Oleh : Idham Malik*
Menarik sekali tulisan Kanda Asratillah yang berjudul Kognisi dan “Nafas Kehidupan”, menunjukkan teori yang tentu berangkat dari pendekatan ilmiah, bahwa organisme lain juga punya mekanisme untuk menalar dan mengorganisir informasi atau kognisi menjadi sesuatu yang inheren dalam kehidupan, sesuai dengan stratanya masing-masing.
Pertanyaan paling mungkin untuk menerima logika ini, bahwa ketika materi dengan sistem kompleksnya mampu menghasilkan sesuatu yang baru atau autopoesis, apakah setelah materi itu terpisah-pisah, destruksi, pada akhirnya menyebabkan hilangnya sifat baru tersebut. Berarti jiwa yang bersifat inheren dalam materi dengan sendirinya hilang begitu saja.
Sebab, jiwa ataupun kognisi hanya dapat bertahan jika ada syarat-syarat material, yang dalam hal ini faktor-faktor biologi, fisika dan kimia sebagai struktur atau basis tempatnya bermukim kesadaran. Begitu halnya kebudayaan, yang disokong oleh individu-individu yang berinteraksi dalam komunitas, yang beraktivitas dengan sadar, yang pada akhirnya memiliki pandangan-pandangan berdasarkan suasana hidupnya, berdasarkan metode atau cara individu bertahan hidup. Seperti nelayan yang memiliki sifat boros, lantaran mereka dapat memperoleh ikan setiap kali melaut. Seperti petani, yang lebih terencana dalam hal keuangan karena harus betul-betul bersabar dalam menumbuhkan padi sebagai sarana hidupnya.
Ataukah ruh itu, yang kata literatur mulai ditiupkan ketika calon bayi sudah berusia 4 bulan dalam kandungan dapat terpisah secara konsekuen dari tubuh setelah tubuh tidak terkoordinasi lagi. Ruh membentuk entitas baru, dimana ruh juga mengalami perkembangan secara bertahap sesuai dengan usia dan konsumsi ruhaniahnya, yang juga dipengaruhi oleh tindak tanduk ruh itu dalam kehidupan material. Ruh dapat keluar dari tubuh lantaran sudah memiliki dasar-dasar materialnya sendiri, yang sangat halus. Yang berarti ide itu dapat terpisah dari materi, sesuai dengan pendapat Hegel ataupun Plato, namun bertentangan dengan pendapat Aristoteles maupun Marx.
Di sinilah letak kesulitannya, kognisi pascastruktur apakah mungkin? saat kognisi kita yang saat ini bermukim dalam tubuh dan belum pernah melakukan eksperimen pemisahan ruh-kognisi terhadap tubuh. Jika mungkin, bagaimana kah struktur penyokong ruh tersebut? apakah ruangnya tak lagi membutuhkan materi, seperti materi yang dapat kita lihat dan kita rasakan sejauh ini. Sementara ruang dan waktu adalah syarat mutlak hadirnya sebuah kesadaran ataupun intuisi itu sendiri.
Saya pikir, kita butuh menelusuri peristiwa pascastuktur yang kita kenal tersebut. Yang tidak dapat kita buktikan secara empirik, tapi barangkali dapat kita prediksi secara logika, mungkin logika klasik. Dimana ide atau esensi yang utama, ide membentuk dunia, ide mencipta realitas, ide selalu ada dan mengalir dalam dunia. Ide berdialektika dan mewujud, ide yang abadi, menghancurkan dan membentuk dunia baru dimana ide bercokol di dalamnya.
Namun, apakah Maturana dan Varela sepakat dengan model logika seperti itu? Kalau ya, berarti kodok, ular, nyamuk, dan hewan-hewan lain pun mungkin dapat meloncat dari materialitas fisiknya. Jika kira-kira begitu, ruang dan waktu masa pascastruktur itu akan dipenuhi oleh ruh-ruh binatang yang begitu banyak jumlahnya.
* Penulis adalah penggiat literasi Kota Makassar