Oleh: Budi Winarto*
KHITTAH. CO – Pada sepuluh hari pertama bulan Ramadan ini adalah hari-hari penuh berkah. Allah Swt membuka keberkahan melalui berbagai pintu dengan cara yang berbeda. Tak ayal umat muslim banyak mendapatkan berkah itu dengan versinya masing-masing.
Ada yang hatinya tergugah untuk melaksanakan ibadah wajib atau salat lima waktu yang mungkin selama ini belum bisa dikerjakan secara konsisten. Ada yang tekun tadarus, memperbanyak salat sunah, dan kegiatan lain yang hari-hari biasa sulit dilakukan.
Ada pula yang terbiasa duduk di warung kopi, sekarang sering duduk di majelis ta’lim. Tidak hanya itu, keluarga yang berikhtiar mengais rezeki dengan cara berdagang, Allah Swt pun mendekatkan pembeli kepada mereka melalui ngabuburit, dan lain-lain. Jadi, betapa dahsyat rahmat Allah itu bukan? Apa pun bentuk dan caranya, kalau Allah sudah kun maka akan fayakun.
Kita sebagai hamba yang bisa meng-iqra atas setiap peristiwa, pada hari penuh rahmat ini, kita harus bisa melakukan kebaikan dan menjaganya secara konsistensi. Apa lagi pahala yang berlipat ganda sebagai balasan tentu akan bisa menyemangati diri untuk tidak putus melakukan kebaikan sesuai dengan kemampuan kita.
Suatu tindakan kebaikan itu mudah memulai tetapi sulit mempertahankan. Istikamah itu lebih berat dari sekadar menjalankan. Maka tidak ada kekuatan yang bisa mengistikamahkan suatu kebaikan, kecuali kuatnya doa dan niat yang mengiringi.
Untuk istikamah di jalan kabaikan tentu tidaklah mudah. Godaannya pastilah banyak. Tetapi, bukan berarti tidak ada cara bagi kita yang mau terus menjaga niat dan usaha tersebut. Ada cara sederhana yang bisa dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan kebaikan mulai dari yang terkecil. Kumpulan kebaikan terkecil yang kita lakukan itu memang perlu proses agar terlihat dan nampak. Ketika kita bisa menjaganya, kebaikan terkecil itu akan menjadi bekal energi untuk melakukan kebaikan yang besar dan lebih besar lagi.
Mengapa harus dengan kebaikan kecil? Memulai dengan kebaikan kecil akan melonggarkan pikiran dan tenaga. Artinya, dengan kebaikan kecil yang dilakukan, kita tidak merasa bahwa perbuatan kebaikan itu sudah dilakukan. Mindset dan budaya seperti ini penting dibangun pada diri kita. Ketika kita sudah terbiasa dengan melupakan dan tidak merasa, bahwa kita sudah melakukan kebaikan, itu akan menjadi cikal kebaikan yang bisa menjelma menjadi bola salju. Menggelinding dan terus menggulung kebaikan-kebaikan lain untuk akhirnya menjadi besar.
Selain melakukan kebaikan kecil, untuk menjaga keistikamahan di jalan kebaikan, kita juga bisa menjaga makanan yang kita konsumsi. Makanan itu berpengaruh terhadap ruhani, berdampak pada jasmani dalam menjaga perilaku diri. Oleh karenanya, apa yang kita makan harus bersih dan sehat. Halal serta thayyib.
Surah Al-Baqarah ayat 168 menjelaskan, “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu.”
Dari makna yang terkandung di dalam ayat tersebut di atas, kita bisa memahami, bahwa orang yang memakan makanan dari yang tidak halal itu berarti mengikuti langkah setan. Allah Swt menciptakan setan unsurnya dari api. Dan, api memiliki sifat panas dan membakar. Oleh karena itulah, seseorang yang makan makanan tidak halal serta thayyib hidupnya berdampak dan tidak tenang.
Hal ini pun, lanjut dipertegas dengan ayat berikutnya yang memiliki arti, “Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah,” Surah Al-Baqarah ayat 169.
Halal sendiri memiliki arti sesuatu yang diperbolehkan atau diizinkan oleh syariat Islam. Makanan, minuman, tindakan atau transaksi yang dikategorikan halal harus memenuhi persyaratan tertentu dalam Islam dan tidak melanggar ketentuan agama.
Sedangkan arti thayyib berasal dari bahasa Arab yang berarti baik, bersih, dan berkualitas tinggi. Konsep thayyib menekankan pentingnya mempertahankan kualitas dan integritas dalam memilih dan mengonsumsi produk, termasuk aspek kebersihan, kesehatan, dan kebaikan moral yang terkait dengan produk atau makanan
Sebenarnya konteks halalan thayyiban ini bukan hanya berlaku untuk makanan yang kita konsumsi. Melainkan, semua lini aktivitas kebaikan harusnya terkait dengan halal dan thayyib. Pada saat kita menjalankan rukun Islam misalnya, maka dari syahadat yang kita ikrarkan, salat yang kita kerjakan, zakat yang kita keluarkan, puasa yang kita tunaikan, bahkan haji yang dikerjakan harus mengandung unsur syaratnya dan baik dalam melaksanakannya. Artinya, semua pekerjaan yang kita mengikrarkan dan menunaikannya itu harus benar-benar keluar dari ruhani dan jasmani kita. Sehingga, aktivitasnya bisa halal serta thayyib, bukan sekadarnya, apa lagi menuruti hawa nafsu.
Implementasi pada rukun Islam tersebut, tentu akan menjalar pada empat pilar yang kelak di yaumil akhir harus kita pertanggungjawabkan. Di antara empat hal yang nantinya dimintai pertanggungjawaban adalah amal, waktu, harta, dan ilmu.
Terkait amal dan perbuatan kita selama hidup di dunia tentu akan ada pertanggungjawabannya kelak di akhirat. Amal baik akan dibalas pahala sedangkan amal buruk akan diganjar siksa. Kemudian terkait waktu dan kesempatan yang kita miliki kelak juga akan ada pertanggungjawabannya. Apakah kita bisa memanfaatkan waktu dengan bijak untuk menunaikan ibadah dalam arti luas atau sebaliknya mengisinya dengan kemaksiatan dan melanggar syariat yang diperintahkan.
Harta pun demikian. Khusus untuk masalah harta akan ada dua pertanyaan dalam mempertanggungjawabkannya. Diperoleh dari mana harta itu dan diperuntukkan untuk apa. Sedangkan terakhir terkait ilmu, apakah ilmu yang kita miliki bermanfaat bagi diri sendiri dan/atau orang lain atau sebaliknya digunakan untuk hal-hal yang tidak selaras dengan ajaran agama.
Oleh karena itu, mari kita maksimalkan rahmat Allah pada sepuluh hari pertama ini dengan menjaga amalan dan makanan secara halalan thayyiban. Dan, mudah-mudahan dengan ikhtiar yang tulus dalam hati, kita akan menemukan keberkahan pada bulan Ramadan ini. Aamiin.
Wallahu A’lam Bishawab
*Penulis kelahiran Malang yang tinggal di Mojokerto