Oleh : Muh. Asratillah S*
Homo Religius, itulah kata yang dialamatkan oleh Erich Fromm kepada manusia. Dia berkata pula, setiap manusia membutuhkan sebuah sistem nilai dan pengarahan. Sistem nilai dan pengarahan itulah yang disebut dengan agama.
Berkata pula Nietzche, bahwa dasar dari kebenaran adalah “hasrat untuk berkuasa”. Jika kita menggunakan bahasa kantian untuk menjelaskan perkataan Nietzche- sang filsuf godam-, kebenaran adalah fenomena sedangkan hasrat untuk berkuasa merupakan noumena-nya. Walaupun penggunaan istilah kantian ini agak picik dalam menjelaskan kata-kata Nietzche, paling tidak bisa membantu kita untuk memahaminya.
Jika setiap agama adalah sistem nilai, maka sistem tersebut dalam perjalanan sejarahnya akan semakin tersolidkan atau termassifkan. Sebuah sistem atau struktur mempunyai semacam mekanisme internal, yaitu semacam parameter-parameter kebenaran, kebaikan dan kecocokan yang konsisten dan akhirnya membentuk sebuah sistem tertutup, sebuah tubuh/ corpus doktrin yang solid. Dalam strukturalisme sebuah struktur ditandai dengan regulasi diri, begitu pula dalam agama, terdapat semacam kode-kode atau sistem tanda yang mengkodifikasi mana “benar” dan mana yang “salah”. Agama merupakan sebuah bahasa, mungkin bahasa kebenaran.
Agama sebagai bahasa kebenaran ,mungkin menyenangkan jika terdengar di telinga para agamawan fanatik. Tetapi kita harus ingat bahwa kebenaran adalah hasrat untuk berkuasa, sehingga agama merupakan hasrat untuk berkuasa. Betulkah agama adalah hasrat untuk berkuasa?
Salah satu wajah dari kuasa adalah “dia hidup dari musuh”. Mungkin agak mirip dengan penjelasan Edwar Said dalam bukunya Orientalisme , yang mengatakan bahwa oksident (barat) dalam mendefinisikan dirinya membutuhkan diskursus oriental (timur). Oksident (barat) tidak hanya menjelaskan ataupun menguasai oriental (timur) secara diskursif, tetapi juga menjadikan oriental (timur) sebagai cermin, sebagai media untuk menatap dirinya sendiri.
Agama sebagai bagian dari bahasa kuasa juga “hidup dari musuh”. “Musuh” tidaklah selamanya natural, at given, primordial atau memang ada dalam kondisi vakum sosial. Agar agama hidup dia butuh “menciptakan” musuh-musuh. Bagaimana agama “menciptakan” musuh-musuh, salah satunya lewat penciptaan kata-kata.
Perihal kata-kata, orang-orang Arab sudah lama mewanti-wanti bahwa “ kata-kata itu lebih tajam daripada pedang”, karena kata-katalah yang bisa menggerakkan seseorang mengayunkan pedangnya. Kata-kata atau diskursus, menciptakan semacam bingkai atau frame dalam menatap dunia, menciptakan dorongan untuk mengarahkan hasrat kita dan menciptakan posisi-posisi kita dalam dunia, apakah kita berada pada pihak “yang benar” atau sebaliknya berada pada pihak “yang salah”.
Kata-kata atau diskursus ke-agamaan, mempunyai keistimewaannya sendiri. Diskurusus ke-agamaan mempunyai “aura logos” yang kuat, atau dalam bahasa sehari-sehari kita, kata-kata dalam kitab suci sebuah agama atau yang diucapkan pimpinan agama mempuyai “tuah” alias “keramat”.
Jacques derrida menuduh filsfat barat terperangkap dalam apa yang dia istilahkan logosentrisme, barangkali semacam transparannya hubungan antara kebenaran metafisikal di alam ide sana dengan bahasa duniawi kita yang digunakan untuk memperucapkan kebenaran itu. Semacam itulah diskursus ke-agamaan yang lumrah, dia “logosentris”, setiap kata-kata yang kita baca dalam kitab suci itu bisa dinisbahkan secara ontologis serta transparan kepada pemilik kebenaran metafisikal yang absolut yaitu Tuhan. Setiap kata-kata yang anda baca dalam kitab suci dan anda mengucapkannya kembali itu sama dengan anda mengulangi kata-kata Tuhan. Kata-kata Tuhan (kalam) tidak mengalami disorientasi makna walaupun diucapkan pada level ontologis yang lebih rendah.
Agama menciptakan dan hidup dari musuh-musuhnya, dengan cara menciptakan terma-terma seperti, “iman” dan “kufur”, “istiqamah” dan “murtad” dan lain sebagainya. Sang “iman” bisa terdefinisikan, mempunyai makna bahkan hidup jika ada Sang “kufur”, begitu pula sebaliknya. Ada semacam interdependensi antara keduanya, dimana pihak yang satu mendefinisikan yang lain, dimana pihak yang satu menyediakan bahan makanan untuk menghidupi yang lain. Tetapi disini terjadi kesemena-menaan, pihak yang satu secara semena-mena ditetapkan sebagai pihak yang superior dibanding yang lain. Sang “iman” ditetapkan secara mentah-mentah dan mutlak sebagai pihak yang superior dibanding Sang “kufur”.
Inilah yang disebut dengan oposisi binerial, sebuah konstruk bahasa yang berpasang-pasangan dan mempunyai makna yang saling bertentangan dimana yang satu superior dibanding yang lain. Kita bisa membayangkan oposisi bineraial ini jika dinisbahkan kepada Tuhan, maka bukan hanya sekedar kata-kata atau ucapan, tetapi akan menerima titah Tuhan berupa “keabadian”. Pertentangan antara Sang “Iman” dan Sang “Kufur”, antara “kami” dan “kamu”, antara “agama kami” dan “agama yang lain”, akan menerima “kebadian” pula. Jangan-jangan Tuhan hidup dari pertentangan…., maaf bercanda.
Yah, memang ironi. Taat beragama yang ditandai (barangkali) rajinnya kita beribadah, pergi ke masjid ataupun gereja, membaca majalah-majalah dan selebaran-selebaran keagamaan, semakin sering pula kita diajak untuk masuk dalam arus pertentangan yang abadi. Semakin terseret kita dalam pertentangan semakin kita jauh dari nurani . Karena diskursus ke-agamaan selalu menyucikan dan mengabadikan amarah.
Tidak semua diskursus ke-agamaan berwajah seperti di-atas, tiada yang abadi, termasuk yang kita katakan dan anggap sebagai sesuatu yang abadi. Ada diskursus-diskursus ke-agamaan yang mencoba jalan lain, walaupun dengan bersusah payah. Tapi jika kita mencoba jujur dengan kemanusiaan kita, kita bisa mencipta alternatif beragama sendiri, yang lebih mampu menyahut problem kemanusiaan kita.
Beragama dengan cara melampaui agama, itulah yang kita butuhkan atau lebih tepatnya melampaui agama yang logosentris. Jika kita ingin jujur pada sejarah para Nabi, mereka datang untuk melampaui agama. Yesus datang untuk melampaui ke-yahudian yang kering, Muhammad datang untuk melampaui keberagamaan yang memposisikan manusia pada status objek baik secara teologis maupun sosiologis.
Ciri dari keberagamaan yang melampaui agama adalah membebaskan, baik secara filosofis dan sosiologis. “Celakalah mereka yang menggabungkan rumah dengan rumah, menggandengkan ladang dengan ladang, sampai tidak ada lagi lowongan….” ucap yesaya., “ ….barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi pula kebutuhannya…” ujar Muhammad.
Agama yang membebaskan dapat pula berarti, “ Hatiku yang terus hendak mengembara ini, membawa daku ke tempat yang dikutuki oleh segala kitab-kitab suci dunia, tapi engkau hatiku, berkitab sendiri, tiada sudi mendengar kitab lain…” ucap Amir Hamzah dalam salah satu sajaknya di Tahun 1935. dan menggambarkan hubungannya dengan Tuhan sebagai “bertukar tangkap dengan lepas”. Sebuah akidah serta serumus hukum-hukum agama hanya menuntunnya untuk jinak.
Bagi Max Weber dalam setiap agama selalu ada sifat yang disebut dengan Alltagsreligion , yaitu agama orang ramai dan dilakukan secara rutin. Dan dalam tiap agama , selalu ada orang yang tidak puas dengan itu semua. Bagi orang beragama kebanyakan, Tuhan harus ditaati bukan untuk digandrungi, bagi mereka Tuhan adalah kekuasaan dan kebebasan adalah subversif, membingungkan, mengacaukan dan subversif.
Ahmad Wahib dalam buku hariannya menulis “ Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat-saat aku cinta padamu, tapi juga di saat-saat aku tidak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah mamberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian Rabbi, aku mengharap Cintaku padamu akan pulih kembali”.
* Penulis adalah anggota Majelis Pustaka dan Informasi PW Muhammadiyah Sulsel