Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Konsep Diri dan Visi Misi Hidup

×

Konsep Diri dan Visi Misi Hidup

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

 

Awalnya—berdasarkan sejarah filsafat Yunani—manusia fokus pada proses pencarian, untuk mendapatkan pemahaman tentang alam. Ratusan tahun setelah itu lahirlah seorang filosof yang luar biasa bernama Socrates, mengajak sesama filosof mengupas satu soal yang lebih besar daripada segala soal itu (baca: alam), yaitu: “Kita ini siapa?” (Prof Dr. Hamka, 2015/1940).

Kata Socrates “kenalilah dirimu”. “Kenalilah dirimu, maka engkau mengenal Tuhanmu”, ada yang mengatakan ini adalah sabda Rasulullah saw, ada juga yang mengatakan bukan, tetapi dalam tulisan ini kita sedang tidak fokus untuk perdebatan tersebut. Yang pasti ini mengandung kebaikan dan jika direnungkan lebih mendalam mengandung kebenaran.

Minimal dua hal tersebut di atas, telah memberikan penegasan awal—sejenis landasan filosofis dan teologis—betapa pentingnya “Konsep Diri”. Manusia dan setiap diri berada dalam jejaring teks atau tanda. Di dalamnya ada relasi atau koneksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Selain itu setiap manusia atau diri secara personal memiliki harapan-harapan. Dan pada saat yang sama berhadapan dengan peluang sekaligus rintangan.

Pencapaian harapan, cita-cita, tujuan atau apa pun istilah yang digunakan, yang berorientasi pada sebuah target dalam hidup dan kehidupan, sesungguhnya memiliki dua sisi yang paradoks: bisa bersifat mudah atau sulit—dalam mencapainya. Begitupun dalam memaknai peluang dan rintangan sifatnya bisa relatif dan memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Ternyata apa yang bersifat paradoks, relatif, dan berbeda-beda tersebut, sangat tergantung seperti apa setiap diri (subjek) mengenali dan memahami “konsep diri”-nya.

Meksipun saya mengawalinya dari tilikan filosofis, namun untuk tulisan ini saya sedang tidak membahas “konsep diri” dalam pandangan filosofis secara mendalam—atau belum bisa dikategorikan sebagai pandangan filsafat, seperti eksistensialisme apalagi untuk bermaksud untuk menekankan terhadap antroposentrisme. Tulisan ini, hanya semata mengajak pembaca untuk mengenal dirinya, dan  potensi dahsyat yang dimiliki, secara psikologis dan fungsional bisa menjadi modal mengarungi samudera kehidupan dalam rangka mencapai harapan-harapan. Termasuk bagaimana memahami dan memanfaatkan peluang serta menghadapi rintangan yang ada.

Konsep Diri

Konsep diri, secara sederahana adalah suatu pandangan, persepsi, penilaian tentang diri yang diyakini. Hal ini bisa meliputi: “siapa saya?”, “apa kelebihan saya?”, “apa kekurangan saya?”, “apa keinginan, kebutuhan dan cita-cita saya?”, dan “apa peranan saya?”. Meskipun secara filosofis masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang bisa diungkapkan terkait tentang diri. Namun minimal kelima pertanyaan ini, dalam pandangan saya, sudah bisa memenuhi substansi tulisan ini agar secara fungsional bisa menjadi modal dalam mengarungi hidup ini.

Seringkali kita gagal sebelum memulai, dan menyerah sebelum melangkah. Hal ini disebabkan karena kita gagal memahami diri, tepatnya konsep diri. Sama halnya dengan cerita “Telur Burung Rajawali yang Ditemukan oleh Peternak Ayam”, sampai dewasa si burung rajawali itu tidak pernah bisa terbang. Padahal pontesi utama burung rajawali adalah “bisa terbang”. Burung rajawali yang lahir bersama anak ayam tersebut gagal memahami dirinya.

Ada banyak hal problematis yang terjadi dalam hidup, penyebab utamanya karena kita gagal memahami diri. Hal ini bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari lingkup yang paling kecil sampai lingkup kehidupan yang besar/luas. Contoh sederhana, rendahnya kualitas ilmu pengetahuan seorang pelajar, karena malas belajar dan terbiasa mengandalkan kebiasaan nyontek pada saat ujian. Ada oknum pejabat negara korupsi, yang menyebabkan kesejahteraan dan keadilan sulit terwujud dalam kehidupan bangsa dan negara yang kaya raya. Seharusnya pelajar itu menyadari bahwa hakikat dirinya adalah “belajar”, “belajar”, dan “belajar”, bukan justru malas belajar dan melakukan kebiasaan nyontek. Sama halnya si oknum pejabat yang menjadi koruptor itu, dia seharusnya menyadari bahwa kewajibanya mengayomi, melayani, dan menyejahterakan.

Sebelum fokus pada “apa kelebihan saya?” yang akan memberikan atau menjadi pemantik semangat dan keyakinan menggapai harapan. Termasuk pada “apa peranan saya?” yang akan membangkitkan kesadaran atas peran yang harus diambil secara positif, produktif, kontributif, dan rasa tanggung jawab yang besar, tanpa kecuali dua pertanyaan lainnya: “apa kekurangan saya?” dan “apa keinginan saya?” Terlebih dahulu yang harus selesai kita jawab adalah “siapa saya?” Siapa diri kita masing-masing? Siapa Anda? (masing-masing yang sedang membaca tulisan ini).

Seringkali dalam kehidupan, khususnya dalam interaksi sehari-hari, ketika mendapatkan pertanyaan “siapa saya?” (siapa Anda?), maka jawabannya paling jauh ditautkan atau dilekatkan pada “nama orang tua”, “nama kampung”, dan “nama tempat menuntut ilmu”. Saya anaknya “Pak Massere”, “Saya orang Bantaeng”, dan “Saya alumni SMK Negeri 1 Bantaeng”.

Sebagai jawaban atas pertanyaan dalam konteks interaksi sosial yang lingkupnya kecil, sebatas percakapan biasa, mungkin masih bisa dinilai tepat dan wajar. Hanya saja seringkali ini tidak memeroleh pendalaman jika pertanyaan tersebut muncul dalam dimensi psikologis, dalam “intrapersonal relation”, “interpersonal relation” (yang menuntut kesadaran sosial dan tanggung jawab), dan termasuk dalam “God relation” (yang menuntut kesadaran ilahiah, landasan nilai yang kokoh dan orientasi akhirat).

Siapa saya? akan memiliki jawaban berbeda-beda, yang sangat tergantung dimensi filosofisnya. “Siapa saya?” secara personal akan memberikan jawaban yang berbeda dengan “siapa saya?” selaku pelajar, umat yang beragama, dan termasuk berbeda “siapa saya?” selaku warga negara Indonesia yang berideologi Pancasila.

Kemampuan menjawab atas pertanyaan “siapa saya?” dengan pendekatan secara psikologis, filosifis, ideologis dan bahkan teologis adalah modal pertama dan utama untuk mengarungi kehidupan khususnya dalam mencapai harapan yang muara utamanya pada “kebahagiaan” dan “kesuksesan”. Jawaban-jawaban ini memang bersifat abstrak atau sesuatu yang immaterial, tetapi Jika berangkat dari pemahaman dan kesadaran Carl Gustav Jung, Dedy Susanto, Erbe Sentanu, ini lebih utama dan urgen karena secara struktural-hierarkis dalam dimensi psikologis seseorang lebih tinggi, mampu menjadi pemantik, dan bahkan menggerakkan hal-hal yang konkret dan material.

Tulisan ini, tidak bisa menjadi ruang yang cukup untuk menjelaskan semuanya, tetapi saya ingin memberikan satu ilustrasi semoga menjadi contoh yang bisa  dan mudah untuk dipahami. Perilaku kebiasaan nyontek seorang pelajar, dan tindakan korupsi seorang oknum pejabat negara adalah kegagalan atas pemahaman “Konsep Diri”-nya khususnya pada pertanyaan “siapa saya?”

Baik oleh pelajar, maupun oknum pejabat negara koruptor itu, telah gagal memahami hakikat dirinya secara personal dan sebagai umat yang beragama. Pelajar gagal memahami bahwa hakikat dirinya adalah “belajar”, dan oknum pejabat koruptor gagal memahami dirinya, minimal bahwa telah mengemban amanah sebagai “abdi negara yang bertugas mengayomi, melayani, dan menyejahterakan”. Jadi dirinya gagal menjawab “siapa saya?” secara personal.

Pelajar, maupun oknum pejabat koruptor yang diilustrasikan di atas juga gagal memahami “siapa saya?” sebagai umat yang beragama, khususnya dalam konteks tulisan ini saya tautkan umat Islam, karena banyak juga pelajar dan pejabat yang melakukan perbuatan buruk itu, beragama Islam. Seperti apa kegagalan pemahamannya? Dirinya gagal memahami, bahwa satu di antara tiga misi mulia yang diberikan kepadanya di muka bumi ini, adalah “beribadah”. Dalam konteks pemahaman dan konsepsi “Konsep Diri” yang saya rumuskan sendiri, beribadah di sini, tentunya bukan hanya menjalankan “rukun Islam, yang terdiri atas lima”, tetapi kata kuncinya adalah “Ridho Allah”.

Jadi pertanyaan berikutnya, sebagai lanjutan “siapa saya?” sebagai umat yang beragama Islam, apakah nyotek dan korupsi itu, diridhoi Allah?” Saya yakin, jika tidak mampu menjawab secara verbal, tetapi hati kecil kita semua akan menjawab “bahwa perbuatan itu tidak diridhoi Allah”. Lalu mengapa kita melaukannya, karena kita kurang memahami dan menyadari “konsep diri” kita masing-masing.

Dan seringkali dalam forum-forum perkaderan, latihan dasar kepemimpinan (LDK) dan percakapan sehari-hari, saya pun menegaskan bahwa irama kehidupan yang Allah telah tiupkan dalam diri adalah “beribadah” atau “ridho Allah”, artinya jika kita melakukan perbuatan yang tidak diridhoi Allah, maka yakin saja hati kita tidak tenang. Makanya tidak ada pelajar yang nyotek, dan pejabat negara yang korupsi, hatinya “tenang atau bahagia”, tetapi justru sebaliknya, hatinya akan gelisah.

Visi Misi Hidup, dan Relasinya dengan Konsep Diri

Sekali lagi, ruang ini tidak cukup untuk untuk menguraikan lebih dalam terkait konsep diri. Selanjutnya kita akan memahami sedikit mengenai “visi misi hidup”, sebelum menarik garis relasi antara “Konsep Diri” dan “Visi Misi Hidup”.

Kita memberikan makna sederhana saja, bahwa yang saya maksud sebagai “Visi” dalam tulisan ini adalah “cita-cita” atau “harapan-harapan” yang bersifat ideal dan jangka panjang. Meskipun ada pakar kepemimpinan yang membedakan bahwa “visi” identik dengan tujuan secara kelembagaan, sedangkan “cita-cita” identik harapan personal, namun saya tidak fokus pada perbedaan ini.

Dalam kehidupan, satu keniscayaan ideal, bahwa “saya” (Anda), setiap diri, seseorang di antara kita harus memiliki “visi” atau “cita-cita”. Tanpa itu kita diandaikan sebagai “tengkorak berjalan”. Pengandaian yang lebih indah dari “cita-cita” atau “harapan-harapan” adalah “cita-cita bagaikan pelampung agar kita tidak tenggelam dalam samudera kehidupan”.

Visi seseorang, dalam pemahaman konsep diri yang saya rumuskan dan pahami, sangat tergantung dari konsep dirinya. Seseorang akan memiliki visi yang biasa-biasa saja, atau sebaliknya ada yang luar biasa, hal itu sangat tergantung dari “Konsep Diri”-nya. Mudah-mudahan tidak berlebihan dan tidak berdimensi “riya”, jika saya mengambil dan menjadikan diri saya sendiri sebagai contoh. Saya memiliki cita-cita menjadi Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng minimal tujuh tahun sebelum mendaftar, dan bahkan masih punya cita-cita yang lebih besar daripada itu, tidak mungkin lahir andaikan saya tidak memiliki “konsep diri” yang baik. Apalagi jika merujuk latar belakang keluarga saya, yang sangat biasa-biasa saja, termasuk saya sendiri bukanlah seorang “sarjana” yang seringkali dijadikan pemantik psikologis untuk target hidup yang besar.

Misi adalah cara mencapai visi. Bagi orang-orang yang memiliki “Konsep Diri” yang baik dan matang, maka misi yang dimaksud tidak hanya bersifat teknis-prosedural, mekanistik-operasional, bahkan bukan bersifat konkret-material semata. Melampaui ini, misi yang dijalankan sesuatu yang bersifat nonteknis, psikologis, abstrak dan immaterial.

Misi yang saya jalankan dalam menggapai cita-cita atau visi, yang paling utama adalah sesuatu yang bersifat nonteknis, psikologis, abstrak, atau immaterial. Yang saya maksudkan ini relevan dengan konsepsi “niat”, “visualisasi”, “ihsan” (dalam dimensi ajaran agama Islam), “sikap” sebagaimana perspektif John C. Maxwell, Jung, Dedy, Erbe Sentanu. “Prinsip Bintang” perspektif Ary Ginanjar Agustian, perspektif “to see” Rhenald Kasali. Semua ini adalah misi yang saya jalankan melampaui “misi” yang selama ini dilakukan kebanyakan orang dalam menggapai “visi”, “cita-cita” atau “harapan-harapan”. Misi yang tidak biasa ini, lahir dalam pemahaman dan perenungan mendalam atas apa yang saya menyebutnya sebagai “Konsep Diri”.

Baik “visi” maupun “misi” memiliki garis relasi, yang dalam pandangan saya bersifat struktural-hierarkis dengan “konsep diri”. Konsep diri memiliki korelasi positif terhadap visi dan misi hidup seseorang. Artinya seseorang akan memiliki visi, dan mampu menjalankan misi dengan baik dan matang jika terlebih dahulu dirinya (orang tersebut) memiliki pemahaman yang baik, matang dan mendalam dengan konsep diri yang dimilikinya.

Apalagi jika berbicara tentang “hidup” dan “kehidupan” itu sendiri, maka konsep diri memiliki urgensi, signifikansi dan implikasi yang besar dan vital. Hidup yang identik dengan keberadaan aspek “kekuatan”, “kelemahan”, “tantangan” dan “peluang” membutuhkan konsep diri. Satu contoh saja, tantangan akan menjadi penghambat dalam mengapai visi dan menjalankan misi, jika tidak dibarengi dengan konsep diri yang baik dan matang. Dengan konsep diri, maka bisa jadi yang awalnya adalah “tantangan” justru dipandang sebagai “peluang” dan memantik kesadaran untuk menambah “kekuatan” dan memperbaiki “kelemahan.

Konsep diri yang baik dan matang, mampu melakukan transformasi keadaan yang negatif menjadi positif. Konsep diri mampu mengonversi perasaan, misalnya perasaan “khawatir” akan mampu dikonversi menjadi “kesadaran” untuk semakin dekat kepada pusat kekuatan, perlindungan, dan pertolongan, yaitu Allah swt.

Konsep diri akan memantapkan keyakinan. Menambah spirit dan gairah perjuangan. Bahkan, berdasarkan yang sering saya alami secara personal, ketika seseorang “menyudutkan”, “merendahkan” atau yang lebih parah melakukan “justifikasi” dan/atau “vonis” terhadap masa depan saya, maka seketika diri ini terkoneksi kepada “Konsep Diri” khususnya “siapa saya?” sebagai hamba Allah.

Artinya, dalam diri saya tanpa kecuali dalam menggapai masa depan, itu masih menjadi skenario Allah. Yang bisa saja skenario kehidupan saya ini, sepenuhnya berada dalam rel sunnatullah atau law of attraction yang tunduk pada hukum sebab-akibat (kausalitas). Tetapi bisa pula, karena mungkin do’a diri sendiri, keluarga, dan orang lain, Allah hadir mengintervensi law of attraction sehingga tidak tunduk lagi pada hukum sebab-akibat tetapi yang terjadi adalah berdasarkan hak prerogatifNya. Jadi saya pribadi, tidak pernah “khawatir” dan “galau” atas justifikasi atau vonis seseorang yang dialamatkan ke diri saya. Ada Allah, yang lebih berkuasa, meskipun saya tidak pernah pula menafikan urgensi ikhtiar karena ini bagian integral dari konsep diri itu sendiri.

Konsep diri pun, sesungguhnya bisa sampai pada pemahaman dan penyadaran bagaimana sikap ideal atau yang sesungguhnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk konteks Indonesia. Pemahaman lanjutan dari ini, dalam pandangan saya jika ada—sebagai satu contoh saja—yang berupaya menggantikan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, dan falsafah hidup bangsa, maka sesungguhnya dirinya belum memahami dengan baik “Konsep diri”-nya. Begitu pun yang bersikap intoleran atas perbedaan yang ada, berarti dalam perspektif konsep diri, dirinya gagal memahami “siapa saya?” relasinya peta sosiologis bangsa dan negara Indonesia.

Gambaran terakhir di atas ini, hanya sekadar penguatan bahwa sesungguhnya “Konsep Diri” memiliki cakupan yang sangat luas, dan secara fungsional memiliki manfaat yang sangat urgen jika bisa dipahami dengan baik. Konsep diri dan relasinya dengna kehidupan berbangsa dan bernegara, telah pernah saya uraikan secara mendalam pada tulisan-tulisan sebelumnya.

Yang terakhir dan ingin saya tegaskan bahwa, “Konsep Diri” pun mampu membuat diri kita untuk tetap berselancar di atas badai kehidupan. Konsep diri pula, mampu memantik kesadaran yang bisa terwakilkan dalam untaian kalimat “Mungkin, kita tidak bisa menutup mulut orang lain untuk berkata negatif (tentang) terhadap diri kita, tetapi kita (sangat memungkinkan) bisa menutup telinga sendiri untuk tidak mendengar perkataan negatif orang lain”.

 

* Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Banteang, Periode 2018-2023.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply