Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Konversi Perasaan dan Pikiran Melalui Puasa

×

Konversi Perasaan dan Pikiran Melalui Puasa

Share this article

Agusliadi Massere*

KHITTAH.CO, OPINI– Sukses dan bahagia adalah dambaan semua orang.  Dalam pencapaiannya, sesungguhnya bukan hal mudah. Meskipun demikian piranti, baik berupa hardware dan software sudah built-in dalam diri kita semua. Sehingga tidak “mahal” meskipun tidak “mudah”.

Sebagai seorang muslim patut bersyukur. Allah bukan hanya telah meletakkan, sebagai satu paket penciptaan diri kita di muka bumi hardware dan software super canggih tersebut. Ada ibadah, aktivitas, ritual (amalan) yang dipandang sebagai sebuah aplikasi, berfungsi mengaktivasi dan meng-upgrade piranti yang ada dalam diri. Aplikasi tersebut, salah satunya puasa.

Jika memperhatikan perspektif hulu-hilir, sebelum nasib sebagai perspektif hilir, ada perasaan-pikiran sebagai perspektif hulu. Nasib baik diawali oleh perasaan dan pikiran positif. Begitupun sebaliknya. Kecuali jika Allah hadir, hak prerogatif Allah hadir mengintervensi alur (sebagai arus) tersebut.

Brian Tracy—Ceo Brian Tracy International—“Change Your Thinking, Change Your Life”. Dalam konteks tulisan ini saya ingin berkata, “Change Your Feeling & Thinking, Change Your Life”.

Kenapa Tracy, hanya menyebut “thinking” tidak menyebut “feeling”? Dalam dunia management modern yang sangat dikenal oleh para pakar pengembangan diri adalah “positive thinking + goal setting”. Padahal idealnya bukan hanya itu saja, harus—bahkan bagi saya “wajib”—menghadirkan “positive feeling + goal praying”. Erbe Sentanu, “seakan” ingin menegaskan bahwa dalam hidup ini bukan hanya membutuhkan “force” tetapi juga “power”

John C. Maxwell pernah menyampaikan beberapa aksioma, satu di antaranya “Sikap awal kita, menentukan lebih dari apapun juga”. Selain itu Maxwell menegaskan pula, bahwa perbedaan kita dengan orang lain, sangat kecil. Hanya saja perbedaan kecil itu bisa mengakibatkan perbedaan yang besar. Apa perbedaan kecilnya? Yaitu sikap. Dan apa perbedaan besarnya? Apakah sikap kita positif atau negatif.

Mungkin saja Maxwell memandang bahwa sikap tersebut merupakan akumulasi daripada pikiran-pikiran yang ada. Tetapi bagi saya sikap itu adalah akumulasi daripada sejumlah perasaan + pikiran yang teraktivasi dalam diri.

Untuk menuai nasib baik pada masa yang akan datang, maka hari ini harus menabur “benih” perasaan dan pikiran positif. Perasaan dan pikiran dua hal yang tidak bisa dipisahkan, atau bisa dipandang sebagai “saudara kembar” yang saling memberikan pengaruh.

Pikiran positif tidak akan bisa bertahan dengan baik jika muncul perasaan negatif dan mendominasi. Pandangan Dr. Ibrahim Elfiky (Sang Maestro Motivator Muslim Dunia) perasaan adalah bahan bakar. Meskipun demikian, sebaliknya pikiran pula bisa mempengaruhi apakah kita bisa berperasaan positif atau justru negatif.

Alur kehidupan bisa digambarkan secara ilustratif seperti ini: Hati-hati dengan perasaan dan pikiranmu karena itu akan mempengaruhi kata-katamu; Hati-hati dengan kata-katamu karena itu akan mempengaruhi tindakanmu; Hati-hati dengan tindakanmu karena itu akan menjadi kebiasaanmu; Hati-hati dengan kebiasaamu karena itu akan menjadi karaktermu; dan hati-hati dengan karaktermu karena itu akan menentukan nasibmu.

Jika kita membuka sejarah dan perjalanan panjang kejayaan umat Islam, ada satu preseden historis bahwa kemenangan demi kemenangan yang diraih oleh umat Islam, itu berangkat dari perasaan dan pikiran positif. Apapun keadaan, medan yang dihadapi, umat Islam mampu mengonversinya menjadi perasaan dan pikran positif.

Bisyarah Rasulullah Muhammad SAW yang mengandung petunjuk jelas, kabar gembira, dan harapan besar tentang gambaran visioner penaklukan Konstantinopel. Oleh umat Islam dari generasi ke generasi mampu dikonversi menjadi sebuah sikap (akumulasi perasaan dan pikiran) positif. Pada tahun 1453 oleh Muhammad Al-Fatih, kejayaan, ketangguhan Konstantinopel terbukti mampu ditaklukkan. Ini adalah bukti konversi perasaan dan pikiran.

Sebelum lebih jauh, kita harus memahami dulu apa itu konversi. Konversi pada umumnya dikenal dalam dunia teknologi digital (komputer). Bahkan ada sejenis aplikasi converter khusus yang sering digunakan. Dalam dunia teknologi digital yang dikonversi adalah “file” atau “dokumen”. Dunia bisnis dan perbankan istilah ini juga dikenal, seperti konversi mata uang dari dolar ke rupiah.

Konversi itu makna dasarnya mengubah, contoh mengubah file berekstensi “pdf” menjadi “docs”, atau “excel” . File “docs” menjadi “pdf”. File “jpg” menjadi “pdf” dan lain-lain. Tujuan melakukan konversi file dengan kode ekstensi tertentu agar bisa dibuka, digunakan pada aplikasi tertentu sesuai kebutuhan.

Dalam tulisan ini yang dikonversi perasaan dan pikiran. Jadi perasaan atau pikiran. Yang “berekstensi” negatif dikonversi menjadi perasaan dan pikiran yang “berekstensi” positif. Tujuannya sangat jelas agar perasaan dan pikiran ini bermuara, berkontribusi, bermanfaat dalam pencapaian cita-cita, visi dan nasib positif. Dalam jangka waktu singkat, tujuannya merasakan ketenangan, kesenangan dan kebahagiaan.

Banyak hal dalam hidup, yang membuat tidak mampu melepaskan diri dari kungkungan, “penjara” perasaan dan pikiran negatif. Padahal para pakar pengembangan diri telah mengeluarkan aksioma “perasaan ataupun pikiran negatif, seringkali membuat kita mati sebelum diri kita mengalami kematian yang sebenarnya”.

Ketika kita pesimis, berhenti bahkan mundur dari sebuah medan perjuangan ataupun perjalanan menuju sukses, maka bisa dipastikan bahwa dalam diri kita sedang tidak memiliki perasaan dan pikiran positif, melainkan sebaliknya. Mundur sebelum berjuang itu juga karena perasaan dan pikiran negatif.

Jika saya elaborasi dan integrasikan antara pengalaman pribadi dengan dua hal di atas (positive thinking + goal setting dan positive feeling + goal praying), saya mendapatkan satu insight  bahwa pikiran positif (salah satunya) bisa dinilai sifatnya rasional, memiliki relasi kekuatan eksternal-horisontal, faktor material dan pragmatis. Meskipun untuk konteks pemahaman lain, saya sering arahkan untuk memiliki relasi dan integrasi lainnya.

Sedangkan perasaan positif, selain memang dipengaruhi oleh pikiran pula, juga bisa dipengaruhi oleh sesuatu yang built-in dalam diri. Termasuk keyakinan kepada Allah sangat mempengaruhi. Sehingga bisa berfungsi memperkuat pikiran positif.

Erbe Sentanu, kurang lebih menggambarkan seperti ini. Positive thinking + goal setting, itu berarti hanya mengandalkan kekuatan pribadi dan baginya (baca: Erbe Sentanu) adalah force. Sedangkan positive feeling + goal praying, itu berarti kekuatan pribadi dan kekuatan (ke-Maha Kuasa-an) Allah, dan ini adalah power. Jadi berbeda antara force dan power.

Perpaduan antara apa yang dipersepsikan oleh Erbe Sentanu sebagai “force” dan “power” di atas, telah saya buktikan dan sangat bermanfaat dalam kehidupan, terutama ketika saya ikut seleksi calon anggota KPU Kab. Bantaeng periode 2018-2023.

Coba bayangkan, ada yang meremehkan karena saya bukan sarjana (hanya menggunakan ijazah SMK), ada juga yang khawatir karena ijazah saya hanya SMK dan bahkan ada yang meminta saya mundur karena alasan yang sama, “katanya sulit bersaing jika hanya mengandalkan ijazah SMK”.

Jika hanya menggunakan positive thinking + goal setting, dan lalu perasaan saya negatif dan melupakan kehadiran Allah dalam perjuangan, bisa saja aksioma andalan Tracy “Change Your Thinking, Change Your Life” akan “bobol”. Atau dalam rumusan konsep diri saya, benteng “psiko-material-pragmatis” saya sudah bobol karena serangan “bertubi-tubi”.

Dan tentunya saya akan mendengarkan “argumentasi rasional” teman, untuk memilih mundur sebelum bertarung “menjelang tes awal, CAT”. Dan saya tidak akan pernah berdiri di sini, untuk semakin optimis menatap masa depan yang lebih gemilang.

Alhamdulillah, dalam perjalan hidup ini, saya bukan hanya mengandalkan positive thinking + goal setting yang bisa dipandang sebagai benteng pertahanan pertama. Saya juga menggunakan positive feeling + goal praying (kekuatan diri + kekuatan Allah) dan ini adalah benteng utama dan dalam rumusan konsep diri saya, menyebutnya, benteng “psiko-religious-spiritualistik”. Insya Allah ini lebih kokoh daripada tembok cina.

Saya mengatakan dalam diri, bahwa “tidak ada yang mustahil bagi Allah”, “Allah-lah pemilik kerajaan langit dan bumi”, “Allah-lah yang memberikan kekuasaan kemuliaan kepada orang yang dikehendakinya dan sebalik mencabut kekuasaan dan kemuliaan itu”. Dan saya selalu ingat janji Allah bahwa, “Allah akan memberikan keunggulan kepada orang yang beriman dan berilmu”. Dan saya selalu berdo’a dan rajin belajar minimal itu menjadi pemantik keyakinan bahwa Insya Allah saya adalah orang “beriman dan “berilmu”.

Dari semua ini, lalu apa hubungan dengan puasa? Betulkah puasa mampu mengonversi perasaan dan pikiran menjadi berekstensi “positif”? Atau puasa itu adalah Aplikasi Converter Perasaan dan Pikiran?

Jika diintegrasikan antara pengalaman spiritualitas saya dengan berbagai literatur pengembangan diri yang ditulis oleh para pakar baik nasional maupun internasional. Saya menyimpulkan, bahwa “iya” puasa bisa sebagai aplikasi converter.

Erbe Sentanu menganalogikan (dengan meminjam istilah dunia komputerisasi) perasaan dan pikiran itu adalah software dan hati nurani  adalah operating system. Untuk lebih mudah dipahami, Operatting System (OS) dalam dunia komputer, contohnya adalah Windows (Windows 97, Windows 98, Windowx XP, Windowx Vista, dan berbagai versi lainnya), ada juga OS disebut Linux. Sedangkan yang masuk kategori software seperti Word, Excel, Pemutar lagu, Pemutar video, Photoshop, Corel, Flash, dll.

Puasa—meskipun para pakar pengembangan diri yang saya rujuk, tidak menarik relasi dengan puasa—disatu sisi langsung bersentuhan dengan “operating system” dan sekaligus bisa menjadi software itu sendiri. Puasa berfungsi untuk meng-upgrade dan meng-update dengan memasukkan nilai-nilai “keimanan”, “kesabaran”, “pengendalian diri”, “keikhlasan”. “empati” “harapan mulia”, “janji Allah”, dan “spiritulitas ihsan, perasaan disaksikan Allah”. Jadi sudah terbukti puasa adalah aplikasi converter (untuk konversi).

Puasa ini pula yang telah mengonversi pikiran dan perasaan “ngantuk” saya untuk tidak tidur setelah sahur dan shalat subuh agar bisa menyelesaikan tulisan “Ngabuburit Literasi” setiap hari. Dan perasaan yang telah melewati proses konversi pula, sehingga saya juga tidak bisa egois, dan segera menghentikan tulisan ini. Meskipun ide ide saya mengalir deras terus, saya harus sadar tulisan ini untuk dimuat di media online, ada “rules of games”-nya. Saya harus segera hentikan.

*Agusliadi Massere adalah Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply