Oleh: Agusliadi Massere*
KHITTAH.CO, – Komitmen tidak sedangkal dengan defenisi teknis berupa perjanjian kontrak dengan pihak lain. Beyond, melampaui dari itu komitmen adalah mekanisme psikis dalam diri yang memiliki peran strategis, apakah kita akan mencapai kesuksesan atau tidak, atau mampu menjalankan suatu amanah dengan baik atau tidak. Sebelum lanjut membaca, saya mengajak teman pembaca, mari kita merenungkan, pejamkan mata, sebutkan dalam hati kata “komitmen”, lalu selami kesuksesan dan/atau kegagalan yang pernah ada dalam hidup kita! Saya yakin, kita akan menemukan kebenaran komitmen. Jika belum, sekali lagi renungkan dan pejamkan mata.
Saya teringat dengan lima keberanian dalam sesi pencerahan Manajemen Qalbu-nya Aa Gym (panggilan akrab KH. Abdullah Gymnastiar). Lima keberanian yang dimaksud oleh Aa Gym adalah: pertama, berani bercita-cita; kedua, berani memulai; ketiga, berani berproses; keempat, berani berkorban; dan kelima, berani mengevaluasi. Rumus Aa Gym ini, harus satu paket dijalankan agar bisa merasakan kedahsyatannya. Hanya saja jika tidak dilandasi dengan komitmen yang kuat, maka bisa dipastikan akan gagal menjalankan, jika tidak bermula pada keberanian kedua, maka kegagalan itu akan terjadi pada keberanian ketiga.
Jika membuka Kamus Bahasa Indonesia maupun Kamus Ilmiah Populer, maka kita akan menemukan defenisi komitmen itu antara lain: kesatuan janji, kesepakatan, kontrak, dan perjanjian untuk melakukan sesuatu. Sekali lagi, saya tegaskan bahwa substansi dari tulisan ini melampaui dari sekadar defenisi teknis dari “komitmen” tersebut.
Sebagaimana dikutip oleh Brian Klemmer dari Howard Thurman. “Komitmen berarti, adalah mungkin bagi seseorang untuk mencurahkan pusat perhatian pada suatu tujuan atau maksud, sebuah gerakan atau cita-cita, yang barangkali jauh lebih penting baginya ketimbang hidup atau matinya.”
Kesadaran akan urgensi, signifikansi, dan implikasi besar dari sebuah komitmen, sehingga Allah di alam arwah (sebelum alam rahim)—dalam pandangan Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag., penulis buku Islamic Character Building—mengajukan pertanyaan kepada roh sebelum masuk ke janin dalam bentuk “question tag”. Maksudnya, Allah tidak bertanya dengan “Man Rabbuka” (Siapa Tuhanmu?), tetapi Allah bertanya dengan pertanyaan “Alastu Birabbikum” (Bukankah Aku ini Tuhanmu?). Jadi bentuk pertanyaan question tag ini, menuntut adanya komitmen ilahiah dari roh sebelum masuk ke janin, bukan sekadar menjawab dengan jawaban “Allah”.
Teman pembaca, saya mengajak untuk berhenti lagi sejenak. Renungkan atau amati dan analisa dalam perenungan terkait kehidupan kita, baik secara personal, dalam lingkup keluarga, sosial, dan kehidupan yang lingkup atau cakupannya lebih luas (kehidupan berbangsa dan bernegara) maka kita akan menemukan banyak hal. Kita menyebutnya saja dengan “kegagalan hidup” sebagaimana akan diuraikan di bawah ini, karena terjadi persoalan pada dimensi psikis yang bernama “komitmen”.
Siswa gagal naik kelas, penyebabnya karena tidak menjalankan komitmen untuk belajar, padahal ini hakikat dirinya sebagai seorang pelajar. Suami-istri bercerai karena gagal menjaga komitmen, janji suci yang telah diikrarkan pada saat ijab kabul pada hari pernikahannya. Intoleransi mewarnai kehidupan sosial, karena kita tidak komitmen pada nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Indonesia masih tertinggal jauh dari kemajuan bangsa-bangsa lain, karena masih banyak oknum elit bangsa atau oknum pejabat negara yang tidak komitmen pada sumpah dan janji jabatannya. Termasuk tidak komitmen pada tugas pokok dan fungsi (Tupoksi)-nya masing-masing.
Saya membayangkan dan sampai pada kerinduan yang mendalam agar kita semua, khususnya para elit negara, para pejabat negara, cukup satu saja, belajar berkomitmen terhadap posisi kita masing-masing dalam koridor ajaran agama, hukum, etika, tupoksi, dan kode etik yang mengikat masing-masing. Saya yakin ketika energi komitmen hadir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka kesuksesan demi kesuksesan, kemajuan demi kemajuan, kesejahteraan demi kesejahteraan akan menjadi pemandangan indah. Bukan sesuatu yang bersifat utopis dan fatamorgana.
Ada the power of commitment. Indonesia mampu mencapai pintu gerbang kemerdekaan dan berhasil memproklamirkan kemerdekaannya, itu karena komitmen yang kuat dari para pejuang bangsa, yang hari ini, bagi segelintir oknum terasa sebagai barang mewah. Bahkan, meskipun ini bukan contoh yang baik dalam pandangan etika atau spirit kosmopolitanisme, para teroris mampu membajak beberapa pesawat dan menabrakannya ke World Trade Center (WTC), sebuah peristiwa mengerikan pada tanggal 11 September 2001, itu karena komitmen yang kuat dari para teroris tersebut. Sebagaimana defenisi Thurman di atas, yang dikutip oleh Klemmer ke dalam bukunya, para teroris ini, tidak lagi memedulikan hidup-mati, baik diri sendiri maupun bagi ribuan orang lain.
Klemmer dalam karyanya, buku The Comppasionate Samurai (2008), menguraikan sepuluh aturan yang menjadi pedoman hidup samurai pengasih: komitmen, tanggungjawab pribadi, kontribusi, fokus, kejujuran, kehormatan, kepercayaan, kelimpahan, keberanian, dan kehormatan. Klemmer meyakini bahwa sepuluh ciri tersebut yang sekaligus menjadi karakter “samurai pengasih” akan mampu menjadikan dirinya ksatria yang terampil dalam pertarungan sekaligus pejuang dan pencipta yang penuh kasih.
Teman pembaca, mari kita membaca ulang sepuluh ciri dan/atau karakter samurai pengasih di atas, yang dirumuskan oleh Klemmer. Ternyata Klemmer, menempatkan “komitmen” pada bagian pertama. Dan ini, bagi Klemmer dan saya pun sepakat, bukan tanpa alasan. Bahkan sebagaimana yang dikutip oleh Klemmer dari Martin Luther King, Jr, “Saya tidak ingin punya uang untuk diwariskan. Saya tidak hendak punya barang-barang bagus dan mewah untuk diwariskan. Saya hanya ingin mewariskan hidup yang memiliki komitmen”.
Bagi kita umat Islam, tidak harus belajar nilai dan spirit komitmen dari Klemmer. Klemmer bukan satu-satunya tempat belajar. Bahkan jauh ke masa lampau, ribuan tahun sebelum karya Klemmer itu lahir, dalam ajaran Islam telah mengajarkan nilai tersebut.
Komitmen ilahiah yang telah saya tegaskan di atas telah diabadikan dalam Al-Qur’an, sejak 15 abad yanglalu atau abad ketujuh masehi. QS. Al-A’raf [7]:172, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul (Engkau) Tuhan kami), kami bersaksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini”.
Bagi saya “komitmen ilahiah” ini, sebagaimana yang ditegaskan dalam QS. Al-A’raf [7]: 172 itu, adalah core value (nilai inti atau basis nilai) atas komitmen-komitmen berikutnya yang diikrarkan dalam hati, jiwa, dan pikiran untuk menjalani kehidupan empiris. Sebagai core value idealnya ini harus secara terus menerus membingkai komitmen kita di dunia, terutama dalam menjalankan amanah.
Pengucapan sumpah dan janji jabatan, sebelum secara resmi memegang dan menjalan tupoksi dari sebuah jabatan, idealnya harus mampu ditarik garis relasi dengan nilai dan makna pada core value tersebut. Bukan hanya sedalam tenggorokan atau sejauh pendengaran orang-orang yang ikut hadir menyaksikan acara pelantikan (pengambilan sumpah dan janji jabatan) itu.
Jika diri kita senantiasa menghubungkan komitmen duniawi kita dengan komitmen ilahiah sebagai core value, maka kita akan senantiasa mampu menjalani misi mulia pertama manusia, yaitu “beribadah”. Beribadah, sebagaimana dalam Konsep Diri yang saya pahami dan rumuskan sendiri, termasuk dimaknai segala aktivitas duniawi kita dibingkai dengan ridho Allah. Terkait tiga misi mulia manusia, saya telah pernah menguraikan dalam tulisan hari sebelumnya.
Selain dari yang disebutkan sebagai “komitmen ilahiah”, diri kita sebagai umat Islam bisa pula belajar nilai dan spirit komitmen dari bulan Ramadan selama menjalani puasa. Puasa atau seseorang mampu berpuasa, jika kita dalami bukan hanya dorongan kesadaran ilahiah atas perintah Allah yang menegaskan bahwa puasa Ramadan itu wajib. Tetapi yang menjadi sangat penting dalam berpuasa adalah komitmen orang yang menjalaninya. Apalagi urusan puasa, hanya Allah dan yang bersangkutan yang mengetahui. Berbeda dengan ibadah lainnya yang bisa terpantau oleh orang lain, berpuasa dalam makna hakiki yang bukan hanya menahan lapar, haus dan nafsu birahi, tidak bisa terpantau oleh orang lain. Oleh karena itu, dalam hal puasa, yang sangat dituntut adalah “komitmen” untuk berpuasa. Komitmen untuk tetap pada kesadaran ilahiah, perintah dan larangan Allah.
Selain belajar nilai dan spirit “komitmen” dari Klemmer, dialog roh dengan Allah di alam arwah, dan Puasa Ramadan, manusia tanpa terbatas untuk umat Islam saja, bisa pula belajar dari diri sendiri. Apa maksudnya belajar nilai dan spirit komitmen dari diri sendiri?
Untuk sumber belajar yang terakhir ini tentunya kita harus memahami dan memiliki pengetahuan terkait proses yang terjadi dalam cell (sel) yang ada dalam diri kita. Pada cell (sel) yang ada dalam diri, terdapat pembelajaran nilai dan spirit komitmen yang sangat luar biasa atau dahsyat.
Terlebih dahulu, saya ingin menjelaskan dan pasti semua pembaca memahami hal ini, bahwa diri kita pada awal mulanya dalam rahim ibu, hanya satu cell. Dari satu terbelah menjadi dua, dari dua masing-masing terbelah lagi menjadi empat. Dari 4, menjadi 8, 16, 32, 64, 128, 256, 512, 1024, dan seterusnya sampai berjumlah miliaran bahkan ada juga pakar yang menyebut angka triliunan.
Selanjutnya yang harus dipahami, bahwa dalam setiap cell (sel) terdapat DNA yang sama persis huruf kimiawinya dan/atau kandungan big data-nya dengan seluruh cell yang ada dalam tubuh kita. Ada cell yang membentuk menjadi kuku, ada yang menjadi rambut, ada yang menjadi lutut, dan seterusnya sesuai dengan apa yang dimiliki pada diri setiap manusia.
Saya ingin menegaskan pula, bahwa berdasarkan DNA yang ada dalam cell tersebut, maka sesungguhnya cell (sel) yang menjadi kuku pun, punya potensi (bisa) menjadi rambut, bisa menjadi telinga, menjadi hidung, dan lain-lain. Cell yang menjadi rambut pun, sesungguhnya berpotensi (bisa) menjadi kuku, mata, gigi, dan lain-lain. Cell (sel) yang membentuk pantat pun, berpotensi menjadi mata dan/atau hidung. Artinya berdasarkan teori Cell (sel) dan DNA ini, di bagian pantat pun, punya potensi untuk tumbuh/berkembang menjadi hidung atau mata.
Sebelum saya menjelaskan lebih lanjut, saya ingin mengajak teman pembaca untuk mengkhayalkan dan/atau membayangkan: di kepala teman-teman tumbuh gigi atau kuku, apakah kita masih gagah atau cantik; di gusi kita, bukan gigi yang tumbuh tetapi rambut, apakah teman pembaca masih bisa menikmati lezatnya ayam atau daging (kalau saya pribadi 97% vegetarian, jadi tidak suka semua jenis ikan dan daging); di hidungnya, yang tumbuh bukan bulu hidung tetapi gigi atau kuku; ini belum mengerikan, tetapi coba bayangkan jika di area pantat kita, tumbuh mata dan/atau hidung, apa yang terjadi, mungkin rasanya dunia ini mau kiamat dengan bau menyengat pada saat buang hajat. Berdasarkan pemahaman terkait cell (sel) dan DNA yang ada di dalamnya, ini semua bisa terjadi. Ada potensi di dalam cell (cel) dan DNA kita yang memungkinkan semua hal itu bisa terjadi.
Lalu mengapa itu tidak terjadi? Sebelum menjawabnya, saya ingin menegasakan bahwa Kasih sayang dan Kekuasaan Allah, yang telah menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya ciptaan. Hal itu tidak terjadi karena setiap cell (sel) dan DNA-nya dalam tubuh kita, dalam kendali Kekuasaan Allah, telah membangun komitmen bersama bahwa cell (sel) pada kuku hanya menjadi kuku, tidak menjadi rambut, lidah, mata, dan yang lainnya. Cell (sel) gigi hanya menjadi gigi, tidak menjadi hidung. Cell (sel) rambut hanya menjadi rambut, tidak menjadi kuku, gigi, dan lain-lain.
Cell (sel) pantat hanya menjadi pantat, tidak menjadi mata dan/atau hidung. Cell (sel) lutut hanya menjadi lutut, tidak menjadi mulut, hidung, dan lain-lain. Untuk mudah dipahami lagi atas komitmen bersama para cell (sel) ini relevan pula dengan pemahaman mekanisme on/off DNA. Artinya sel kuku hanya menjadi kuku, karena informasi atau big data– nya yang di-on-kan hanya yang relevan untuk menjadi kuku, big data lainnya, untuk menjadi gigi, rambut, dan lain-lain itu di-off-kan. DNA pada sel pantat, informasi atau big data yang di-on-kan hanya yang relevan atau menunjang untuk menjadi pantat, informasi atau big data lainnya di-off-kan.
Belajar dari komitmen sel ini saja, kita patut bersyukur kepada Allah. Mungkin inilah salah satu alasan sehingga dalam QS. Ar-Rahman [55] ada hal yang secara tegas diulang sebanyak 31 kali, “fa bi’ayyi alaa’i rabbikuma tukadzdziban(i)” (Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?). Andaikan Allah tidak memiliki sifat Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, saya tidak bisa membayangkan jika ada umatnya yang diberi amanah lalu tidak komitmen, maka cukup dierorkan saja apa yang ada dalam cell (cel) DNA-nya sehingga yang teraktivasi tidak sesuai tempat dan fungsinya. Sebagai contoh, seseorang yang korupsi, yang berarti tidak komitmen pada sumpah dan janji jabatannya, maka Allah menghukumnya, dengan cara mengaktifkan atau meng-on-kan DNA hidung pada area pantat sang koruptor. Apa yang terjadi?
Marilah kita menjaga komitmen. Penyelenggara pemilu, jagalah komitmen dengan cara mengedepankan integritas, profesionalitas dan kode etik. Peserta pemilu, jagalah komitmen dengan salah satunya menyiapkan orang-orang berkualitas yang akan dipilih pada pemilu dan/atau pemilihan, bukan orang yang hanya mengandalkan uang. Para pemilih, marilah menjaga komitmen dengan spirit kedaulatan pemilih dan tidak tergoda dengan politik uang. Begitupun para pejabat dan pihak lainnya marilah kita menjaga komitmen. Insya Allah komitmen bersama dan masing-masing akan bermuara pada kemajuan bangsa dan negara Indonesia.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.