Oleh : Mahram Mubarak*
Akhir-akhir ini atmosfir pemikiran kita (baca: warga Indonesia) banyak diwarnai oleh sentimensi agama. Mungkin lebih tepat agama sebagai sistem kepercayaan. Menjelang pilkada DKI Jakarta wacana yang terus digalakkan adalah sentimen agama dan bukannya adu argumentasi seputar gagasan-gagasan politik-konstruktif. Katakan begini, politik kita lebih condong pada pertengkaran keyakinan bukan pertengkaran pikiran.
Pertengkaran keyakinan semakin mencuat tatkala Kanjeng Dimas Taat Pribadi ‘berhasil’ menggandakan uang yang dari jutaan rupiah hingga miliaran rupiah. Mungkin saja Kanjeng Dimas, jika saja tidak tertangkap, akan lebih berpikir kreatif. Bukan saja uang yang akan ia gandakan tetapi surat suara pemilu.
Belum lagi tanggapan oleh MDI atas peristiwa ‘karomah’ yang dilakukan Kanjeng Dimas, yang lebih ditanggapi secara positif. Tanggapan positif itupun ditopang oleh bukti-bukti sejarah ‘karomah’ yang pernah terjadi pada nabi-nabi terdahulu. Tanggapan MDI pun menuai pro dan kontra, yang kontra tentu sangat kita sadari, dalam pemaknaan bahwa ‘karomah’ tidak mungkin berindikasi kriminal. Salah satu tanggapan muncul dari Guru Besar UIN Alauddin, Moch. Qasim Mathar, dengan mengemukakan sejarah kedekatan beliau dengan MDI, beliau mengambil sikap untuk pro terhadap MDI yang menurut penulis lebih sebagai dukungan dengan alasan intelektual bukan alasan kedekatan (Rakyatku.com).
Sebelumnya penulis tidak sedang menambah opini terhadap apa yang terjadi dengan politik di Jakarta. Begitu juga penulis tidak ingin berkomentar tentang Kanjeng Dimas, MDI, maupun Gurunda Moch. Qasim Mathar. Katakan begini, kita berada pada situasi partikular bersama: politik sentimen Jakarta dan ‘karomah’ Kanjeng Dimas. Dan karena kita sama-sama berada disana, maka paling tidak ada hal universal yang mencakup itu semua, sebut saja kepercayaan.
Gerak Mitos yang Kontingen
Kepercayaan bisa dengan mudah kita maksudkan sebagai percaya pada suatu hal, apa saja, misalnya pohon, batu, kayu, api, gunung dsb. Kita juga bisa percaya pada peristiwa-peristiwa seperti bidadari yang jatuh dari surga, kesejajaran antara bulan-bumi-mars, anak laki-laki yang bisa bertelur dsb. Selain itu kita juga bisa percaya pada konsep-konsep tertentu, seperti agama, politik, ekonomi, sosial, dsb.
Dunia modern adalah sebuah kondisi dimana tuntutan objektivisme semakin didesak. Sikap objektif terhadap segala hal menjadi tuntutan bersama. Sikap objektif bukan untuk menolak adanya pengaruh subjektivisme melainkan pertanggungjawaban atas apa yang kita ajukan (Supelli, pada pidato dalam Awards Diversity, 2016).
Mitos seringkali kontras dengan sikap objektif. Mitos dianggap tidak rasionil, mitos sarat dengan sikap arogansi dan tidak bertanggung jawab. Mula-mula memang mitos dilawankan dengan sikap objektif dibanding dengan kata ‘modern’. Hal ini sudah sejak lama didengungkan oleh filosof Yunani kuno, Thales (624-547 SM) misalnya, dengan mengajukan hal-hal rasional : mengukur tinggi piramida, mengukur jarak kapal dari tepian, mengajukan teori tentang banjir tahunan di Mesir, serta memprediksi terjadinya gerhana matahari yang lebih sebagai argumen kosmologis-astronomik ketimbang menyandarkannya pada dewa-dewi yang sedang murung.
Namun, mitos tetaplah bisa dibenarkan. Mitos merupakan ungkapan atas penghayatan terhadap lintasan Surga (Langit) ke lintasan dunia kosmik (Mircea Eliade, 2002). Dengan demitologisasi, meminjam istilah Rudolf Bultman (1884-1976), seorang filsuf hermenutik Jerman, mitos menjadi terang-benderang bersama dengan era pencerahan. Bultman misalnya mengungkap makna pada teks kuno (suci) dengan menghayatinya sebagai ontologi, agar apapun yang tercatat pada teks bukan ditematisasi menjadi apa melainkan bagaimana teks mengucap apa. Dengan demikian apapun yang terdapat pada teks, termasuk yang dianggap mitos, bisa disikapi secara eksistensial. Dalam arti bahwa baik mitos maupun logos (sikap rasional), keduanya adalah cara manusia menhadapi realitas.
Kalau misalnya mitos disikapi demikian, sebetulnya mitos dalam kehidupan sehari-hari kita selalu ada, ia adalah pengetahuan hasil singkapan dari lintasan yang adiduniawi. Sikap ini tentu dengan mudah kita temukan pada mereka yang menaruh sesajen pada kuburan, mereka yang pergi menunaikan haji, mereka yang merayakan hari-hari tertentu untuk mengulang peristiwa sejarah dsb. Hal seperti ini oleh Micea Eliade sebut sebagai ‘Myth of the eternal return’ (Mitos sebagai gerak kembali yang abadi), Eliade coba mendialogkan antara kosmos dan sejarah. Mitos dalam hal ini senantiasa berkelanjutan, kontingen.
Memahami Agama, Melibati Dunia
Agama sebagai kepercayaan merupakan sistem. Agama adalah sistem kepercayaan yang terkait kelindan dengan iman dan tradisi. Iman dan tradisi adalah hal substantif dalam agama dibanding aturan-aturan yang ada dalam sistem tersebut. Iman adalah aspek primordial dari cara beragama kita. Bila kita mengaku beragama maka pasti iman bercokol disana.
Pemahaman eksistensial dari iman dalam agama ini seringkali direduksi pada model-model sistem kepercayaan tertentu: Islam, Kristen, Hindu, Shinto, Yahudi dsb. Islam, misalnya, kita tidak pernah mengetahui Islam sebelum Muhammad menghayati kosmos. Dalam tradisi Yunani misalnya telah dikenal tiga macam pengatahuan mengenai tatanan kosmos: asal-usul, struktur, dan proses. Begitu juga dengan Siddharta Gautama, Musa, dan Ibrahim, yang kemudian membentuk sistem kepercayaan (agama) yang bisa dipertanggungjawabkan bukan saja secara mitologis pun rasionil, tetapi kosmos sebagaimana dihayati dengan penuh sikap tanggung jawab.
Kalau yang kita pahami itu bukan Hinduisme, bukan Islam, juga bukan Kristen, melainkan hasil pengahayatan kosmos, maka konsep agama menjadi tidak relevan. Ketidakrelevanan ini berbarengan dengan maraknya institusionalisasi agama. Dulu kita hanya mengenal Islam sebagai wahyu, sekarang bermunculan institusi-institusi: NU, Muhammadiyah, Masyumi, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dsb. Atau dalam Kristen yang dulunya dikenal sebagai Christian Faith (Iman Kristen), Christian Religion (Agama Kristen), kemudian Christianity (Kekristenan).
Apa yang hendak dikatakan bahwa agama mungkin saja sudah tidak memadai. Dalam arti agama setelah terinstitusionalisasi tidak lagi mampu mengucap iman itu apa, melainkan hanya mampu mengucap iman itu ada. Dan bahwa penghayatan atas kosmos tidak hanya mampu dilakukan oleh Muhammad, Siddharta Gautama, maupun Ibrahim. Penghayatan atas kosmos milik kita semua yang merindukan sebuah tatanan yang indah dan penuh pertanggungjawaban.
*Penulis adalah peneliti di Profetik Institute