Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Literasi Politik Menuju Demokrasi Substansial

×

Literasi Politik Menuju Demokrasi Substansial

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

Sejumlah harapan, tujuan, dan cita ideal bangsa dan negara Indonesia masih dibayang-bayangi oleh berbagai residu dan hal paradoks yang berasal dari jantung kehidupan politik dan demokrasi. Padahal, jika merujuk pada pandangan dan kajian mendalam Prof. Haedar Nashir—sebagaimana bisa ditemukan dalam buku karyanya Indonesia Indeologi dan Martabat Pemimpin Bangsa (2022)—Indonesia telah memiliki modal yang kokoh.

“Indonesia dibangun di atas fondasi yang kokoh berupa nilai-nilai ideologis yang bertumpu pada Pancasila dan pandangan hidup yang berlandaskan agama serta berkepribadian berbasis kebudayaan nasional yang melekat dengan eksistensi bangsa diperkuat jiwa dan daya perjuangan kebangsaan yang menyejarah dalam lintasan perjalanan bangsa ini”. Ini di antaranya yang ditegaskan oleh Haedar Nashir.

Konstitusi negara kita (baca: Indonesia) menegaskan bahkan bisa dibaca secara tersurat, dan begitupun realitasnya, bahwa dalam kehidupan negara urusan “nasib” sampai “nasi” berada di tangan aktor politik yang lahir dari rahim partai politik. Namun, konstitusi negara kita pun—meskipun, terkadang ini kurang terimplementasi, tidak dipahami dan/atau disadari dengan baik—menegaskan pula bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan.

“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Inilah penegasan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ini pulalah yang menjadi dasar utama bahwa negara kita, Indonesia adalah negara “demokrasi”.

Seringkali ada yang merasakan dan bahkan menjadi fenomena nyata dalam realitas kehidupan, masih ada sejumlah dinamika yang paradoks dengan demokrasi itu sendiri. Aktor-aktor atau oknum yang berada dalam pranata demokrasi terkadang masih ada yang lebih mengimplementasikan cara pandang John Locke (1632-1704) ketimbang perspektif Secondat de Montesquieu (1689-1755) yang lebih akrab disapa dengan nama Montesquieu.

Montesquieu dalam Gun Gun Heryanto (2019) salah satu penegasannya “…lembaga perwakilan rakyat yang sedari awal dirancang untuk mewakili dan menampung aspirasi masyarakat. Lembaga perwakilan itu, di Amerika Serikat ini disebut House of Representative, dan di Inggris disebut House of Common. Locke dalam Gun Gun Heryanto (2019), bisa dipahami bahwa konsep perwakilan rakyat itu “elitis dan tersegmentasi di kaum bangsawan”. Apakah ini yang menjadi cikal bakal lahirnya politik oligarki?

Minimal kondisi yang mencerminkan pandangan Locke di ataslah yang saya maknai sebagai hal paradoks dari demokrasi. Kita pun tidak mau fenomena politik yang terjadi adalah seperti yang salah satunya “diaminkan” oleh Jeffrey A. Winters (dalam Fajlurrahman Jurdi, 2013), “…demokrasi dan oligarki menjadi satu kesatuan. Demokrasi cenderung memproduksi oligarki sedangkan oligarki menggunakan demokrasi sebagai kendaraannya”.

Akibat relasi intim antara demokrasi dan oligarki, Winters pun pernah menggambarkan fenomena paradoks di Indonesia, “…tak mengherankan bila Indonesia pada 2009 bisa menjadi negara paling demokratis sekaligus paling korup di Asia Tenggara”. Apa yang diungkap oleh Winters dalam Fajlurrahman ini, adalah fenomena paradoks lain, selain yang telah saya sebutkan pula di atas yang cenderung jauh dari harapan Montesquieu.

Atas berbagai fenomena paradoks kehidupan politik dan demokrasi kita di atas, di mana yang telah saya ungkapkan di atas hanya segelintir saja, maka kita berharap lahirnya kehidupan demokrasi- substansial. Bukan hanya demokrasi prosedural yang masih mengendapkan sejumlah persoalan, apalagi memberikan ruang untuk membangun relasi intim dengan para oligarki.

Lalu bagaimana, saya dan kita memaknai demokrasi substansial? Terkait ini banyak perspektif yang bisa dibaca dan dipahami.

Pada tulisan yang lain, saya pernah menegaskan agar para pemilih dalam Pemilu—sebagai instrumen strategis bagi negara demokrasi—mewujudkannya secara berkualitas dan berintegritas, jangan hanya pada dimensi “input”, “process”, dan “output” semata. Namun, yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah “outcome”-nya. Artinya, bagaimana kualitas para pemimpin dan wakil rakyat yang dipilih dalam Pemilu, mampu menjalankan amanah rakyat secara baik dan sesuai harapan/aspirasi rakyat, minimal dalam masa periodisasinya.

Pemaknaan lain terkait apa yang bisa dimaknai sebagai demokrasi-substansial, saya terinspirasi dan tertarik dari interpretasi secara luas dari Umi Salamah, dkk. atas pandangan Abraham Lincoln mengenai pengertian demokrasi. Demokrasi dimaknainya “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”.

Umi Salamah, dkk. (2017) menguraikan lebih luas terkait hal tersebut: Pertama, pemerintah dari rakyat (government of the people) mengandung arti bahwa suatu pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan rakyat melalui mekanimse demokrasi yakni Pemilihan Umum. Pengakuan dan dukungan rakyat bagi ssuatu pemerintahan sangatlah penting, karena dengan legitimasi politik tersebut, pemerintahan dapat menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.

Kedua, pemerintahan oleh rakyat (government by the people) artinya pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat. Dalam menjalankan kekuasaannya, pemerintah berada dalam kekuasaan rakyat (social control). Pengawasan dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung.

Ketiga, pemerintahan untuk rakyat (government for the people) mengandung arti bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintaha harus dijalan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat harus dijadikan landasan utama kebijakan sebuah pemerintahan yang demokratis.

Dari tiga interpretasi ulang Umi Salamah, dkk atas pengertian demokrasi dari Lincoln di atas, saya menegaskan bahwa demokrasi-substansial jangan hanya bertumpu pada pemaknaan dan implementasi dari government of the people semata. Yang utama, adalah bagian kedua dan ketiga yaitu government by the people dan government by the people. Elit negara harus mau dikontrol dan mendengar suara rakyat, dan kepentingan rakyat harus menjadi landasan utama atas setiap kebijakan yang dilahirkan.

Hanya saja, saya meyakini—mungkin pembaca pun memiliki pandangan yang sama—bahwa modal utama untuk mewujudkan demokrasi-substansial adalah literasi dan lebih khusus lagi “literasi politik”. Literasi pada dasarnya sebagai seperangkat kemampuan dan keterampilan tanpa kecuali dalam hal membaca—khusus membaca dalam pengertian luas atau sebagaimana tafsir M. Quraish Shihab dari “iqra” mampu menyediakan kemungkin-kemungkinan dan solusi atas berbagai problematika kehidupan yang dihadapi.

Bernard Crick dalam Gun Gun Heryanto (2019) menegaskan “Literasi politik adalah pemahaman praktis tentang konsep-konsep yang diambil dari kehidupan sehari-hari dan bahasa. Upaya memahami seputar isu politik, apa keyakinan utama para kontestan, bagaimana kecenderungan mereka memengaruhi diri anda dan saya”.

Selain yang disebutkan oleh Crick di atas, ada satu di antara lima laporan “Workshop on Political Literacy” yaitu “Mengetahui di mana dan bagaimana keputusan dibuat dalam masyarakat local, nasional dan internasional”.

Melampaui dari yang disampaikan oleh Crick di atas, saya pun memandang “literasi politik” itu harus mampu menumbuhkan kesadaran akan “nalar kebangsaan”. Mampu mengokohkan dan mengimplementasikan konsepsi “pemilih berdaulat” sebagai derivasi strategis dari “kedaulatan rakyat”. Memiliki kemampuan membaca realitas kehidupan bangsa dan negara Indonesia secara filosofis dan ideologis. Menyadari sepenuh jiwa bahwa sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah fundamen moral atas sila kedua sampai sila kelima.

*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

Leave a Reply