Oleh: Syahroni Nur Wachid (Sekretaris PCM Bubutan Kota Surabaya)
KHITTAH. CO – Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional atau yang kita kenal sebagai May Day. Di Indonesia, peringatan ini menjadi panggung utama bagi para pekerja untuk menyuarakan hak, menuntut keadilan, dan menyampaikan aspirasi mereka kepada negara dan pelaku usaha. Namun, peringatan May Day hari ini berlangsung dalam konteks yang berbeda. Di tengah perubahan global akibat revolusi industri 4.0, perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI), hingga tekanan ekonomi pasca-pandemi, buruh Indonesia menghadapi tantangan yang semakin kompleks dan multidimensional.
Salah satu tantangan paling nyata adalah disrupsi digital yang mengubah lanskap ketenagakerjaan. Otomatisasi dan teknologi kecerdasan buatan telah menggantikan sebagian jenis pekerjaan manusia. Di sektor industri, mesin-mesin pintar mulai mengambil alih fungsi operator. Di sektor jasa, chatbot, dan algoritma menggantikan tenaga layanan pelanggan. Bahkan profesi yang selama ini dianggap aman, seperti akuntan, desainer, hingga jurnalis, mulai terdampak oleh teknologi.
Kondisi ini menimbulkan tantangan baru bagi buruh dan serikat pekerja: bagaimana menyesuaikan diri dengan perubahan zaman tanpa kehilangan hak-hak dasar pekerja. Tidak lagi cukup menuntut kenaikan upah atau jaminan kerja saja; kini dibutuhkan pula dorongan terhadap pelatihan ulang (reskilling) dan peningkatan keterampilan (upskilling), agar buruh tidak tertinggal dalam arus modernisasi.
Fenomena gigeconomy atau ekonomi berbasis jasa lepas, seperti ojek daring dan kurir, memperluas definisi buruh di era digital. Para pekerja ini tidak memiliki hubungan kerja formal dengan perusahaan platform. Mereka tanpa kontrak, tanpa perlindungan sosial, dan tidak memiliki jaminan penghasilan tetap. Dalam banyak kasus, sistem algoritma yang menentukan order dan penghasilan membuat posisi mereka sangat rentan terhadap eksploitasi.
Pemerintah dan DPR seyogianya tidak tutup mata terhadap nasib jutaan pekerja nonformal ini. Perlu ada regulasi yang mengakui status dan hak-hak pekerja digital, termasuk jaminan kesehatan, keselamatan kerja, dan perlindungan pendapatan minimum. Kita tidak boleh membiarkan “kemajuan” menjadi alasan pembiaran terhadap ketimpangan dan ketidakadilan struktural.
UU Cipta Kerja dan Keseimbangan Kepentingan
May Day tahun ini juga masih dibayangi oleh polemik Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang dianggap lebih berpihak pada kepentingan investor daripada perlindungan buruh. Fleksibilitas hubungan kerja, sistem upah per jam, dan kemudahan pemutusan hubungan kerja (PHK) menjadi sejumlah pasal kontroversial. Meskipun pemerintah menyatakan bahwa UU ini dirancang untuk menciptakan lapangan kerja, banyak serikat buruh menilai bahwa implementasinya justru merugikan posisi tawar pekerja.
Idealnya, sebuah undang-undang ketenagakerjaan harus menjembatani kepentingan antara buruh dan pengusaha. Negara harus hadir bukan hanya sebagai fasilitator iklim investasi, tetapi juga sebagai pelindung martabat dan kesejahteraan warga negaranya. Jangan sampai negara absen dalam menciptakan hubungan industrial yang adil dan berkelanjutan.
Peringatan May Day tidak boleh hanya berhenti pada orasi-orasi di jalanan. Ini harus menjadi momentum refleksi nasional untuk menata ulang sistem ketenagakerjaan kita. Pemerintah, pengusaha, dan pekerja harus duduk bersama dalam semangat kemitraan untuk merumuskan arah kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Selain itu, buruh sendiri perlu membangun solidaritas lintas sektor, lintas profesi, dan lintas generasi. Tidak cukup hanya mengandalkan serikat pekerja konvensional. Diperlukan gerakan buruh yang cerdas digital, aktif memperjuangkan aspirasi di ruang-ruang daring, serta melek teknologi dan hukum. Buruh masa depan adalah buruh yang mampu mengartikulasikan kepentingannya secara strategis, baik di ruang publik maupun dalam ranah kebijakan.
May Day bukan sekadar hari libur nasional. Ini adalah simbol perjuangan, kesetaraan, dan martabat manusia di tengah dinamika ekonomi global. Di tengah arus besar kapitalisme digital dan tantangan struktural lainnya, perjuangan buruh Indonesia tidak boleh meredup. Yang diperlukan adalah keberanian untuk beradaptasi, solidaritas untuk memperjuangkan hak, dan kebijaksanaan negara untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.