Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Kepedulian dan Komitmen Modal Kemajuan Indonesia

×

Kepedulian dan Komitmen Modal Kemajuan Indonesia

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Sebagai bagian dari bangsa dan negara Indonesia, saya dan tentu saja kita semua di lubuk hati yang paling dalam akan senantiasa terbersit harapan agar negeri yang kita cintai terus mengalami kemajuan. Harapan lainnya, kelak negeri tercinta kita akan menjadi pusat atau kiblat kemajuan peradaban bagi bangsa dan negara lain.

Kita pun berharap, kelak Indonesia bisa menjadi bagian dari “Top sepuluhnegara paling bahagia, paling bersih dari korupsi, dan paling sejahtera, dengan tetap memandang “agama itu penting”. Mengambil sisi positif negara-negara Skandinavia yang banyak berada di posisi “Top sepuluh” itu dan membuang sisi negatifnya. di mana Indonesia hari ini masih jauh dari posisi tersebut, jika kita membaca data dari buku Denny JA 11 Fakta Era Google Bergesernya Agama dari Kebenaran Mutlak Menjadi Kekayaan Kultural Milik Bersama (2021).

Sebenarnya yang paling dibutuhkan sebagai modal besar dan utama untuk menjadi bangsa yang besar dan maju, termasuk harapan “Top sepuluh” tersebut, Indonesia telah memilikinya. Para pendiri bangsa telah meletakkannya dan bangunan Indonesia telah didirikan di atasnya. Pancasila dan berbagai nilai luhur bangsa, oleh para pendiri bangsa telah diletakkan, bahkan telah ditunjukkan dan dipertegas kepada generasi berikutnya. Tetapi, sepertinya ada yang hilang dari generasi sekarang.

Apa yang hilang itu? Memikirkan dan merenungkan secara mendalam sejarah perjuangan dan perjalanan bangsa dan negara Indonesia, kita semua bisa merasakan, memahami, dan menyadari bahwa dalam proses pencapaian kemerdekaannya ada kepedulian dan komitmen. Diawali dengan kepedulian dan diikuti, diperkuat, dan dirawat dengan komitmen. Keduanya ini pun, bukan hanya modal mencapai kemerdekaan, termasuk pula untuk mempertahankan kemerdekaan—dalam berbagai makna—dan mengisi kemerdekaan.

Tentu saja bukan hanya kepedulian dan komitmen, ada faktor lainnya. Hanya saja, kepedulian dan komitmen bisa disimpulkan sebagai sesuatu yang paling konkret, apa lagi dalam perspektif “tindakan” dan “praksis” yang banyak diharapkan—termasuk sebagai pandangan umum hari ini—sebagai modal mencapai kemajuan. Artinya, kepedulian itu ibarat hasil ramuan dari banyak bahan baku yang telah diolah. Komitmen pun bukanlah dimensi psikologis yang berdiri sendiri dan tunggal, ada dimensi lain di dalamnya yang terbentuk, terpola, dan menyatu menjadi satu dimensi psikologis yang bernama “komitmen”.

Kita menengok ke belakang sejarah perjalanan dan perjuangan Indonesia! Sebentar saja. Pada mulanya, ada sekelompok orang yang hanya fokus pada kepentingan diri, kelompok, dan golongannya. Ada pula yang hanya pasrah dengan penderitaan, kebodohan, keterbelakangan, dan ketertindasan di balik penjajahan para aktor kolonialisme dan imperialisme. Lebih parah ada yang menjadi pengkhianat bangsa. Kemudian dari berbagai warna sikap, tindakan, dan duka yang ada, lahirlah segelintir sosok yang memiliki kepedulian.

Secara singkat, dari kepedulian inilah yang menjadi basis psikologis dan praksis yang berbuah menjadi gerakan perlawanan dan perjuangan secara kolosal sehingga kebangkitan nasional menggelegar dan memantik berbagai elemen untuk mendirikan organisasi yang semuanya—meskipun dengan peran dan cara yang berbeda—memiliki  visi dan misi yang bisa disimpulkan di antara spiritnya ada yang serupa, yaitu secara substansial membebaskan rakyat atau masyarakat dari berbagai bentuk penderitaan menuju kemerdekaan.

Visi dan misi dari berbagai elemen pergerakan dan perjuangan bangsa tersebut, semuanya diiringi, diikat, diperkuat, dan dirawat dengan komitmen, sehingga meskipun melewati rentang waktu perjuangan yang cukup lama dan disertai pengorbanan jiwa dan harta yang begitu besar, para pahlawan bangsa telah berhasil mengantarkan Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaannya. Gelombang dahsyat pertama dari kristalisasi komitmen—yang diawali dengan kepedulian—adalah peristiwa kolosal dan ikrar “Sumpah pemuda”, pada tanggal 28 Oktober 1928.

Tampaklah dengan jelas, betapa penting dan strategis kepedulian dan komitmen dalam sejarah perjalanan dan perjuangan Indonesia. Apa lagi, hanya dalam konteks mempertahankan dan mengisi kemerdekaan bisa dipastikan peran besar dan strategis dari kepedulian dan komitmen bisa lebih dahsyat lagi. Hanya saja, seperti yang telah terungkap di atas, keduanya terasa hilang—jika pun tidak, berarti semakin redup dalam diri generasi sekarang.

Kepedulian jangan dimaknai sempit hanya sebatas tindakan dalam semangat mengisi ceklistceklist donasi sebagai respons dari berbagai peristiwa bencana alam dan kemanusiaan. Melampaui jauh dari itu, kepedulian mencakup berbagai lingkup kehidupan yang lebih luas tanpa kecuali dalam tata kelola bangsa dan negara.

Sebagai contoh, ketika ada atau banyak pejabat negara melakukan korupsi. Ada pula yang secara sengaja mengacak-acak benteng pertahanan konstitusi dan melabrak berbagai regulasi demi kepentingan diri, keluarga, dan golongannya. Itu berarti kepedulian belum hadir dalam dirinya. Inilah maksud bahwa kepedulian jangan dipersempit hanya dalam konteks tindakan bencana dan kemanusiaan.

Menggunakan pendekatan rasa dan terinspirasi dari makna “pikiran dan/atau kesadaran kritis”, saya tidak ingin terjebak pada fungsi konfiks ke-an yang mengapit kata dasar “peduli” yang berpotensi hanya mengandung makna sebagai “kata benda yang menyatakan hal” dan “kata kerja pasif dan menyatakan hasil” peduli—di antara lima fungsi ke-an. Saya merasakan kepedulian sejatinya sebagai kata kerja aktif.

Saya memaknai kepedulian sebagai kata kerja aktif meskipun di luar dari fungsi konfiks ­ke-an karena ini mengandung makna yang setara dengan empati dan satu tingkat di atas level makna simpati. Kepedulian tentu saja bukan sekadar memaknai, memahami, dan menyadari realitas secara teoritik atau dalam konteks problematika kehidupan yang faktor penyebabnya bukan sekadar disetujui secara teoritik, tetapi selain itu diikuti langkah nyata dalam pemecahannya atau diikuti dengan langkah solutif.

Kepedulian merupakan titik temu antara dimensi psikologis seseorang dan realitas yang sedang atau telah terjadi. Oleh karena itu, kelahirannya dari diri setiap orang tidak serta-merta atau spontan. Harus dibentuk secara serius, ditumbuhkan, dan dirawat. Membentuk dan membangun kepedulian membutuhkan proses yang mendalam yang diawali dengan kemampuan membaca lintas disiplin—apa lagi di tengah realitas yang tumpang-tindih—kemudian memahami dan menyadari.

Jadi, ramuan yang membentuk lahirnya kepedulian itu multidimensi. Harus memiliki kemampuan membaca diri dan realitas secara filosofis, ideologis, teologis, psikologis, sosial, antropologis, dan bahkan secara konstitusional. Ketika kemampuan membaca ini kurang, kita berpotensi keliru dalam memahami realitas. Bisa jadi “Penderitaan pangeran kecil”—sebagaimana bisa dibaca dalam cerita yang diungkap secara semiotik oleh Yasraf Amir Piliang dalam bukunya Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna (2003) yang ditangkap adalah “suara indah dan merdu” karena sang pangeran meminta tolong dengan cara membenturkan/memukulkan mahkotanya di terali besi. Apa lagi hari ini, ilmu dan praktik pencitraan semakin menuju kesempurnaannya dengan dukungan kecanggihan teknologi.

Setelah kemampuan membaca diri dan realitas, tindakan nyata—meskipun sederhana—harus terus dilakukan agar menjadi kebiasaan untuk selanjutnya menjadi karakter. Sebagaimana tulisan saya kemarin di Khittah.co yang berjudul Tanda Koma Menghentikan Langkahku ada beberapa poin, baik sebagai penegasan, contoh, dan upaya memupuk kepedulian itu sendiri.

Atau, mungkin saya bisa menambahkan di sini untuk memberikan satu insight lagi. Jika saya sebagai anggota organisasi pelajar, maka saya harus memahami posisi diri saya. Kemudian harus pula menyadari bahwa organisasi ini bukanlah ruang untuk mengimplementasikan kemampuan, melainkan ruang untuk membentuk dan memupuk potensi menjadi karakter positif, produktif, konstruktif, fungsional, dan berorientasi masa depan. Tentu saja, ada pula organisasi yang menjadi ruang implementasi potensi yang telah dimiliki selama ini.

Di organisasi pelajar, kita membentuk skill (kecakapan) dan karakter yang akan bermanfaat bagi kehidupan berikutnya yang akan dihadapi. Jadi ada banyak hal yang bisa dipupuk bukan hanya kemampuan intelektual. Kemampuan berupa kecakapan masak-memasak, kebiasaan membersihkan ruangan adalah kecakapan yang dibutuhkan pula untuk kehidupan berikutnya, maka ketika di organisasi pelajar, kita membiasakan diri memasak secara mandiri dan termasuk membersihkan ruangan itu bukan hal buruk. Dan ini (seperti membersihkan ruangan sekretariat dan ruangan yang digunakan), tentu saja selain bermakna memberikan kepedulian pada diri sendiri demi kehidupan berikutnya yang membutuhkan kemampuan yang sama, merupakan pula upaya membangun kepedulian agar kelak menjadi karakter dalam menghadapi kehidupan yang lebih kompleks.

Ada banyak dimensi dalam ramuan kepedulian. Namun, yang ingin saya tekankan untuk membangun kepedulian tersebut harus diawali pula dengan kemampuan membaca secara mendalam diri kita masing-masing,  begitu pun realitas yang ada, tentu saja cara efektifnya adalah dengan banyak membaca buku selain dengan melakukan perenungan mendalam atas diri dan realitas yang dihadapi. Kepedulian pun mengikuti hukum big data dan algoritma. Artinya bacaan kita akan menjadi bagian big data selanjutnya memengaruhi proses algoritmik dalam bersikap, bertindak, membuat kesimpulan, menetapkan keputusan.

Kepedulian yang saya jelaskan di atas sebagai ramuan yang multidimensi, mungkin masih kurang dari satu persen. Namun, tentu saja ruang ini tidak cukup untuk menguraikannya secara detail. Kepedulian pun memiliki relevansi dengan apa yang selama ini saya rumuskan dan bagikan ilmunya ke banyak generasi muda, yaitu “Konsep diri”.

Selain kepedulian, memang harus diiringi, diikat, diperkuat, dan dirawat dengan komitmen. Komitmen itu memang sangat penting. Komitmenlah pula yang membuat sebuah prinsip memberikan efek kuat bagi seseorang. Komitmen jika dilekatkan pada makna kepedulian bisa dipastikan akan senantiasa berwajah positif dan konstruktif, meskipun komitmen bisa saja berwujud negatif dan destruktif jika dilekatkan pada prinsip yang negatif dan destruktif pula.

Jika merujuk pada pandangan Howard Thurman yang pernah dipinjam dan dikutip oleh Brian Klemmer ke dalam bukunya The Compassionate Samurai, komitmen bisa dimaknai mencurahkan pusat perhatian pada suatu tujuan atau maksud, gerakan, cita-cita, yang terasa lebih penting ketimbang hidup dan matinya”. Di balik pengertian ini, kita bisa menemukan kristalisasi komitmen dari para pahlawan nasional yang rela mengorbankan jiwa dan hartanya demi Indonesia.

Komitmen secara sederhana menurut Klemmer, melakukan apa yang dikatakan untuk dilakukan tanpa mengenal alasan apa pun. Bagi Klemmer pun “Di dunia ini, yang paling memiliki komitmenlah yang menang”. Dalam Islam komitmen bisa ditemukan dalam konsep “amanah”. Bahkan, kita pun bisa memahami dan menyadari bahwa ternyata awal kehidupan manusia siapa pun dia, itu diawali dengan komitmen ilahiah sebagaimana terungkap dalam QS. Al-A’raf ayat 172.  alastu birabbikum (Bukankah Aku ini Tuhanmu), kita pun selaku manusia menjawab bala syahidna (Betul, Engkau Tuhan kami. Kami bersaksi). Dalam penegasan firman Allah ini menegaskan pentingnya komitmen manusia sehingga pertanyaan Allah pun bukan man rabbuka (Siapa Tuhanmu?)

Seandainya komitmen ilahiah yang telah diucapkan langsung kepada Allah, kita bisa kristalisasi dalam kehidupan keseharian, maka tanpa sumpah/janji jabatan pun yang diucapkan oleh setiap orang sebelum menduduki jabatan, bisa dipastikan tetap akan senantiasa mempersembahkan yang terbaik dalam menjalankan amanah tanpa dibarengi dengan korupsi, penyalahgunaan wewenang, serta tindakan negatif dan destruktif lainnya.

Contoh nyata tentang komitmen ada dalam diri semua manusia. Mengapa kuku hanya menjadi kuku, rambut hanya menjadi rambut, gigi hanya menjadi gigi, karena sesungguhnya masing-masing huruf kimiawi yang terdapat dalam cell masing-masing telah berkomitmen bahwa huruf kimiawi yang aktif di DNA kuku hanya yang berpotensi membentuk kuku yang lainnya di-off-kan, begitu pun dalam cell yang terdapat pada rambut dan gigi masing-masing sesuai komitmennya. Kajian ini cukup dalam, sehingga saya pun merasa tidak mencukupi ruang untuk menuangkan dalam tulisan ini.

Saya tidak menguraikan secara detail alur dari kepedulian dan komitmen sebagai modal kemajuan Indonesia. Namun, dipastikan jika kepedulian dan komitmen terpatri dalam diri anak negeri terutama para pejabat negara dipastikan Indonesia mencapai kemajuan. Sebab Indonesia telah memiliki segalanya, terutama dari aspek sumber daya alam, Indonesia pun sangat kaya raya. Yang dibutuhkan hanya kepedulian dan komitmen agar semuanya bisa dikelola secara benar dan baik untuk kepentingan bersama, bukan kepentingan diri, keluarga, dan golongannya saja. Kepedulian dan komitmenlah pula yang bisa mencegah elit negara menjadi pengkhianat dengan memberikan ruang bagi para oligarki untuk berkuasa dan membuat rakyat menderita.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply