Saleh Suaidy, dan M Sukoso Wirjosaputro, dalam sidang Kominte Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di bulan November 1945, agar ada kementerian khusus yang mengatur urusan agama.
Usulan tiga orang aktivis Partai Masyumi itu mendapat respons positif dari anggota KNIP, yang terdiri atas Moh. Natsir, Dr. Mawardi, Dr. Marzuki Mahdi, N. Kartosudarmo, dll.
Presiden Sukarno yang hadir dalam sidang itu memberi isyarat kepada Wakil Presiden Moh. Hatta, yang disambut dengan pernyataan Hatta sambil berdiri, “Adanya Kementerian Agama tersendiri, mendapat perhatian pemerintah.”
Pada tanggal 14 November 1945 Kabinet Sutan Sjahrir dibentuk, yang terdiri atas 16 Kementerian, termasuk Kementerian Negara yang bertugas mengurusi soal peribadatan. H.M Rasjidi, seorang tokoh Partai Masyumi, ditunjuk sebagai Menteri Negara.
Dua bulan setelah menjadi Menteri Negara, H.M Rasjidi ditunjuk oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir menjadi Menteri Agama.
Pada tanggal 3 Januari 1946, melalui corong Radio Republik Indonesia (RRI) H.M Rasjidi diumumkan secara resmi sebagai Menteri Agama. Pada saat itu juga, Kementerian Agama secara resmi berdiri, dan umat Islam, kata Rasjidi, patut bergembira dan bersyukur. “Dengan adanya Kementerian Agama, urusan keislaman yang selama ini terbengkalai, kini dapat diurus sendiri. Pengadilan Agama, kas masjid, perjalanan haji, dan lain-lainnya lagi, ditangani oleh orang Islam sendiri,” ujar Rasjidi dalam pidatonya.
Wakil Menteri Penerangan, Mr. Ali Sastroamidjojo, melalui RRI Yogyakarta, pada 4 Januari 1946, mengulangi kembali pengumuman tentang berdirinya Kementerian Agama. Ia mengatakan, “di dalam urusan Pemerintah Agung diadakan kementerian baru, ialah Kementerian Agama yang dipimpin oleh saudara H.Rasjidi sebagai menteri. Sebagai umum sudah mengetahui, Paduka Tuan H. Rasjidi tamat Sekolah Tinggi Islam di Kairo, Mesir, dan salah seorang pemimpin dari Partai Masyumi. Beliau adalah Guru Besar dari Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Dan, ketika Kabinet Sjahrir dibentuk, beliau diangkat menjadi Menteri Negara. Beliau adalah seorang ahli filsafat Islam yang terkenal.”
H.M Rasjidi adalah tokoh yang memiliki jasa dalam diplomasi di luar negeri, bersama Haji Agus Salim, A.R Baswedan, dan Sutan Pamuntjak, untuk menggalang dukungan dunia Islam bagi kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamasikan. Selain lulus dari Al-Azhar Mesir dan Sorbonne, Perancis, Rasjidi adalah lulusan Sekolah Al-Irsyad di Lawang, Malang, Jawa Timur. Rasjidi belajar di bawah bimbingan tokoh pendiri Al-Irsyad, Syaikh Ahmad Surkati. Bahkan nama Rasjidi adalah pemberian Syaikh Surkati, yang awalnya kesulitan menyebut nama asli tokoh ini, Saridi.
Hari di mana H.M Rasjidi berpidato tentang berdirinya Kementerian Agama pada 3 Januari 1946, sampai hari ini diperingati sebagai Hari Amal Bakti Kementerian Agama.
Keterangan soal tulisan ini bisa tuan dan puan rujuk di buku “Utang Republik pada Islam” yang ditulis oleh Lukman Hakiem, dan diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar pada bulan Oktober 2021 ini.
***
Jadi, sejarah lahirnya Kementerian Agama adalah hal yang patut disyukuri oleh umat Islam dan bangsa ini. Tak perlu ada klaim yang bersifat egoisme kelompok yang bisa menambah gaduh hiruk pikuk politik. Sebab, jika ini terus terjadi, jangan salahkan jika ada orang yang bertanya, “Jika lahirnya Kementerian Agama adalah hadiah khusus dari negara untuk NU, kenapa yang dijadikan menteri agama pertamanya H.M Rasjidi, tokoh Masyumi dan murid dari Syaikh Surkati?”
Menurut Lias Hasibuan pernyataan Menag Yaqut itu benar. Alasannya apa? Karena ulama NU mengembangkan Islam di Indonesia dengan prinsip bahwa ajaran Islam itu harus berakar pada budaya masyarakat Indonesia. Menjadikan budaya itu sebagai infrastruktur agama sepanjang budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sedangkan yang lain justru ingin menghancurkan budaya itu dan menggantikannya dengan yang lain yang diklaim sebagai Islam. Karena itu, wajarlah jika Kementerian Agama lebih layak dipimpin oleh orang NU atau orang yang berpaham NU.
Saya pun menggarisbawahi, bahwa ini adalah arena introspeksi, mawas diri, melihat ke dalam diri sendiri, supaya lebih cerdas dan mencerdaskan; muhasabah, agar lebih cerah dan mencerahkan.
Prof. Siswanto Masruri menambahkan, mungkin Pak Menag sedang salah ucap. Kita doakan mudah-mudahan ke depan beliau tidak salah ucap lagi. Kasihan jika salah lagi.
Prof. Lias Hasibuan menimpali, gak apa-apalah jika Yaqut bilang begitu, karena Yaqut sebagai tokoh NU juga ada hak dan jihad untuk mengajak orang NU yang ada di belakangnya untuk mendukung pemerintah. Tapi jika pernyataan Yaqut juga dibantah oleh Sekjen PBNU, wajar-wajar juga, jika menyebut Departemen Agama itu hadiah negara untuk semua agama. Dua pernyataan yang saling menguatkan dan menjelaskan ha ha…
Saya pun mengingatkan, bahwa menyederhanakan masalah itu bisa menimbulkan masalah.
Lias Hasibuan melanjutkan, itu yang disebut dengan manajemen konflik. Pimpinan atau tokoh sewaktu-waktu perlu ciptakan manajemen konflik untuk mendorong dinamika. Saya hanya ingin mengerti saja, karena jika mengerti tentu akan memaafkan.
Pak Kyai Said sebagai seorang yang cerdas juga sering melakukan manajemen konflik, dan itu bukan untuk memecah-belah umat. Tapi orang-orang yang kurang logika tidak memahaminya.
Masih menurut Lias Hasibuan, kita sesama intelektual muslim haruslah menjauhi su’uzhan antar sesama. Jika muncul kalimat-kalimat mutasyabihat (meminjam istilah Al Qur’an) ya kita cari makna positifnya, dan kita yakinkan bahwa pikiran-pikiran intelektual muslim itu mengandung hikmah tertentu yang perlu diungkap.
Ini contoh pikiran kecil yang mau dibesar-besarkan, bukan membuat yang besar menjadi kecil.
Saya pun menyela,
Itu yang saya maksud menyederhanakan masalah bisa menimbulkan masalah. Lalu saya unggah tulisan Rizal Fadillah berikut.
Yaqut Semakin Parah
Semakin semrawut saja cara pandang dan berpikir Menag Yaqut Cholil Qoumas. Pada acara Hari Santri 2021 RMI-PBNU ia menyatakan bahwa Kemenag itu bukan hadiah untuk umat Islam tetapi hadiah untuk NU. “Saya bantah, bukan. Kemenag hadiah untuk NU secara khusus, bukan untuk umat Islam secara keseluruhan”. Weleh sepicik ini cara pandang seorang Menteri, Menteri Agama lagi.
Tambah Yaqut, “Spesifik untuk NU, nah jadi wajar kalau sekarang NU memanfaatkan banyak peluang yang ada di Kemenag”.
Hwa ha haa luar biasa lucu, seperti anak kecil yang berkacak pinggang di depan anak-anak lain lalu menunjukkan sok jagonya dan berteriak bahwa semua yang ada adalah kepunyaan dirinya.
Ini di dunia fantasi, dunia boneka, dunia anak-anak, atau dunia nyata dan dewasa? Seakan tak percaya ada berita seperti ini.
Bung Yaqut, di samping NU itu ente tahu ada banyak Ormas keislaman dan keagamaan lainnya. Mereka adalah bagian dari agama yang dilindungi di negeri ini. NU bukan satu-satunya organisasi yang bisa main klaim. Kemenag itu bukan hanya milik NU.
Menteri Agama Republik Indonesia pertama adalah Haji Mohammad Rasyidi yang diangkat oleh Presiden Soekarno dalam Kabinet Syahrir II. Menjabat dari tanggal 3 Januari 1946 hingga 2 Oktober 1946. HM Rasyidi berpendidikan Islam modern, tokoh Islam terkemuka, dan yang pasti bukan NU. Menteri Agama pun berganti ganti dari berbagai organisasi termasuk cendekiawan atau dari yang berlatar belakang militer.
NU tidak boleh main klaim dan rebut secara sewenang-wenang dengan mengingkari sejarah pendirian Kemenag yang dicanangkan untuk berkhidmat bagi semua agama termasuk umat Islam secara keseluruhan. Pembentukan Kemenag dimulai dari usul Muhammad Yamin dalam Sidang kedua BPUPKI tanggal 11 Juli 1945.
“Tidak cukuplah jaminan kepada agama Islam dengan Mahkamah Tinggi saja, melainkan harus kita wujudkan menurut kepentingan agama Islam itu sendiri. Pendek kata menurut kehendak rakyat, bahwa urusan agama Islam yang berhubungan dengan pendidikan Islam, wakaf dan masjid dan penyiaran harus diurus oleh kementrian yang istimewa yaitu yang kita namai Kementerian Agama”.
Setelah terhambat pembentukan untuk merealisasikan usul Moh. Yamin tersebut, akhirnya Presiden Soekarno dan Moh Hatta menyetujui agenda pembentukan Kementerian Agama, dan diangkatlah HM Rasyidi tokoh Muhammadiyah menjadi Menteri Agama pertama. Pembentukan mana didukung pula oleh HM Natsir tokoh Masyumi.
****
Jadi, pembentukan Kementerian Agama tidak ada hubungan dengan hadiah kepada NU.
Apalagi dikaitkan dengan pencoretan 7 kata sila pertama Pancasila hasil rumusan Piagam Jakarta.
Tokoh yang berjasa di antara tokoh-tokoh Islam lain adalah Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Muhammadiyah bersama rekan seorganisasinya Mr Kasman Singodimedjo yang juga menjadi anggota PPKI.
Nah, Yaqut memang parah, dan semakin parah saja. Terus membuat gaduh dunia keagamaan. Menteri ini bukan menjadi figur negarawan penyejuk, tapi pemanas umat. Betul, menurut tokoh Islam Anwar Abbas, bahwa jika betul bahwa Kemenag hanya menjadi wadah yang dimanfaatkan untuk NU, sebaiknya Kemenag itu dibubarkan saja.
Atau pilihan yang paling bijak, segera berhentikan Menteri Agama, ganti Yaqut Cholil Qoumas.
Yakuuuttt… jangan asal ngomong kalo gak tau sejarahnya, tampak ada unsur adu domba umat.
Saya mengistilahkannya mengail di air keruh.
Lias Hasibuan pun melanjutkan, ini hanya pendapat dalam dialog saja, tak ada dokumen tertulis bahwa Depag itu milik orang NU. Dan jika orang NU punya keinginan supaya Departemen Agama diberikan kepada orang NU gak ada yang salah, dan jika yang lain juga menginginkan hal yang sama ya juga gak apa-apa… Biar saja umat ini berlomba untuk menjadi Menteri Agama. Yang penting fungsi Kemenag dijalankan untuk melayani kepentingan semua umat beragama.
Saya pun mengingatkan bahwa Menag tidak sedang baik-baik saja…
Lias Hasibuan melanjutkan, kelihatannya sebagian dari warga bangsa kita ini belum cukup dewasa, masih suka meledak-ledak dan memberi tanggapan terhadap sesuatu yang sesungguhnya belum perlulah untuk ditanggapi.
Saya pun merespons, menunggu memo Prof. Lias untuk hal-hal yang sudah perlu ditanggapi di negeri ini.
Menurut Lias Hasibuan, kadang ada pikiran awam yang direspons oleh intelektual. Mestinya intelektual itu tidak meneruskan pikiran-pikiran awam itu, tapi justru memberikan pengertian tentang sisi positif dari pernyataan-pernyataan tersebut. Itu baru namanya husnuzhan. Bagaimana intelektual kok jadi minyak tanah pula? Ha ha
Prof Fauzul Iman mengingatkan, ya kan bang Lias juga sekarang tidak tahan, maunya bicara juga ha ha…
Terbukti buntut pernyataan Gus Menag memanjang.
Berikut respons cukup keras atas statement Menag.
BUBARKAN KEMENTRIAN AGAMA KARENA MEMBUAT GADUH.
Menteri Yaqut Cholil Qoumas menyatakan bahwa Kementerian Agama bukan hadiah negara untuk umat Islam, tapi adalah hadiah negara spesifik untuk NU. Oleh karena itu adalah wajar, kata Menteri Agama, kalau NU memanfaatkan peluang-peluang yang ada di Kemenag tersebut. Pernyataan ini tentu sangat kita sayangkan, karena tidak menghargai kelompok dan elemen umat dan masyarakat lainnya. Tetapi ada jugalah bagusnya kehadiran pernyataan ini, karena dengan adanya pernyataan tersebut menjadi terang-benderanglah bagi kita semua warga bangsa mengapa para pejabat di Kemenag, bahkan para pegawainya dari atas sampai ke bawah serta Rektor-rektor UIN dan IAIN di seluruh indonesia nyaris semuanya dipegang dan diisi oleh orang NU.
Apalagi kalau fakta dan fenomena ini dikaitkan dengan pernyataan Said Agil Siradj, Ketua umum PB NU, yang menyatakan jabatan agama kalau tidak dipegang oleh NU maka bakal salah semua. Cara berpikir dan pandang seperti ini kalau kita kaitkan dengan masalah kebangsaan dan pengelolaan negara jelas sangat naif dan tidak mencerminkan akal sehat. Semestinya sebagai seorang Menteri dan pemimpin umat lebih mencerminkan dan mengedepankan sikap arif serta bersikap dan bertindak sebagai negarawan. Tetapi kita lihat sang Menteri dan sang tokoh tersebut lebih mencerminkan sikap sebagai seorang politisi dan lebih menonjolkan ananiyah hizbiyahnya di mana mereka lebih mengedepankan kepentingan partai serta kelompoknya dan mengabaikan serta tidak memperhatikan kepentingan kelompok, elemen umat, dan masyarakat lainnya.
Oleh karena itu kalau sebuah lembaga negara seperti Kementerian Agama ini diperlakukan dengan cara pandang dan tindak seperti ini, maka tentu tidak bisa kita terima. Dan seandainya cara pandang seperti ini tetap terus dilanjutkan dan dipertahankan serta dibela oleh pemerintah dan partai politik yang ada di negeri ini, maka saya minta Kementerian Agama lebih baik dibubarkan saja, karena akan membuat gaduh, di mana mudaratnya pasti akan jauh lebih besar daripada manfaatnya, karena manfaatnya hanya akan dirasakan oleh orang-orang NU saja dan tidak oleh lainnya. Hal seperti ini sebagai warga bangsa jelas tidak bisa diterima.
Dr. Anwar Abbas,
Pengamat sosial ekonomi dan keagamaan, berbicara atas nama pribadi dan pengamat bukan atas nama Muhammadiyah dan MUI, sebagai rasa keprihatinan dan tanggung jawab terhadap persatuan dan kesatuan serta kemajuan bangsa.
****
Menurut Lias Hasibuan, ini karena masalah tersebut diperpanjang oleh Prof. Chirzin. Masyarakat kita ini memang senang menikmati jika berbau fitnah. Saya tidak melihat pernyataan-pernyataan seperti itu berbahaya dan mengancam yang lain…
Lias Hasibuan menambahkan, bahwa kadang ketika melihat hal-hal seperti ini, kelihatan sifat dan watak aslinya walaupun orangnya sudah menyandang gelar-gelar akademik, tapi sering kurang mencerminkan gelar tersebut. Jadi, wajar juga jika ada pendapat ahli pendidikan yang menyebutkan bahwa sifat baik seseorang itu pembawaan lahir, bukan yang dihasilkan pendidikan. Watak seseorang tidak bisa dibentuk dari pendidikan. Dan saya tidak heran jika ada warga negeri yang model ini. Saya tentu bukan jabariyah atau dekat ke jabariyah, tapi saya lihat sendiri ada fakta yang demikian.
Saya sekadar menambahkan bukti bahwa menyederhanakan masalah itu bisa menimbulkan masalah.
Sehubungan dengan beredarnya pernyataan Menag Yaqut Cholil Qoumas, Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) membuat pernyataan sikap dan meminta Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo agar segera menangkap dan memproses hukum Menag Yaqut Cholil Qoumas, sebagai bentuk konfirmasi bahwa setiap warga negara berkedudukan sama di muka hukum.
Prof. Haedar Nashir pun menulis, “… bila muncul asumsi bahwa Negara Indonesia yang tidak dikelola olehnya, maka salah semua. Pandangan, sikap, dan orientasi tindakan yang ironi seperti itu merupakan bentuk disorientasi berbangsa dan bernegara!”
Prof. Rochmat Wahab, Ketua Komite Khittah Nahdlatul Ulama (KKNU) menyatakan, bahwa Menag Yaqut Cholil Qoumas bikin heboh, karena mengklaim Kemenag hadiah untuk NU, dan dia menolak minta maaf. Dia malah ngeles bahwa itu acara internal dengan tujuan memotivasi para santri dan pesantren. “Ini malah salah dua kali,” tegas Ketua Komite Khittah Naddlatul Ulama tersebut.
Kolega lain menimpali, bahwa klarifikasinya malah membingungkan. Katanya acara internal. Jadi, kalau ada acara internal oleh siapa pun, lembaga mana pun, boleh bicara apa saja, dan bebas berbicara? Itu teori dari mana? Cape deh…
Apakah kalau acara internal itu seseorang boleh berkata tidak benar? Memotivasi dengan membohongi sejarah, tragis!
Menurut Yusril Ihza Mahendra, ucapan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas tentang Kemenag bukan “hadiah” kepada umat Islam pada umumnya, tetapi hadiah khusus untuk NU terkesan hanya bikin gaduh saja. Ucapan seperti itu tidak ada manfaatnya bagi kemaslahatan umat Islam dan ormas mana pun juga. Jika kita menggunakan istilah pada zaman Orde Baru dulu, ucapan Menag itu dapat mengganggu kerukunan internal umat beragama. Padahal, salah satu tugas Kementerian Agama secara substansial adalah menjaga dan memelihara kerukunan internal dan antar-umat beragama itu sendiri. Jeberadaan Kementerian Agama itu adalah konsekuensi logis dari negara berdasarkan Psncasila yang kita sepakati bersama.
Lias Hasibuan pun menambahkan, saya teringat saudara-saudara kita yang muslim, dalam hemat saya berlebihan dalam menanggapi dialog Yaqut dan kyai Said… dan lewat upload Prof. Chirzin pandangan-pandangan kerdil itu makin meluas dan tidak menutup kemungkinan di kalangan kita Guru Besar ini ada juga yang terpengaruh, karena kita punya watak sebelum jadi Guru Besar… ha ha…
*****
Saya pun menyergah,
pastinya Prof. Haedar Nashir, Prof. Sudarnoto, Dr. Anwar Abbas, Dr. Cholil Nafis, Edy Mulyadi, dan lain lain merespons “fatwa” Gus Menag tersebut bukan karena membaca share-share-an saya.
Prof. Fauzul Iman memberikan pencerahan demikian. Berdiskusi itu hal baik yang sifatnya oto kritik atau lainnya sepanjang tidak membawa murka dan malapetaka. Kita juga tidak boleh diam untuk membantu dan memberi masukan tokoh kita yang terbaik di NU. Kita harus menyayangi tokoh kita yang sudah baik, agar segera melakukan move. Tidak boleh statis dalam mengayunkan gagasan moderasinya di tengah umat. Bila gelombngnya tidak berpadu dalam muara dan misi yang konsisten, suasananya akan menjadi nihil dan sia sia.
Salah seorang kolega berkomentar, itulah syahwat politik yang tak terkendali.
Pernyataan Yaqut bagian dari kegaduhan politik internal NU menjelang muktamar.
Setiap “politikus” NU sangat menyadari bahwa banyak warga NU dewasa ini yang terlena menikmati manisnya kekuasaan dan mereka selalu haus. Maka calon-calon Ketum menjanjikan manisan yang lebih besar. Kalau dulu SAS hanya pada tingkat KUA, Yakut tingkat Kemenag, suatu ketika nanti mungkin ada yang mengatakan RI milik NU.
Nusron Hamid membela Yaqut dengan mengatakan bahwa banyak pihak yang salah persepsi terhadap pernyataan Gus Yaqut. Maksud Gus Yaqut mengatakan Kemenag adalah hadiah negara untuk NU, karena mayoritas umat Islam Indonesia tergabung dalam NU. (Kumparan Minggu, 24 Oktobet 2021, 18:40).
Membaca opini Aksin Wijaya yang diunggah di Nyabtu.com, 26 Oktober 2021 berjudul Gus Menteri Menjadikan Kemenag untuk Kebaikan Semua, jadi ingat pernyataan Nusron Hamid yang disebut terdahulu.
Saya sangat salut kepada Dr. KH Cholil Nafis yang berpikir dan bersikap objektif hatta kepada kolega seorganisasinya sendiri. Itu sikap ulama yang langka.
Prof. Azyumardi Azra menyarankan agar Kemenag cooling down agar rakyat tenang. Menag sebaiknya minta maaf ke publik, dan memusatkan usaha memperkuat harmoni dan kerukunan intraagama, antaragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah.
Kita tidak sedang bersilat lidah, karena lidah memang tidak bertulang.
Mari kita wariskan sejarah yang otentik, bukan basa-basi, dan bukan manipulasi.
Kita harus berani mengatakan yang benar adalah benar, dan yang salah adalah salah.
Jangan mempermainkan sejarah, nanti kita dipermainkan oleh sejarah.
Sejarah tidak boleh ditawar-tawar, dan tidah boleh diperjualbelikan dengan harga murah.
Saya tidak sedang membela Muhammadiyah, tetapi sedang menjaga kebenaran sejarah.
Jangan kacaukan sejarah!
* Guru Besar Tafsir Al-Qur’an UIN Sunan Kalijaga dan Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Sumber ilustrasi: news.detik.com