Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
LiterasiOpini

Makna Fungsional Sabar dan Salat di Era Digital

×

Makna Fungsional Sabar dan Salat di Era Digital

Share this article

Oleh: Agusliadi Massere*

KHITTAH. CO – Era digital adalah keniscayaan. Kita tidak bisa lari darinya. Bahkan, jika kita mengikuti dan memahami narasi-narasi semiotik Yasraf Amir Piliang dari berbagai buku karyanya, kita bisa memahami banyak hal, di antaranya kini banyak yang terjebak pada ekstasi kecepatan, terburu-buru, sampai lahir kecendrungan dan karakter serba instan, senang pada kedangkalan, dan hal-hal yang yang bersifat permukaan. Perintah agama pun tentang tabayyun, kini mengalami reduksi di tengah kehidupan era digital.

Senada dengan pandangan Yasraf di atas yang saya maknai tabayyun—yang dalam istilah Yasraf menyebutnya kehidupan inersia—Denny JA pun menegaskan berubahnya pemahaman agama di era Google. Bahkan, praktik keagamaan ada yang bergeser. “Di era AI, doa tidak lagi hanya dilantunkan di altar atau masjid, tetapi mengalir dalam aliran data, diproses oleh algoritma, dan dijawab oleh kecerdasan buatan”. Ini yang diungkap oleh Denny JA dalam bukunya Sosiologi Agama di Era Artificial Intelligence – 7 Prinsip – (2025), tepatnya pada bagian “Pengantar” bukunya.

Apa yang diungkap oleh Denny JA ini, kita pun bisa menyaksikan secara langsung, betapa banyaknya para netizen (warga net) menuangkan doa-doa dan harapannya di akun media sosialnya masing-masing. Berbagai respons pun meluncur dari postingan/unggahan netizen ini. Apakah ini efektif dan fungsional di tengah kedahsyatan AI (Artificial intelligence/kecerdasan buatan) dengan proses algoritmanya yang dahsyat dan akurat? Saya tidak ingin langsung menjawabnya.

Namun, ada hal senada dengan apa yang dimaknai bagian dari doa, tetapi mungkin tepatnya di sini adalah “harapan”, dengan menggunakan kedahsyatan proses algoritma di teknologi, kemudian harapan tersebut terwujud. Kisah Bojes dan Lia yang pernah viral berawal dari kejadian di pelabuhan, kemudian berujung pada harapan indah menyatunya dua insan dalam ikatan suci nan halal dengan berbagai bentuk bantuan mengalir deras untuk melancarkan dan menyukseskan prosesnya. Semua itu seakan-akan, sebagaimana pandangan Denny JA, harapannya terkabul karena diproses oleh algoritma dan dijawab oleh AI.

Atas kisah Bojes dan Lia, saya justru memandang, bahwa spiritualitas, energi transendental Allah Swt. pun hadir di tengah era digital. Allah pun bisa mengabulkan harapan dan doa berdasarkan akumulasi data yang mengalir dan diproses oleh algoritma dalam teknologi AI. Namun, kita pun perlu memahami kekuasaan Allah meliputi langit dan bumi sehingga Allah memenuhi harapan Bojes dan Lia bukan hanya berdasarkan algoritma yang berproses dalam AI atau media sosial tersebut, tetapi saya yakin Allah “membaca” data dan algoritma lain yang terjadi di luar teknologi AI. Bisa jadi ada doa Bojes atau Lia yang terus mengalir dalam salatnya, atau dari orang-orang terdekatnya.

Bagi saya pun, kisah Bojes dan Lia atau sejenisnya, kita harus berhati-hati menilai jangan sampai kita terjebak pada kekaguman atas kedahsyatan atau efek dahsyat media sosial, termasuk AI dan algoritmanya, kemudian lupa pada kekuasaan dan kehendak atau takdir Allah Swt. Kita berpotensi lupa, seakan-akan Allah tidak mampu memengaruhi proses algoritma teknologi sekali pun. Padahal, kekuasaan Allah tak terbatas, bisa memengaruhi semua proses algoritma yang ada di alam semesta ini termasuk dalam teknologi AI itu sendiri. Manusia saja sebagai ciptaan Allah, ada yang bisa mengatur algoritma teknologi AI, apa lagi Allah Yang Maha Kuasa.

Kita kembali pada persoalan awal tentang era digital, kemudian bagaimana menemukan makna fungsional sabar dan salat. Apa lagi, tulisan ini memang tidak diniatkan untuk fokus membahas tentang kisah Bojes dan Lia yang pernah viral. Kisah ini hanya terkesan atau sebatas sedikit menyentil kebenaran atau kedahsyatan AI dan kecenderungan netizen terhadapnya, sebagaimana ungkapan Denny JA pada bagian awal “Pengantar” bukunya.

Era digital bukan hanya menawarkan kemudahan, efektivitas, dan efesiensi bagi manusia dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Era digital dengan berbagai teknologi canggih yang hadir di dalamnya, dampaknya “bermata dua”. Bukan hanya positif dan konstruktif, termasuk pula yang negatif dan destruktif (merusak). Dimensi negatif dan destruktif ini, sering kali bersentuhan langsung dengan potensi utama yang ada dalam diri manusia, seperti pikiran atau nalar, kecendrungan, tanpa kecuali pola penyelesaian masalah, perumusan solusi, dan pengambilan keputusan serta pembuatan kesimpulan.

Di era digital, kita pun menemukan semakin banyak persoalan dalam kehidupan manusia. Bukan hanya yang berdimensi teknis, prosedural—yang bisa diselesaikan dengan teknologi AI,—dan regulatif dalam makna hukum positif. Persoalan atau permasalahan yang dihadapi manusia sangat kompleks meliputi berbagai aspek bahkan sampai pada dimensi eksistensial manusia. Ada dan nyata hal-hal yang menggerogoti dimensi psikologis dan spiritualitas manusia.

Kita bisa menyaksikan di tengah kehidupan era digital akhir-akhir ini, berapa banyak kasus bunuh diri yang di antaranya disebabkan oleh pinjaman online. Keretakan rumah tangga sebagai efek judi online. Bullying dan termasuk beberapa kasus-kasus kekerasan rumah tangga terhadap perempuan dan anak bisa kita saksikan bersama. Berbagai kasus pemalsuan termasuk pemalsuan uang dan berbagai bentuk kejahatan berbasis atau menggunakan kecanggihan perangkat digital hari ini, kini bukan lagi sebagai sesuatu yang langka.

Tentu saja, embrio dari semua kejahatan atau kasus-kasus di atas tersebut karena ada persoalan dalam diri yang tidak bisa diselesaikan secara mekanistik dan prosedural. Era digital dengan kecanggihan AI-nya tidak bisa menjadi solusi untuk segala persoalan yang dihadapi manusia.

Petunjuk dan pertolongan Allah Swt. akan senantiasa masih dibutuhkan untuk menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan ini. Kita membutuhkan pertolongan dari Allah, karena sebaik-baik pertolongan dan/atau solusi, itu adalah pertolongan dan/atau solusi dari Allah. Bagaimana cara terbaiknya untuk mendapatkan pertolongan Allah?

QS. Al-Baqarah [2] ayat 45 “Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan (salat) itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Selain ini, QS. Al-Baqarah [2] ayat 153 pun menegaskan “Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar.

Berdasarkan dua ayat di atas, mekanisme dan prosedural mendapatkan pertolongan Allah atas berbagai permasalahan kehidupan adalah sabar dan salat. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Hari ini, sepertinya dan sebagaimana yang diungkap oleh Denny JA, telah banyak yang mengalami perubahan atau pergeseran dengan menggunakan perangkat dan mekanisme digital.

Apa makna sabar dan salat, dan mengapa oleh Allah keduanya dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting, utama, dan strategis untuk mendapatkan pertolongan-Nya?

Terkait ayat di atas Ustaz Adi Hidayat (UAH) memberi pemahaman sederhana kepada kita. Jika mendapatkan permasalahan atau cobaan hidup, maka berdasarkan ayat tersebut, kita harus menerimanya terlebih dahulu. Tentu saja menerima yang dimaksud oleh UAH secara ikhlas dan tulus. Kemudian, memohon kepada Allah untuk solusinya. Sekilas dari UAH, saya bisa menambahkan rasionalitasnya, bahwa jika kita tidak menerimanya terlebih dahulu secara ikhlas dan tulus atas permasalahan hidup tersebut, maka ketika kita pun salat untuk meminta atau memohon kepada Allah, salat itu tidak bisa berjalan sempurna. Karena ketidaksabaran yang ada dalam diri tidak akan mampu melahirkan shalat yang khusyuk dan thuma’ninah sebagai kunci utama salat.

Berikutnya, sabar jangan dimaknai secara dangkal dengan hanya sekadar “mengurut dada” dan “menahan marah”. Sabar memiliki makna yang melampaui dari itu, meskipun oleh teknologi di era digital ini pun cenderung mengalami reduksi karena teknologi yang karakter utamanya “kecepatan” membentuk prakondisi atau kecenderungan dan karakter manusia yang serba terburu-buru, ingin segera cepat, instan, dangkal, dan terjebak pada hal-hal yang bersifat permukaan, seperti kemampuan jari-jari melakukan meng-scroll dari fitur yang satu ke fitur yang lainnya, begitu pun dari halaman teks yang satu ke halaman lainnya.

Akibat reduksi sabar ini pun oleh pengaruh karakter teknologi digital hari ini, sehingga kembali membuat lingkaran persoalan baru dalam kehidupan. Beberapa persoalan yang disebutkan di atas seperti kasus bunuh diri dan kekerasan, itu pun karena redupnya kesabaran dalam diri.

Ulasan dan pemaknaan sabar yang baik, mendalam, dan fungsional, bisa kita pahami dari buku Arvan Pradiansyah The 7 Laws of Happiness: Tujuh Rahasia Hidup yang Bahagia (2010). Sabar itu menunda respons. Makna senada menunda respons ini, kita bisa menemukannya dalam ajaran agama Islam, ditegaskan jika kita marah dalam keadaan berdiri maka duduklah dan seterusnya sampai kita pun dianjurkan untuk berwudhu. Sabar dalam menunda respons pun itu berarti akan memantik potensi pencapaian ketenangan pikiran.

Arvan pun memaknai, bahwa sabar adalah menyatukan badan dan pikiran dalam satu tempat. Makna sabar ini tentu saja jika dihubungkan dengan salat, maka itu akan mengaktivasi kekhusyukan dan thuma’ninah sebagai kunci kesempurnaan dan kedahsyatan fungsional salat. Sabar pun akan mengaktivasi gelombang otak alfa dan theta, yang akan—dalam pandangan psikologi positif—menciptakan flow. Flow—sebagaimana dikutip oleh Haidar Bagir dari Mihaly Csikszentmihalyi, seorang tokoh mazhab psikologi positif—adalah suatu keadaan manusia yang di dalamnya kesadaran manusia berada dalam keadaan teratur dan selaras. Flow ini pun jika merujuk pada pandangan Mihaly, kita akan mampu mengendalikan diri dari pengaruh-pengaruh atau gangguan dari luar.

Potensi dahsyat dari gelombang otak alfa dan theta adalah lahirnya ide-ide cemerlang. Dan, potensi dahsyat dari flow pun akan mampu menciptakan kreativitas yang luar biasa. Kita pun perlu memahami bahwa sabar—dalam pandangan Arvan—adalah kata kerja aktif, bukan kata kerja pasif. Dari makna terakhir ini pun, kita bisa menguatkan pandangan bahwa betul sabar bukan sekadar “mengurut dada”. Arvan juga menegaskan, bahwa bukan hanya dalam makna kita bersabar lalu pertolongan dan kekuatan dan kekuasaan Allah hadir. Namun, sebaliknya, kita harus mengakses dan memohon pertolongan dan kekuatan Allah agar kita bisa bersabar.

Sabar pun jika memahami pandangan Erbe Sentanu adalah salah satu bagian yang harus dipenuhi atau dicapai terlebih dahulu agar kita mampu mencapai atau berada dalam zona ikhlas. Sedangkan zona ikhlas dalam kehidupan keseharian adalah sesuatu yang sangat penting agar diri kita bisa senantiasa dalam keadaan bahagia serta penuh dengan ide-ide cemerlang.

Selain sabar, melalui salat, kita bisa mendapat pertolongan Allah Swt. Pemahaman mendalam tentang salat, saya menemukannya dari buku Haidar Bagir Buat Apa Shalat? (Edisi ketiganya, 2021). Di antara sekian banyak ibadah-ibadah yang diperintahkan, salatlah yang paling utama. Salat yang dimaknai pula sebagai doa, sebagaimana pandangan yang dikutip oleh Bagir dari filosof Mesir, Abbas Al-Aqqad, adalah kebutuhan pikiran dan jiwa. Dan pada saat kita berupaya memenuhi harapan dan mengalami kebuntuan dalam perjalan untuk memenuhinya, maka doa terutama dalam makna salat adalah jalan utama.

Dibandingkan jalan dan proses spiritualitas lain untuk menemukan ketenangan hidup seperti meditasi, yang diyakini mampu melahirkan kreativitas dan memberikan pengaruh dahsyat pada kinerja, maka salat dinilai jauh lebih utama dan lebih baik. Bahkan kemampuan melahirkan kondisi flow sebagaimana telah dijelaskan di atas, melalui salat itu lebih efektif dan dahsyat. Terbukti sebagaimana kisah Ali yang kena panah, justru—berdasarkan petunjuk Rasulullah—anak panahnya dicabut pada saat sedang salat dan ternyata Ali sama sekali tidak merasakan sakit sedikit pun, termasuk darah yang ada disekitar tidak diketahuinya bahwa itu adalah darah dari dirinya.

Bagir pun pun menegaskan, bahwa salat mampu mengaktivasi dan memelihara God consciousness (Kesadaran akan Tuhan) dalam makna akan senantiasa terpancar dari dalam diri kesadaran, bahwa diri kita senantiasa dalam pengawasan Allah Swt. Secara otomatis God consciousness akan mencegah diri kita dari perbuatan keji dan mungkar atau sesuatu yang tidak diridai Allah. Namun, kata kunci utama yang perlu kita pahami adalah bahwa salat yang utama dan mampu memberi efek dahsyat dalam kehidupan adalah yang proses khusyuk dan memperhatikan thuma’ninah.

Minimal makna-makna yang terungkap di atas tentang sabar dan salat akan memberikan jalan atau solusi terbaik dalam menghadapi problematika kehidupan di era digital. Termasuk mencegah diri kita agar tidak menjadi bagian sebagai sumber masalah di era digital. Tentu saja, saya pun menyadari, bahwa masih banyak hal yang bisa diulas tentang sabar dan salat, hanya saja ruang yang tidak memungkin.

*Pemilik Pustaka “Cahaya Inspirasi”, Wakil Ketua MPI PD. Muhammadiyah Bantaeng, dan Pegiat Literasi Digital & Kebangsaan.

KAMPUS MUHAMMADIYAH DI SULSEL

  • Klik Banner PMB UMSI

Leave a Reply