Oleh: Agusliadi Massere *)
KHITTAH.CO – Indonesia sebagai nation-state memiliki potensi untuk menjadi bangsa dan negara yang maju, makmur, berdaulat dan berkeadaban pada masa yang akan datang. Selain sumber daya alam yang melimpah, dan potensi sumber daya manusia, para founding fathers telah meletakkan “meja statis”, pondasi yang kokoh. Begitupun Leistar dinamis (bintang penuntun) yang ada cukup terang sebagai mercusuar peradaban bahkan sebagai navigator menuju pulau harapan.
75 tahun Indonesia merdeka, dan masih tertinggal jauh dari derap langkah kemajuan bangsa-bangsa lain. Bahkan ada bangsa lain yang lebih muda, potensi alamnya kurang memadai tetapi dalam percaturan dan peta dunia global, jauh lebih maju dan disegani daripada Indonesia.
Apa yang salah dengan negeri ini? What went wrong? Meminjam pertanyaan yang menjadi judul buku Bernard Lewis, yang menganalisis kemunduran Arab-Islam (Hajriyanto Y. Thohari, 2015:35). Dalam pandangan Hajriyanto Y. Tohari, bisa ditarik sebuah tesis bahwa kemajuan Indonesia masih jauh di depan sana, dengan argumentasi dan analisis yang tajam, kritis dan reflektif.
Selain problem kepemimpinan, mismanajemen termasuk strategi kebudayaan menjadi anasir yang memperkuat tesis Hajriyanto tentang penyebab ketertinggalan bangsa Indonesia. Jika ditarik garis relevansi antara potensi Indonesia yang saya sebutkan pada bagian awal dan apa yang sedang dialami Indonesia, maka benar apa yang disinyalir oleh Hajriyanto bahwa bangsa ini mengalami apa yang disebut dengan cultural lag (kecekakan budaya).
Cekak/lag artinya tidak sampai—dan cultural shortage (ketekoran budaya). Ibarat aki, setrumnya tidak kuat menghidupkan mesin.
Dalam pandangan saya, untuk menjawab what went wrong, maka jawabannya adalah konsep diri. Ada yang salah dari anak bangsa dalam memahami konsep dirinya, atau mungkin sama sekali belum mengetahui konsep diri dan termasuk arti penting dari sebuah konsep diri. Dalam pandangan saya, konsep diri merupakan kata kunci, elan vital dan anasir utama untuk kemajuan sebuah bangsa, tanpa kecuali Indonesia.
Saya masih teringat—mungkin sembilan atau sepuluh tahun yang lalu ketika saya membuat sebuah statement di media sosial (baca: Facebook) menyikapi kisruh dua oknum penguasa, bahwa mereka “perlu diberikan ilmu konsep diri”. Serta merta salah seorang teman, berkomentar antipati dan antitesis atas statement saya tersebut. Pada substansinya kurang lebih teman saya membantah, bahwa tidak mungkin konsep diri bisa memasuki wilayah teknis seperti itu.
Dari respon itu, saya memberikan respon balik, bahwa mungkin saja benar menurut anda dan menyalahkan statement saya, itu bisa benar, karena anda belum memahami konsep diri yang saya pahami. Sekedar tambahan, dari hal ini pula saya terinspirasi bahwa “boleh jadi diri kita atau orang lain menyalahkan konsep (pernyataan, dll) dari seseorang, hanya karena kita belum memahami konsep yang dipahami oleh dia/mereka (subjek pemilik pernyataan yang kita salahkan itu).
Kembali pada persoalan inti tentang konsep diri, yang saya yakini memiliki korelasi positif dengan masa depan Indonesia. Jadi jika konsep diri kita benar dan mampu menjadi ruh ruang idealitas kita dan mampu diimplementasikan dalam realitas empirik maka Indonesia akan mampu menjadi nation-state yang maju atau singkatnya sesuai cita-cita ideal para founding fathers. Begitupun sebaliknya.
Secara sederhana “konsep diri” adalah pandangan, keyakinan, persepsi, penilaian tentang diri termasuk korelasi atas dimensi yang mengitari dirinya. Konsep diri harus menjawab secara filosofis, kritis dan fungsional mengenai: siapa saya, apa kelebihan saya, apa kekurangan saya, apa cita-cita saya dan Apa peran saya.
Keterbatasan ruang (bukan keterbatasan konsep dan waktu) untuk tulisan ini, sehingga semua hal terkait konsep diri, tidak bisa dituangkan secara detail. Teori “konsep diri” sebagaimana yang saya pahami memiliki cakupan yang sangat luas dan bisa dielaborasi, diintegrasikan dengan multidisplin. Khusus untuk tulisan ini lebih banyak saya elaborasi terkait “masa depan Indonesia”.
Pertanyaan siapa saya dalam konsep diri adalah sebuah pertanyaan penting yang harus dijawab secara filosofis dan kritis dan bahkan harus relevan dengan dimensi fungsionalnya (fungsi praksis). Tuntas menjawab ini maka menjadi modal besar untuk masa depan. Sering kali ketika mendapatkan pertanyaan siapa saya (siapa anda), maka jawabannya dihubungkan dengan status sosial, dihubungkan dengan asal usul wilayah dan keluarga.
Siapa saya, memiliki jawaban multidimensi, terkait dimensi personal yang melingkupi fisik-psikis, duniawi-ukhrawi, eksoterik-esoterik. Relevansinya dengan substansi judul tulisan ini, maka pertanyaan siapa saya, minimal meliputi siapa saya sebagai personal, siapa saya sebagai umat yang beragama dan siapa saya sebagai anak bangsa?
Jawabannya harus dimaknai secara filosofis dan menyentuh dimensi praksis. Untuk pertanyaan siapa saya secara personal, maka diri kita adalah sosok yang memiliki dimensi fisik-psikis-ruhani sehingga segala aktivitas hidup kita harus berorientasi dunia-akhirat (bukan hanya dunia). Siapa saya sebagai umat yang beragama (terutama dalam kacamata Islam, sesuai agama penulis) maka tentunya minimal harus ditemukan kesadaran (sebagai sebuah jawaban) bahwa tujuan penciptaan kita dimuka bumi ini (termasuk di Indonesia) adalah untuk beribadah.
Beribadah sebagaimana dalam QS. Adz-Dzariyat: 56, saya memberikan pemaknaan dan relasinya dengan konsep diri dan masa depan Indonesia, bahwa idealnya segala aktivitas manusia, termasuk dalam mengurus bangsa dan negara ini (sebagai rakyat biasa, pengusaha, eksekutif, legislatif dan yudikatif) harus dalam dimensi beribadah. Beribadah saya memaknainya pula dalam dimensi ridho Allah. Jika ini menjadi pegangan maka yakin saja, tidak akan ada lagi korupsi dan sikap serta tindakan yang bermuara pada kehancuran bangsa. Semua menyadari dan menjalankan hak dan kewajibannya sesuai perannya masing –masing.
Kesadaran akan diri sebagai umat beragama, akan menjadi spirit untuk mengelola bangsa dan negara ini dalam dimensi ridho Allah, bukan menciptakan “lingkaran setan” yang mengkhianati amanah rakyat dan menjadikan rakyat sebagai korban yang penuh penderitaan.
Siapa saya sebagai anak bangsa Indonesia? Jawaban filosofis atas pertanyaan ini akan menumbuhkan kesadaran kebangsaan, untuk mengedepankan nalar kebangsaan untuk berkomitmen memegang teguh Pancasila yang telah menjadi konsensus para founding fathers untuk menjadikan pancasila sebagai meja statis, pondasi yang kokoh untuk bangunan keIndonesiaan.
Jawaban filosofis yang memantik kesadaran kebangsaan ini, maka dengan sendirinya, sebagai anak bangsa mustahil menjadi “pengasong” ideologi (ideologi transnasional) yang mengancam Pancasila sebagai meja statis dan leistar dinamis. Kesadaran ini akan membentengi anak bangsa untuk tidak menjadi “cukong politik” dan antek oligarki sebagai embrio utama lahirnya ketidakadilan dalam kehidupan sosial.
Konsep diri termasuk yang menumbuhkan kesadaran akan kelebihan yang dimiliki bangsa, termasuk genius nusantara, peran personal dan kolektif anak bangsa. Menjadi modal besar menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju, berdaulat, makmur dan berkeadaban. Indonesia memiliki Pancasila sebagai ideologi negara, dasar negara dan falsafah hidup bangsa yang perlu menjadi habitus dan terbangun secara utuh dalam konsep diri anak bangsa.
*) Penulis adalah Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng