Oleh: Mansurni Abadi*
Kapitalisme dengan semangat pembangunannya sebenarnya menyembunyikan banyak realitas penindasan, hanya saja itu tersimpan dibalik karpet merah kemegahannya. Untuk mereka yang mencoba membuka penindasan itu, sudah semestinya dibungkam dengan cara yang rapi, cepat,dan efektif.
Kredo pembungkaman sebenarnya tetap hidup hanya berubah wajah dari keras menjadi lembut. Kita memang sadar kalau pembungkaman dalam bentuk apapun adalah antithesis dari demokrasi, tapi kita pun harus memaklumi karena demokrasi yang hadir saat ini hanyalah demokrasi semu yang kuat di atas kertas namun rapuh di ranah realitas.
Para intelektual ber-onani tentang ideologi kapitalisme yang menjadi musuh bersama meskipun derajat kesalahannya masih debatable karena ada yang berpendapat jika ideologi ini terpahami secara holistik maka kesetaraan, kesejahteraan, bahkan keadilan yang menjadi kredo dari ideologi bisa menjadi kenyataan.
Tetapi bukan kehidupan manusia namanya, kalau semua bergerak secara ideal. Faktanya pembajakan terhadap yang seharusnya kita pandang benar selalu terjadi. dalam bidang ekosospol misalnya ada segolongan yang dengan sengaja mengakumulasi modal, membungkan gerakan sosial, dan menyetir politik sesuai citra mereka kita menyebut mereka sebagai para oligarki.
Apa dan bagaimana sebenarnya mereka itu sangat banyak sekali tafsirannya tapi sangat sedikit sekali yang kemudian membahas secara lebih dalam bagaimana melawan dominasi oligarki tersebut. Di sini saya ingin sedikit membahas cara yang sebaiknya menurut saya pribadi yang dapat kita lakukan dalam melawan para elit global kalau mengikuti kata para penganut teori konspirasi itu.
Pertama, mulai dari berani untuk berpikir dan berkesadaran secara berbeda terhadap angin surga yang mereka narasikan tentang hidup yang sejahtera, adil, makmur, merdeka, bahkan bebas. Berpikir dan berkesadaran harus seiring sejalan karena tidak setiap mereka yang berpikir bisa berkesadaran, ataupun mereka yang telah berkesadaran malah tidak berpikir kalaupun keduanya telah menyatu seringkali tidak berani untuk berbeda padanya dengan penyatuan keberanian berpikir,berkesadaran, dan perbedaan bisa membuat langkah juang kita taktis. Sebagaimana yang kita sama–sama pahami, perlawanan terhadap oligarki masih belum tuntas karena masih banyak yang terkungkung pada angin surga yang mereka gembar-gemborkan.
Padahal jika kita bepikir secara diagnostik dan sadar secara taktis, apapun angin surga yang mereka gembar-gemborkan masih terjebak pada polarisasi kehidupan modern yang tunduk pada hukum pasar , dengan logika kuasa untuk mendominasi keuntungan dan menempatkan kehidupan sosial dalam skema Darwinian di mana kita harus saling membunuh (dalam konteks yang lain) untuk meraih posisi bahkan tak segan menjilat mereka. Perubahan sebenarnya hanyalah ilusi. Setiap perlawanan selalu menolak kondisi di mana gaya berpikir dan berkesadaran kita masih sama. Dari keseragaman maka perlawanan terhadap oligarkhi tidak akan wujud.
Kedua, harus ada pengorganisaan rakyat disertai dengan internalisasi ideologis. Prinsipnya sederhana saja, untuk melawan sesuatu yang besar kita harus berorganisasi. Tidak semua manusia bisa menjadi Daud yang berhasil menumbangkan Goliath hanya dengan sebuah batu bahkan Daud sendiri pun saat dia berhasil mengalahkan Goliath yang pertama dia lakukan adalah menjadikan pemimpin dirinya untuk mengorganisir kaumnya membangun peradaban yang menarik. Dalam prosesnya ada internalisasi ideologi agar langkah selalu menyatu dan padu.
Pengorganisasi ini menjadi sangat penting dalam setiap perlawanan. Kita sadar melampuai perlawanan dalam ranah praktik tidak cukup hanya sekadar berteriak kosong tanpa pengorganisasian. Internalisasi yang menjadi komponen selanjutnya buat saya penting untuk mencegah keterjebakan kolektif pada populisme dan hal-hal yang dangkal sebelum tujuan itu tercapai
Ketiga, lakukan pembangkangan non-kekerasan (civil disobedience) sederhannya lakukan penarikan sikap percaya terhadap otoritas jika mereka membuat kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat,
Tapi menurut saya di sini boikot saja tidak cukup tanpa diiringi dengan penyebaran narasi yang massif tentang kebobrokan kebijakan tersebut kepada rakyat kebanyakan dan mendidik rakyat untuk berani ambil sikap dari hal–hal yang paling mungkin bisa mereka lakukan sebagai bentuk protes terhadap penguasa.
Keempat, jangan pernah lagi memberikan ruang kepada pemimpin-pemimpin yang sebelumnya pernah membelot kepada kelompok oligarki. Perlawanan tidak akan pernah berhasil saat kita dengan mudahnya memberikan pengampunan bahkan memberikan ruang yang lebih lebar terhadap mereka yang jelas – jelas hanya memanfaatkan apa yang sedang ingin capai.
Akhirul kalam, Basis perlawanan harus bisa mendetokfikasi segala bentuk manusia toxic yang membawa ide-ide populisme, menyuntikkan isu-isu yang dangkal dalam geraknya, atau bermain belakang tanpa sepengetahuan anggota lainnya. Jika keempat langkah tersebut kita lakukan dengan konsisten, maka perlawanan kita terhadap oligarki bisa menjadi efektif.
* Ketua Intelektual dan Pengembangan PPI UKM 2020/2021
Sumber ilustrasi: timesindonesia.co.id