Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Literasi Membentangkan Lahan Subur bagi Pancasila

×

Literasi Membentangkan Lahan Subur bagi Pancasila

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Apa pun bentuk impian besar Indonesia sulit terwujud tanpa ditopang oleh sesuatu yang dipercayainya dan mengandung dimensi moral. Termasuk,  sesuatu yang dipandang sebagai konsepsi dan cita ideal. Kesimpulan saya ini adalah percikan pandangan dari John Gardner dan Soekarno yang bisa ditemukan—di antaranya—dalam buku-buku karya Yudi Latif.

Terhadap kedua hal di atas yang bisa pula dipandang sebagai modal besar, penting, dan strategis, Indonesia telah memilikinya sejak 1 Juni 1945: Pancasila. Ada peristiwa monumental yang dirujuk pada rentang sejarah dan fase pembuahan, perumusan, dan pengesahan Pancasila, sehingga 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Yaitu, Soekarno melalui pidatonya, 1 Juni 1945, menguraikan tentang lima prinsip yang disebutnya Pancasila.

Pancasila adalah dasar negara, pandangan dunia bangsa, dan kepribadian bangsa. Pancasila pun adalah meja statis yang menjadi fondasi kokoh tempat diletakkannya bangunan keindonesiaan di atasnya. Selain itu, Pancasila adalah leitstar dinamis, bintang penuntun.

Dari penegasan di atas, ada hal paradoks minimal tentang pandangan kita terhadap Pancasila. Begitu pun harapan besar para pendiri bangsa yang telah bersusah-payah merumuskan dan meletakkan Pancasila sebagai dasar negara, pandangan dunia, dan kepribadian bangsa, dalam realitas sosial-politik mengalami kegersangan. Singkatnya, kita sering merasakan realitas yang jauh dari nilai-nilai Pancasila. Selain itu, kita pun—sebagaimana pandangan Mohammad Sabri—mengalami kekosongan kognisi Pancasila.

Sebagai langkah awal, saya mengajak kita jangan terjebak pada pandangan Karl Marx yang dalam rentang perjalanan pandangannya mendapatkan peneguhan behaviorisme dalam psikologi, yang secara substansial memandang manusia seperti “mesin biologis” yang dikondisikan untuk bereaksi terhadap stimulus eksternal. Efek negatif dan destruktif dari pandangan ini menegaskan “Subjek berpikir bersama ide, nilai, perasaan, dan niat, merupakan sesuatu yang tak relevan” (Yudi Latif, 2020: 191). Yudi Latif pun kembali menegaskan, “Pandangan yang mirip dengan itu datang dari paham materialisme dialektis, suatu bentuk kasar dari Marxisme”.

Kita harus memahami dan menyadari dan itu berbeda dengan pandangan Marx dan perspektif behaviorisme-psikologis di atas, bahwa idelah yang memengaruhi realitas. Ekonom Inggris pun, John Meynard Keynes (dalam Yudi Latif) menegaskan  “Dunia dikuasai oleh orang yang tak lain adalah para teoritisi ekonomi dan filosof politik. Manusia praktis, yang menyakini bahwa dirinya sangat terbebas dari pengaruh intelektual, biasanya adalah budak dari ekonom yang sudah mati”.

Langkah awal ini penting untuk menghindari jebakan pandangan yang menggiring fokus, sikap, dan tindakan kita pada orientasi material dan infrastruktur semata. Ada sejenis pengingkaran atau minimal perbedaan sikap atau paradoks dari apa yang telah ditegaskan melalui lagu kebangsaan Indonesia Raya. Di dalamnya telah digariskan “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”.

Memperhatikan realitas kehidupan berbangsa dan bernegara,—terutama yang dilakoni oleh para elit negara—kita akan sampai pada kesimpulan dalam diri bahwa bangsa kita sedang mengalami kegersangan jiwa. Jiwa yang gersang minimal ditandai oleh sikap dan tindakan yang senantiasa negatif dan destruktif. Jauh dari patriotisme, apa lagi welas asih. Kasus korupsi yang semakin menggila, upaya menggerogoti supremasi hukum dan konstitusi, dan ruang nyaman bagi oligarki adalah bukti-bukti yang tidak bisa terbantahkan. Bahkan, hari-hari terakhir ini, saya merasakan negeriku, Indonesia, telah menjadi “Negeri para tim sukses”.

Dalam jiwa yang gersang, ibarat pohon, Pancasila dan nilai-nilai yang ada di dalamnya sulit tumbuh subur. Dalam kondisi seperti ini, Pancasila sebagai konsepsi ideal di atas kertas tentu saja masih sangat dahsyat, tetapi sebagai pandangan dunia, sebagai dasar negara, kepribadian bangsa, atau minimal sebagai landasan operasional berbagai kebijakan negara, itu mengalami pendangkalan. Tidak terasa lagi.

Di atas ditegaskan—salah satunya—Pancasila sebagai meja statis, sebagai fondasi kokoh tempat berdirinya bangunan keindonesiaan. Sekokoh apa pun Pancasila, tentu saja tetap membutuhkan lahan yang kuat dan subur agar fondasi itu tidak runtuh, retak, dan tidak digerogoti oleh parasit, tetapi nilai-nilainya mekar, menjalar, memancar, dan cahayanya merembes mewarnai segala dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pancasila tentu saja bukanlah bentuk skill, bukan hanya langkah teknis dan prosedural. Pancasila bukan hal yang bersifat material dan infrastruktur. Pancasila—dan itu pun ditegaskan oleh Yudi Latif dalam buku Memperadabkan Bangsa: Paradigma Pancasila untuk Membangun Indonesia (2022)—“Sebagai dasar negara mengandung ‘pikiran yang sedalam-dalamnya’. Untuk merealisasikannya diperlukan prasyarat kecerdasan (dalam segala jenisnya)”. Lebih jauh dijelaskan oleh Yudi Latif, “Pancasila sebagai dasar filsafat negara sulit dibudayakan dalam kehidupan negara-bangsa dengan basis kecerdasan yang lemah”.

Berangkat dari pandangan Yudi Latif terakhir di atas, kemudian kita menengok kembali realitas kehidupan bangsa Indonesia, kita seakan menemukan ruang konfirmasi yang membenarkan mengapa Pancasila tidak lagi mampu menjadi leitstar dinamis. Begitu pun sila pertamanya, tidak tampak lagi menjadi fundamen moral dalam kehidupan politik. Tingkat literasi dan kecerdasan bangsa kita, itu masih sangat rendah. Inilah problem utama.

Data PISA 2018 yang pada substansinya menegaskan posisi Indonesia masih berada di level LOTS (Lower Order Thinking Skill), berada pada level 1-3, terutama untuk tiga dimensi (baca: membaca, matematika, dan sains) yang diukur—bahkan yang masih sangat menonjol adalah level 1, itu jangan dipandang hanya sekadar ketidaksuksesan mengelola bangsa dan negara di ranah pendidikan formal. Kegagalan ini harus dipandang pula adalah kegagalan negara dalam menyiapkan lahan subur bagi tumbuhnya Pancasila. Berarti pula kegagalan dalam mewujudkan impian besar untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang besar. Ingat percikan pandangan John Gardner dan Soekarno di atas.

Atas dasar itu, literasi bukanlah persoalan sepele dan semestinya porsi perhatian bangsa dan negara harus sangat besar terhadapnya. Kita belum juga merasa tersinggung dengan ungkapan Prof. Haedar Nashir, “Mengajak orang untuk pergi melakukan demonstrasi itu lebih mudah ketimbang mengajak orang pergi membaca di perpustakaan”. Tentu saja, literasi yang akan bisa menyiapkan lahan subur bagi Pancasila bukan sekadar “membaca” atau dalam makna literasi baca-tulis. Tetapi, jika literasi dasar ini saja kita masih kesulitan apa lagi literasi yang lebih mendalam seperti literasi budaya dan kewarganegaraan—meskipun ini masih masuk sebagai kategori literasi dasar.

Literasi itu mampu menyiapkan perangkat untuk bisa memahami dan menyadari realitas kehidupan yang sebenarnya secara benar dan baik. Sebab, memahami realitas kehidupan secara benar saja itu terkadang masih sulit, apa lagi di tengah kehidupan yang tumpang-tindih dan tanpa batas, belum lagi kemasan strategi pencitraan yang semakin dahsyat dengan bantuan teknologi dan media sosial yang canggih.

Literasi akan mampu menunjukkan secara jelas tentang benar-salah, baik-buruk, dan indah-jelek. Tidak berhenti hanya sampai di sini, termasuk mampu memberikan komitmen untuk tetap pada koridor kebenaran, kebaikan, dan keindahan.

Literasi pun akan memperkaya data diri, memperbaiki, dan memengaruhi proses algoritmik dalam  diri sehingga segala sikap, tindakan, keputusan, dan kesimpulan akan sejalan dengan nilai-nilai dan moralitas yang menjadi harapan bersama. Tentu saja, dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia, literasi akan mampu membangun nalar kebangsaan yang menggerakkan dan mengarahkan segala sikap, tindakan, kesimpulan, dan keputusan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.

Literasi yang rendah, begitu pun kecerdasan yang rendah, Pancasila hanya akan berfungsi sebagai sekadar pengetahuan biasa atau bekerja dalam diri hanya sekadar sebagai informasi seperti berita-berita dan peristiwa-peristiwa biasa yang memenuhi kehidupan. Padahal sejatinya, Pancasila pun harus dipahami sebagai sesuatu yang mengandung dimensi ideologis.

Itulah sebabnya, pada bagian yang saya sebut sebagai “langkah awal” di atas, saya menyarankan untuk tidak terjebak pada pandangan Marx. Mengapa? Marx menyimpulkan sesuatu yang bersifat ideologis itu hanya mengandung “kesadaran palsu” atau “kepalsuan”.  Sehingga, dari sini kita memiliki potensi besar Pancasila hanya dipandang sebagai ilmu bukan sebagai ideologi. Padahal pandangan ideologis terhadap Pancasila akan memberikan implikasi dahsyat dan strategis bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketika Pancasila dipandang secara ideologis maka Pancasila akan memberikan perangkat keyakinan, pengetahuan, dan pedoman dalam bertindak. Pancasila sebagai keyakinan tentu saja akan menjadi penggerak dan pengarah bagi bangsa terutama bagi elit negara dalam melakukan tata kelola bangsa dan negara.

Kita tidak akan pernah melihat ketimpangan dan ketidakadilan secara jernih dalam realitas sosial politik, ketika Pancasila belum mampu menjadi pandangan ideologis bagi diri. Pancasila tidak akan pernah mampu menjadi pengendali tindakan koruptif dalam berbagai variannya, ketika belum dipahami secara ideologis dalam diri.

Menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan Pancasila secara ideologis dalam diri setiap anak negeri terutama bagi elit negara hanya bisa diwujudkan dengan literasi yang kaut dan kecerdasan yang tinggi.

Ini adalah catatan sederhana dalam momentum peringatan Hari Lahir Pancasila, yang masih bisa dikembangkan lebih jauh dalam diskusi-diskusi serius. Namun, yang pasti literasi dan pandangan ideologis terhadap Pancasila, itu adalah sesuatu yang sangat penting untuk menempatkan dan menyuburkan Pancasila dalam jiwa anak negeri.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Redaktur Opini Khittah.co

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply