Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Opini

Langkah Menjadi Intelektual Profetik

×

Langkah Menjadi Intelektual Profetik

Share this article

Oleh: Mansurni Abadi*

Seringkali dunia gerakan khususnya mahasiswa bukannya menghasilkan intelektual yang sejati malah intelektual yang memiliki sifat ego atau boleh dibahasakan sebagai takabbur, hal ini menjadi wajar apalagi jika subjektivitasnya, dirinya  mempunyai kelebihan berbanding dengan orang lain. Apabila sifat ini menguasai diri seseorang, maka ia akan menyebabkan wujudnya masalah khususnya di dalam lingkungan sosialnya .

Untuk menghindari sifat menjadi ego tadi, kita harus mulai memasuki ruang  intelektualitas yang sebenarnya berpadu dengan spiritualitas dan itu harus  secara  mendalam hingga benar-benar menjadi apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai intelektual profetik. Ini sebuah istilah yang mudah diucapakan namun sebenarnya susah-susah gampang untuk kita terapkan, jika kita mengacu pada pendapat kuntowijoyo yang didasarkan pada ayat Q.S. Ali-Imran ayat 110 yang terjemahannya:

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.,

Kader-kader IMM baik di Malaysia maupun di Indonesia harus menjadi magnet perubahan yang memadukan amal dengan ilmu dan ilmu dengan amal, sebagaimana yang tertulis dalam semboyan ikatan “ Anggun dalam moral, unggul dalam intelektualitas”. Menariknya, hal ini  pernah dijelaskan oleh kader terbaik Muhammadiyah sekaligus presiden pertama Republik Indonesia, siapa lagi jika bukan sibung besar Sukarno yang  dalam pidatonya pada tanggal 19 september 1951, di audotarium senat  universitas Gajah Mada,  berujar :

“Ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidupnya manusia, atau praktek hidupnya bangsa atau praktek hidupnya kemanusiaan, maka itulah sebabnya saya selalu mencoba menghubungkan ilmu dengan amal; menghubungkan pengetahuan dengan perbuatan, sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan dan perbuatan di pimpin oleh pengetahuan…. Bahwa pengetahuan, bahwa ilmu,bahwa kennis, bahwa wetenscahp , bahwa teori adalah tiada guna, tiada wujud, doelloos, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya hidup. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal!”

Menjadi intelektual profetik akan  berkonseksuensi menjadi seorang intelektual yang organik sekaligus representatif sebagaimana semangat dalam term Fi Sabililhaq Fastabiqul Khaerat yang tidak bisa terlepas dari konteks jalbul mashalih wa dar’ul mafasid (mendatangkan kemaslahatan atau manfaat dan menolak mafsadah) yang berkonsekuensi dalam upaya terus-menerus untuk melindungi agama (hifdzu ad-din), melindungi akal (hifzu al-aql), menjaga harta (Hifdzu al-mal), dan menjaga keturunan serta harga diri (Hifdz al-‘irdli wa al-nasl) .

Sehingga Menjadi intelektual organik sebagaimana yang Antonio Gramsci tuliskan dalam bukunya Prison Notebook adalah seorang intelektual yang hadir dan hidup di tengah-tengah masyarakat dan tidak memisahkan dirinya dengan realitas penderitaan yang sedang di alami oleh masyarakat. Di sisi lain menjadi representatif sebagaimana gambaran Julien Benda sebagai intelektual yang  menempatkan dirinya menjadi contoh nilai-nilai baik sekaligus transformatif  di tengah – tengah masyarakat, dan tidak terjebak pada hal-hal sempit yang bisa merusak perdamaian dunia .

Namun perlu digaris bawahi di sini menjadi intelektual tidak sama dengan menjadi cerdas yang diukur dengan apakah dia mendapatkan beasiswa atau tidak apalagi dengan tes IQ. Di sini saya tidak mengatakan bahwa mereka yang mencapai nilai lebih tinggi pada tes tentu saja tidak cerdas, tetapi saya selalu melihat kecerdasan dari perspektif lain.

Pada dasarnya kita semua berbeda dalam hal kecerdasan  namun puncak daripada tanda kecerdasan menurut saya  ditunjukkan dengan kesadaran. Dan kesadaran itu harus kita mulai dengan sikap peduli dan mau ambil tahu  tentang apa yang terjadi di sekitar kita dan sebisa mungkin memiliki niat untuk  merubahnya tentu saja dengan kapasitas yang kita bisa.

Seringkali kita sudah sampai pada level sadar namun pada akhirnya kita takut bertindak karena kita tidak tahu langkah- langkah strategis yang harus kita mulakan, bagi saya ada beberapa tips untuk menjadi intelektual profetik

Langkah Strategis Menjadi Intelektual Profetik

Pertama, perdalam hubungan kita dengan sang Khalik  karena untuk  tahu tentang ciptaan terbaik harus melalui penciptanya! Allah tahu kamu lebih baik dari sangkaanmu terhadap dirimu sendiri ataupun dari orang lain terhada dirimu.

Semakin kita mengenal Allah, semakin kita  mengenal diri kita sendiri sebagaimana firman-Nya “Dia tahu rahasianya dan apa yang lebih tersembunyi.” [Qurâan – 20: 7]. Jika kita dekat dengan Sang khalik kita akan mengetahui ada dinamika di dalam diri kita yang bahkan tidak kita sadari yang berdampak pada cara kita berperilaku, tetapi Allah mengenal kita lebih baik daripada kita mengenal diri kita sendiri yag seringkali terbatas dan samar.

Kedekatan spiritual kita dengan-Nya akan membantu kita mengungkap kompleksitas yang sudah tertanam dalam diri kita, menjadi manusia yang lebih sehat, memberi kita kepercayaan diri dan kejernihan serta meringankan kita dari kesedihan dan emosi negatif dalam hidup kita. Sehingga proses kehidupan kita menjadi individu yang tidak mudah terbawa arus banalitas modern, sebagaimana yang di ungkapkah oleh Hannah Arendt dalam bukunya Eicham on Jerussalem  sebagai kondisi  kedangkalan kualitas intelektual  yang tidak kita sadari.

Kedua, yang perlu kita lakukan adalah  terus-menerus mengembangkan kesadaran terhadap ketidaktahuan. Kita harus terus membuka diri terhadap segala hal yang baru yang tidak diketahui atau pun jika sudah kita ketahui kita harus tetap menerimanya sebagai sebuah hal yang baru dan sebagai bahan koreksi terhadap  basis pengetahuan kita selama ini. Untuk memulai memiliki kesadaran terhadap diri, kita memulainya dengan keterbukaan untuk melalukan dialog ke luar dan berdialog ke dalam diri kita (deliberasi).

Kita harus keluar dari kesadaran palsu maupun sinis yang dijelaskan  oleh filsuf Slovakia, Slavoj Zizek sebagai dua kondisi kesadaran, yang pertama, menempatkan kita selalu dalam kepalsuan dan yang kedua, menempatkan kita dalam keapatisan terhadap hal-hal yang salah yang sebenarnya kita sudah ketahui hal tersebut salah .

Ketiga, mulailah berkomitmen untuk jangka panjang namun tetap dengan intensitas yang rendah. Kita boleh menargetkan hal-hal besar tetapi ingatlah sesuatu yang besar tidak dimulai dari sesuatu yang juga besar, mesti ada langkah-langkah kecil yang dilaksanakan dengan penuh komitmen untuk mencapainya. Memulai dari yang mungkin dan konsisten adalah kuncinya.

Keempat, kembangkan empatimu dengan menghabiskan waktu dengan beragam orang namun tetap memegang prinsipmu sehingga tidak ikut arus dan melewati batas.   Seseorang yang memiliki empati terhadap orang lain mungkin sering bisa lebih efektif mendefinisikan cara berpikir dan suasana hati orang lain sehingga dirinya bisa lebih efektif dalam menjalin persahabatan dengan orang lain.

Empati sering ditandai sebagai kemampuan untuk “menempatkan diri kita  ke dalam pemikiran atau perasaan  orang lain”, atau mengalami pandangan atau emosi makhluk lain di dalam diri sendiri, kalau dalam psikologis hal itu semacam resonansi emosional sehingga mempermudah kita dalam melalukan live-in di tengah-tengah masyarakat .

Terkait Empati ada sebuah hadis nabi yang diriwayatkan kepada  Sayyidina Anas r.a di mana nabi Muhammad  S.A.W bersabda “Tidak akan beriman seseorang pun di kalangan kamu (secara sempurna) sehinggalah dia menyayangi saudaranya seperti mana dia menyayangi dirinya sendiri.” (Hadis Riwayat Imam Bukhari).

Trias metodelogi Islam berkemajuan

Akhirnya kita sampai pada kesadaran yang utuh terhadap Islam berkemajuan yang harus dimulai dari kita sendiri sebagai mikro sistem sebelum ke tingkatan mezzo hingga makro. Konsep Islam berkemajuan pada dasarnya  sudah sangat tepat sebagai antithesis dari proses dehumanisasi yang dibawa oleh modernisme sekular yang menempatkan manusia sebagai sentral kehidupan dan membuang sisi ketuhanan akibatnya sikap eksplotatif terhadap ekosistem alam dan lebih jauh lagi sistem kehidupan terjadi sehari-hari di depan mata kita.

Islam berkemajuan adalah bagian penting dari proses transformasi dan evolusi sebagai titik balik solusi masalah yang sudah timbul di era modern ini. Dalam proses besarnya Islam berkemajuan dapat kita lakukan melalui tiga metodelogi di antaranya interprestasi, internalisasi, dan aktualisasi.

Interprestasi Islam berkemajuan adalah upaya dalam mentafsirkan dan menguraikan kembali ajaran-ajaran Islam dengan berlandaskan pada kajian keilmuwan dan alamiah yang bersifat universal, namun tidak melanggar akidah keislaman. Tidak menjadi ekstrim kiri maupun ekstrim kanan sehingga hasilnya akan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Di sini tugas intelektual profetik khusus kader IMM Malaysia harus menyakinkan sekaligus mendorong  orang lain khususnya orang Islam sendiri untuk merubah cara berpikir dan tingkah laku mereka jika salah dan tidak benar agar sesuai dengan Nilai-nilai keislaman

Sementara internalisasi Islam berkemajuan dilakukan dengan penghayatan, pengendapan, kesadaran, serta penyatuan nilai – nilai keislaman untuk melekat dalam kepribadian sehari-hari. Di sini menjadi tugas kader IMM Malaysia dalam menguatkan lingkaran kosentris meminjam istilah kaum kiri untuk terus menanamkan penyadaran tersebut dalam setiap perjumpaan terhadap sesama kader maupun orang islam pada umumnya.

Terakhir adalah aktualisasi Islam berkemajuan dengan mengamalkan segala nilai-nilai keislaman yang telah diperoleh dari proses interprestasi dan internalisasi dalam bentuk aksi-aksi nyata secara berkelanjutan dan tentunya harus membumi.

Akhirul kalam, kunci  sukses dalam setiap perjuangan  adalah keyakinan sembari mengaplikasikannya dalam perbuatan jika sudah ada kesatuan antara pemikiran, perkataan, dan perbuatan maka kejayaan Islam berkemajuan akan nampak di depan mata dan tidak hanya sebatas retorika saja. Kita harus mengedepankan prinsip kesuksesan yang diajarkan Islam yaitu “Man jadda wa jadda”, barang siapa bersungguh-sungguh maka dialah yang akan mendapatkan, dalam konteks makro kita bisa menerapkan hal tersebut untuk membumikan penyadaran terhadap islam berkemajuan.

Namun perlu adanya keseimbangan dari tingkat mikro sebelum berbicara ke level makro karena jika dalam terminologi pohon, kita bisa ibaratkan  sebagai kesatuan antara akar, buah, dan batang. Maka para kader IMM Malaysia, termasuk saya, anda, dan kita harus memiliki power of the will atau icha Shakti yaitu kebulatan tekad bulat untuk mengubah kondisi yang penuh kezaliman, memiliki Power of knowingness atau gyaana Shakti dengan mengembangkan keahlian, memiliki daya tahan dalam berkerja dan menuntut ilmu, dan terakhir harus mempunyai Power of Action atau kriya Shakti yaitu melaksanakannya setiap saat dengan hal-hal positif dan penuh keceriaan sesuai dengan perintah nabi yang  “Man amila bima alima warrotsahullohu ilma maa lam ya’lam. (Barangsiapa yang mengamalkan apa yang telah diketahui, maka Alloh akan mewariskan kepadanya pengetahuan yang belum diketahui.)

 

* Kader IMM Malaysia / Wakil Presiden Persatuan Pascasarjana Universitas Kebangsaan Malaysia

Sumber ilustrasi: Kompasiana.com

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply